PART. 4 AMPUNI AKU

1013 Words
Di dalam kamarnya, Alia duduk di tepi ranjang. Ditarik dalam nafas, lalu ia hembuskan dengan perlahan. Kepala Alia mendongak. Matanya terpejam. 'Ya Allah .... Jika keputusanku ini bagiMu adalah hal yang salah, mohon ampuni aku. Aku tidak ingin hidup dalam kecemasan, dalam ketidak pastian, selalu gelisah, dan gamang. Rasa percayaku pada Mas Alfi sudah sirna. Tak bisa aku hanya menerima nasib saja. Aku lebih ikhlas hubungan kami berakhir, daripada harus menerima nasib dimadu. Aku tak mau dimadu ... aku tak mau dimadu. Kuatkan aku Ya Allah ... kuatkan hati, dan langkahku, dalam menjalani pilihanku, aamiin.' Alia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Perlahan ia bangkit dari duduk, lalu beranjak menuju pintu kamar. Alia ingin bicara dengan kedua orang tuanya. Ia merasa berdosa karena membuat orang tuanya kecewa, terluka, sakit hati, dan membuat ibunya meneteskan air mata. Alia melangkah menuju kamar orang tuanya, diketuk perlahan pintu kamar. "Ayah!" Hanya perlu tiga ketukan, dan satu panggilan. Pintu kamar terbuka. Ayahnya yang sudah berusia lima puluh tujuh tahun membuka pintu untuknya. Ibunya muncul di belakang ayahnya. Ayah Alia melebarkan pintu, ibunya langsung mendekap Alia. Ibunya yakin, meski tampak tenang, Alia pasti terluka sangat dalam. "Alia ...." Kedua wanita itu berpelukan. Pecah tangis Ibu Alia yang sejak tadi coba ditahan. Alia tak sanggup menahan air mata, ia ikut menangis juga. Bukan karena luka yang Alfi torehkan, tapi karena merasa berdosa, sudah membuat air mata ibunya tumpah tak tertahankan. "Maafkan Alia, Bunda. Maafkan Alia, sudah melukai perasaan Ayah, dan Bunda, dengan keputusan yang Alia ambil." Alia menuntun ibunya untuk duduk di tepi ranjang. Alia memeluk bahu ibunya. Perasaan bersalah pada kedua orang tuanya begitu besar ia rasa. "Tidak perlu meminta maaf, Alia. Kami yakin, keputusan yang kamu ambil memang yang terbaik untuk dirimu, juga untuk anak-anakmu. Meski Ayah masih berharap kalian tetap bersama, tapi Ayah tahu, kamu perlu waktu untuk menyembuhkan luka hatimu." "Maafkan Alia, sudah membuat Bunda menangis seperti ini. Maafkan Alia ...." "Kamu tidak salah, Nak. Tidak salah. Alfi yang salah!" "Bun, jangan bicara begitu." "Kenapa Ayah? Alfi memang salah. Sejak Arin menceritakan tentang perselingkuhan Alfi. Bunda ingin sekali melabrak Alfi dan wanita itu, tapi Ayah larang." "Bunda, untuk apa merendahkan diri kita dengan melakukan hal itu. Tidak ada gunanya melabrak orang yang sudah dimabuk cinta karena nafsu. Mereka pasti merasa diri mereka benar." "Ayah benar, Bunda. Mas Alfi bisa menghindar dari wanita itu, kalau dia memang setia. Dia tidak akan mendengarkan keluh kesah yang berujung iba, lalu tumbuh cinta. Tapi yang terjadi ... sudah ya, Bunda. Lupakan yang terjadi, bantu Alia untuk bangkit, dan memulai hidup dari nol lagi." Alia mengusap lembut bahu ibunya. "Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Alia?" "Alia akan mencoba mencari pekerjaan, Ayah." Ayah Alia menarik nafas dalam. Lalu dihembuskan dengan perlahan. Ibu Alia masih terus mengusap pipi. Air matanya tak mau berhenti. Saat seorang anak sakit, dan tersakiti. Seorang ibu selalu merasakan sakit yang lebih lagi. "Bunda, Alia mohon maaf, karena sudah menyakiti perasaan Bunda. Alia mohon maaf, karena menuliskan kisah sedih di hari tua Bunda. Maafkan Alia." Alia meraih kedua telapak tangan ibunya. Dikecup dengan bibirnya, diletakan di keningnya. Ibu Alia nenarik telapak tangannya, diletakan telapak tangan kanan di atas puncak kepala Alia. Dan telapak tangan kiri di atas bahu Alia. "Semoga Allah mengganti dukamu dengan bahagia yang lebih dari sebelumnya. Semoga Allah mudahkan langkahmu ke depannya. Doa Bunda selalu menyertai langkahmu, Alia. Bunda bangga dengan ketegaranmu, Bunda bangga, meski dalam sakit yang kamu rasa, kamu tidak kehilangan kelembutanmu, Bunda bangga." Ibu Alia mendekap erat putrinya. Tangis mereka berdua pecah lagi. Ayah Alia memeluk kedua wanita yang ia cinta. Alia yakin, dengan dukungan keluarga, ia akan bisa melangkah pasti, meski tanpa Alfi ada bersamanya. * Sementara itu, Alfi sudah menelpon Nanda, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Mereka berjanji bertemu di sebuah rumah makan, yang selama ini memang menjadi tempat pertemuan mereka. Alfi membawa mobilnya menuju ke sana. Tiba di sana, Nanda sudah menunggunya. "Mau pesan apa, Mas?" Nanda membuka buku menu di hadapannya. "Aku tidak makan, aku minum teh hangat saja." "Aku belum makan, aku pesan makan ya," suara manja mendayu menyapa telinga Alfi. "Terserah kamu saja." Kepala Alfi menunduk dalam. Teringat Alia saat bermanja dengannya. Alia sangat tahu, kapan harus memanjakan, dan kapan ingin dimanja. Alia sangat tahu .... "Mas, kok diam saja? Mas sudah bicara dengan Alia tentang pernikahan kita?" Alfi mengangkat wajah, ditatap wajah dengan polesan make up cukup tebal di hadapannya. Penampilan Nanda, bagai langit, dan bumi dengan Alia. Alia menutup tubuh dengan pakaian longgar, menutup kepala dengan kerudung lebar, menutup wajah dengan cadar. Sedang Nanda, kepalanya tertutup jilbab, yang ujungnya ia satukan di tengkuknya. Blus ketat memperlihatkan bentuk dadanya, celana jeans menampakan lekukan pinggul, dan bokongnya. 'Alia benar, ini nafsu bukan cinta,' batin Alfi. "Mas!" Seruan Nanda menyadarkan Alfi dari lamunan. "Sudah, karena itu aku ingin kita bertemu di sini." "Apa yang dikatakan Alia? Dia pasti setuju dong. Karena dia istri yang sangat penurut pada suami. Iya'kan, Mas?" Nanda mengusap tangan Alfi yang ada di atas meja. Alfi menarik tangannya. Sebelum hari ini, Alfi merasa senang kalau Nanda menggodanya seperti itu. Tapi sekarang, ia merasa jijik dengan sentuhan Nanda di kulitnya. Alfi diam, membiarkan pelayan menghidangkan pesanan mereka. "Terima kasih," ucap Alfi pada si pelayan. "Makanlah, kita bicara setelah kamu selesai makan." "Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Alia setuju'kan? Jadi kapan dia akan datang melamarku untuk Mas. Kapan kita akan mengurus surat nikah? Kapan kita akan membeli mahar? Aku ingin maharnya, satu set perhiasan ya, Mas." Alfi menarik dalam nafas, lalu ia hembuskan perlahan. Alfi berusaha menahan air mata. Ingatan kalau ia akan kehilangan Alia di dalam hidupnya, membuat rasa sesak di dalam d**a. 'Ya Allah .... Aku mohon jangan hukum aku seberat ini. Aku salah, karena tidak bisa menundukkan pandanganku dari wanita lain. Aku salah, karena tidak bisa menjaga hatiku, hanya untuk istriku. Aku salah ....' "Mas!" Nanda merasa kesal, karena Alfi tak juga menjawab pertanyaannya, dan tidak merespon keinginannya. "Makanlah dulu. Baru kita bicara. Aku ingin ke kamar kecil dulu." Alfi bangkit dari duduknya, air mata mendesak ingin ke luar, sudah berusaha ia tahan sekuat tenaga. Namun pertahanannya sudah hampir jebol. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD