Alfi berdiri di depan wastafel, menatap wajahnya yang muram di dalam cermin.
Wajah Alia tiba-tiba muncul juga di dalam cermin. Menatapnya dengan sorot mata yang tak mampu ia selami. Wajah Alia datar, sedatar tatapannya.
"Li ...."
Wajah Alfi menunduk dalam. Kedua telapak tangannya mencengkeram sisi wastafel dengan kuat. Penyesalan kini yang ia rasakan. Membuat perasaannya tidak karuan.
"Maafkan aku, Li ... aku mohon."
Alfi kembali menatap cermin, dua bulir bening menggantung di pelupuk matanya. Ia menyesal, kenapa baru sekarang menyadari kalau apa yang ia lakukan salah. Ia terlalu menganggap remeh sosok Alia. Alia yang penurut, ternyata punya prinsip yang kuat. Yang tak goyah meski ia berlutut memohon maaf.
Alfi tersentak, karena suara ponselnya yang berbunyi. Alfi mengambil ponsel dari tas kecil yang tergantung di bahunya. Tas hadiah ulang tahunnya dari Alia. Alia menyisihkan sedikit dari uang belanja yang ia berikan, untuk membelikan tas yang tak murah harganya.
Alfi menatap layar ponselnya. Panggilan dari Nanda.
"Ada apa?"
"Mas lama sekali di dalam kamar mandi."
"Aku sakit perut, kamu makan saja."
"Tidak enak makan sendirian."
Suara Nanda merajuk manja. Alfi memejamkan mata, nada suara Nanda yang begini, selalu bisa meruntuhkan hatinya kala ia marah.
"Aku sakit perut, terserah kamu kalau ingin menungguku."
"Ya sudah aku tunggu!"
Nanda memutus pembicaraan mereka. Alfi memasukan ponsel ke dalam tas. Kembali ditatap wajahnya di cermin.
"Li ...."
Alfi menyalakan keran, ditampung air dengan kedua telapak tangan. Lalu ia basuh wajah yang menyimpan resah. Dikeringkan wajah, dan tangan dengan tissue, sebelum ia melangkah ke luar dari dalam kamar mandi.
Tiba di tempat Nanda menunggu. Wajah Nanda cemberut.
"Lama sekali di kamar mandi."
"Aku sudah katakan, aku sakit perut. Kalau kamu mau makan, ya makan saja. Tak perlu menunggu, aku tidak makan."
"Ada apa, Mas?"
"Habiskan dulu makananmu, setelah itu baru kita bicara."
"Aku tidak bisa makan dengan rasa penasaran! Alia setujukan kita menikah? Dia pasti tidak menolak dimadu. Dia istri yang penurut. Tidak mungkin dia minta pisah, kalau pisah, dia mau makan apa. Dia ...."
"Stop! Berhenti bicara, Nanda. Alia setuju kita menikah ...."
"Tuhkan, aku sudah yakin dia setuju! Dia tidak akan berani menolak ke ...."
"Stop! Alia setuju dengan satu syarat!"
"Syarat? Apa?"
Alfi menundukkan wajah, sesaat kemudian ia mendongak. Dadanya terasa luar biasa sesak. Membayangkan Alia tak lagi ada bersamanya. Dirinya bukan suami mandiri, segalanya, dari ujung kaki, sampai ujung kepala bergantung pada Alia. Mandi saja, seringkali Alia yang membantu menggosok tubuhnya. Membantu keramas rambutnya, seakan Alia pekerja salon. Makan ia tinggal menyuap saja, bahkan saat ia tergesa ke kantor di pagi hari, Alia yang menyuapinya makan.
Alfi berusaha menahan air mata.
"Mas, apa syaratnya?"
Desakan Nanda yang penasaran, menyudahi lamunan Alfi.
"Dia minta cerai ...."
Sesaat Nanda terpana, kemudian senyum mengembang di bibirnya.
"Itu hal yang bagus, bukan. Artinya, aku tidak jadi istri muda, Mas tidak harus poligami. Mas jadi milikku seutuhnya, tak perlu ber ...."
"Stop! Aku sudah mengambil keputusan."
"Keputusan untuk menceraikan Alia, aahh ... syukurlah!"
"Kita batal menikah!"
"Apa!?"
"Dari sekarang, hubungan kita berakhir."
"Apa? Tidak bisa begitu, Mas!"
Suara Nanda meninggi, sehingga mereka jadi pusat perhatian.
"Kenapa tidak bisa? Hubungan kita sebuah kesalahan, aku ingin mengakhiri kesalahan ini sampai di sini!"
"Tapi Mas sudah berjanji untuk menikahi aku!"
"Aku tidak berjanji, sejak awal aku tak pernah berjanji apapun padamu. Apa ruginya dirimu kalau aku batalkan niat untuk menikah denganmu! Aku tak pernah menyentuhmu sekalipun."
"Tapi aku sudah memberitahu banyak orang, kalau kita akan menikah!"
"Itu urusanmu, bukan masalahku."
"Itu urusan Mas juga!"
"Itu karena kamu terlalu lancang, mengumbar apa yang belum ada kepastian. Aku sudah katakan, tunggu aku bicara dengan Alia. Baru kita bicara lagi masalah pernikahan."
Alfi menghembuskan kuat nafas yang ia tarik. Selama pernikahan dengan Alia, ia tidak pernah bicara keras seperti ini. Karena cukup dengan sekali ucap, Alia tak membantah lagi.
"Mas yang memberi aku harapan!"
"Kamu yang menggodaku, kamu yang menarik aku sehingga lupa akan istri, dan anak-anakku!"
"Kenapa menyalahkan aku, itu iman Mas saja yang tidak kuat!"
Tatapan Nanda bak pedang menghunus tajam ke bola mata Alfi.
Alfi tersenyum sinis.
"Sekarang kamu sudah tahu imanku tidak kuat, bukan. Andai hari ini aku menikah denganmu. Maka bisa saja, besok aku menikahi wanita lainnya, dan kamu akan merasakan berada diposisi Alia. Jadi aku putuskan, memutus kesalahanku sampai di sini."
"Aku tidak terima!"
"Itu urusanmu!"
"Aku akan menuntut, Mas!"
"Mau melaporkan aku ke polisi, atas tuduhan apa? Membuatmu hamil? Aku tidak melakukan apapun terhadapmu. Bahkan janji untuk menikah denganmu saja tidak aku ucapkan!"
"Mas keterlaluan!"
"Keterlaluan apa? Apa kamu ingin aku menuntut dirimu, aku sudah begitu banyak menghabiskan uangku untukmu. Apa kamu siap mengembalikan semua uangku. Ingat, sebagian uang yang kamu terima dariku, adalah hutangmu, bukan pemberian dariku."
"Mana bukti kalau itu adalah hutang!?"
Alfi tertawa sumbang.
"Kamu tahu, aku ini pria pelit, dan perhitungan. Aku catat semua pengeluaranku dengan baik. Meski aku mabuk dengan pesonamu, tapi aku tidak lupa akan duitku. Ingat, hutangmu membeli mobil. Itu hutang, bukan pemberian. Aku harus pergi. Kamu bayar sendiri, apa yang kamu makan. Dari sekarang, jangan hubungi aku, kecuali urusan hutangmu. Assalamualaikum."
Alfi meninggalkan Nanda dengan hati lega. Apa yang ingin ia katakan pada Nanda sudah terucap semua. Sesungguhnya, Alfi juga tidak memahami, kenapa pesona Nanda sirna seketika, setelah ia mendengar keputusan Alia yang ingin berpisah darinya.
"Li ... maafkan aku."
Alfi mengusap matanya yang basah. Dadanya yang sesaat tadi merasa lega, kini kembali gelisah. Hidup tanpa Alia bersamanya, tentu akan terasa seperti kehilangan tangan, dan kaki baginya. Selama ini, di rumah mereka, Alia adalah tangannya, Alia adalah kakinya, Alia memanjakan dirinya, seperti Alia mengasuh kedua anak mereka. Tapi, semua sudah terlambat, Alia sudah memutuskan.
'Ya Allah ... aku mohon, lunakkan hati Alia, aamiin.'
Sementara itu, Nanda yang Alfi tinggalkan sendirian, tidak bisa menerima keputusan Alfi.
'Ini semua karena dirimu, Alia. Wanita kurang pergaulan, pikiran sempit, apa kamu tidak tahu, poligami itu tidak dilarang! Harusnya kamu tahu, mengijinkan suami menikah lagi, surga ganjarannya bagimu. Huuh! Kesempatan masuk surga kok ditolak! Berpakaian tertutup, tapi tidak mengerti hal itu. Tunggu aku, Alia. Aku sendiri yang akan menjelaskan hal itu padamu! Dan kamu, Mas Alfi. Kamu pasti akan merengek, untuk meminta kembali padaku. Kita lihat saja!'
*