Satu bulan setelah pernikahan yang sulit untuk dipahami, Ben lebih banyak menghabiskan waktu di kantor untuk bekerja.
Bukan tanpa alasan, Binar juga begitu cuek dan tidak bersedia untuk diatur. Ia pergi sesuka hatinya saja. Baginya, melayani suami hanya ada ketika di atas tempat tidur.
Padahal menurut Ben, pernikahan bukan hanya urusan ranjang, tapi juga hubungan di dalam aktivitas sehari-hari.
"Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Maria sambil menggosok punggung Ben yang sudah tampak lelah, tapi masih belum ingin pulang.
"Tidak ada." Ben Casel menghela napas panjang sembari melempar map tulang di atas meja kerjanya.
"Dan kamu tidak perlu repot-repot untuk merayu saya!"
Sikap Ben memang terkenal dingin jika ia tidak suka pada seorang perempuan. Namun sayang, Binar tidak mengetahui hal tersebut dan sudah menyia-nyiakan pria dengan cinta terindah.
"Jika Anda membutuhkan saya, katakan saja! Dengan senang hati, saya akan menjadi b***k cinta untuk Anda."
"Terima kasih. Silakan tinggalkan saya!" Ben menarik dasi untuk melonggarkannya.
'Tak lama, suara ponsel Ben berbunyi dan ia tahu itu dari Binar. Sebab, nada spesial sudah ia sematkan jika panggilan itu datang dari istrinya.
"Ben, ada yang ingin aku bicarakan. Bisa ketemu di restoran tidak jauh dari kantormu?"
"Ada apa, Sayang? Katakan saja!"
"Ben, sudah satu bulan ini aku merasa begitu bosan. Aku kehilangan waktu untuk bersenang-senang."
Ben terkejut mendengar ucapan Binar saat itu. Sebab, selama ini, menurut Ben, Binar selalu bersenang-senang sendirian tanpa memperdulikan dirinya.
"Bukankah kamu selalu melakukannya?" sanggah Ben yang sudah terlalu banyak mengalah.
"Ini tidak cukup, Ben. Aku ingin pergi ke luar negeri!" bentak Binar terdengar kesal.
"Oke, aku akan menemani kamu. Ingin kemana? Paris? Prancis? Jepang? Swedia?"
"Kemana saja, asal tanpa kamu."
"Apa?" Ben kembali terkejut dan rasanya, ponsel yang ia pegang hampir terlepas begitu saja dari genggaman tangannya. "Apa maksud kamu, Binar? Apa kurangnya aku?"
"Kamu nggak kurang apa pun, Ben. Tapi aku benar-benar ingin sendiri. Aku bosan dengan semua yang sempurna, termasuk kamu."
"Baik. Silakan pergi kalau kamu ingin melihat aku mati!" ancam Ben karena ia sudah begitu kesal terhadap sikap Binar.
"Itu tidak mungkin," jawab Binar dengan nada suara yang sudah diturunkan.
"Kenapa? Karena kamu mencintai aku? Bukan begitu caranya mencintai, Binar! Aku butuh kamu sebagai seorang istri, bukan boneka sex." Ben hampir menitikkan air mata karena mengucapkan kalimat kasar kepada wanita yang paling ia cintai.
Binar terdiam sejenak. Sebab, baru kali ini ia melihat Ben emosional, "Aku tunggu kamu di rumah."
"Oke."
Jaringan ponsel pun terputus. Saat ini, Binar benar-benar merasa kesal dan takut terhadap ancaman Ben. Namun di sisi lain, ia tidak bisa mengontrol keinginannya untuk bersenang-senang ke luar negeri.
Apalagi, di sana sudah ada seseorang yang menunggu Binar. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Binar meninggalkan restoran dan kembali ke rumah. Begitu juga dengan Ben, ia harap semua akan kembali membaik.
Ben membuang napasnya berkali-kali. Di perjalanan, ia menyempatkan diri untuk mampir ke toko bunga.
Saat itu, Ben juga membeli cake kesukaan Binar yang sering ia bawa ketika ke rumah istrinya, sekedar untuk menyapa dan berpelukan saat berpacaran dulu.
Setibanya di rumah ukuran sedang namun terkesan mewah, Ben langsung disambut senyum hangat Binar yang berusaha untuk merayu.
"Ben ... ."
"Ya, ini untukmu." Ben menyerahkan buket bunga dan cake yang sudah disusun rapi. Lalu, Binar memajukan wajahnya untuk mencium Ben yang sudah panas hatinya.
"Kamu sudah makan, Ben?"
"Belum."
"Aku sudah memesan makanan kesukaanmu. Makanlah!"
"Rasanya ... ingin makan masakan kamu, Binar. Seperti dulu."
Ya ampun, itukan bibi yang masak. Sejak kapan aku suka melakukannya? Mana boleh kuku cantik milikku ini rusak. Binar berkata tanpa suara.
"Lain waktu ya, Sayang!"
"Baiklah." Ben kembali mengendorkan emosinya dan melapangkan dadanya.
"Aku ke kamar dulu."
"Apa?" kata Ben terperangah dan menatap Binar dalam-dalam.
"Ben, jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini dong!"
Ben menghela napas panjang dan terus menahan rasa kesalnya. Apa yang kurang? Apa yang salah denganku? Ucapnya tanpa suara sambil menggenggam kedua tangan yang ia letakkan di atas meja makan.
Sudahlah, Ben! Yang penting ia masih mendengarkan kamu dan tidak kemana-mana. Kata bagian dari diri Ben yang lainnya.
Lalu Ben menikmati makan malam bersama suasana yang semakin menyayat hatinya. Apa bedanya ketika masih sendiri dulu, dengan sekarang? Ben menahan diri agar tidak semakin kecewa.
Setelah makan malam sendirian yang menyedihkan, Ben ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat itu, ia melewati Binar yang tampak sedang asik dan bahagia memainkan ponsel miliknya.
"Binar, kamu sedang apa? Kenapa tidak makan?"
"Aku sedang mengirim pesan pada teman-teman saat SMA dulu. Mereka mengajak reunian, tapi tidak boleh bawa pasangan masing-masing."
"Peraturan seperti apa itu?"
"Ayolah, Ben! Ini hanya kelakar teman-teman. Lagipula hanya kongko di diskotik aja kok."
"Kapan?"
"Dua bulan lagi. Aku harap bisa menikmati udara lain, di negri yang berbeda sebelum menghadiri acara ini."
"Kamu masih ingin pergi? Aku tidak akan mengizinkannya, kecuali bersamaku."
"Ben, kamu jangan egois seperti itu kenapa sih? Norak banget," gerutu Binar yang sudah berdiri dan berjalan. Tampaknya ia berniat untuk meninggalkan Ben seperti biasanya.
Tapi Ben yang kesal, menahan Binar dan menarik tubuhnya ke atas tempat tidur. Dengan amarah dan rasa cemburu yang besar, Ben melepaskan handuk yang ia kenakan.
Tanpa basa basi, Ben langsung menenggelamkan miliknya pada mahkota Binar yang sudah terbuka lebar.
Bersama rasa sakit hati dan kekesalannya, Ben menghujam bagian tubuh yang spesial milik Binar dengan miliknya.
Erangan Binar terdengar berbeda. Mungkin ia merasakan sakit yang luar biasa, akibat pukulan benda tumpul berukuran monster milik Ben.
Namun setelah Ben memainkan pinggulnya, Binar mulai mendesah gelisah dan tersenyum bahagia.
Kali ini, Ben melakukannya tidak dengan cinta. Melainkan rada sakit hati yang dalam. Kemarahan pada Binar membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Namun berbeda dengan Binar. Ia tetap saja suka asalkan itu berurusan dengan pertarungan gairah yang menyegarkan.
Binar, apa yang sebenarnya kamu inginkan? Tanya Ben yang terus memperhatikan istrinya saat sedang menuju puncak kenikmatan.
Bersambung.