Alfi menatap kedua orang tua Alya dengan rasa penyesalan yang besarm.
"Aku bersedia membatalkan pernikahanku. Aku khilaf, Ayah. Aku minta maaf, Bunda. Aku tidak ingin berpisah dengan Alia. Aku mencintainya, tolong bantu aku membujuk dia. Tolong ampuni aku, Ayah, Bunda," mohon Alfi dengan suara memelas meminta belas kasihan.
Alfi berlutut di hadapan kedua orang tua Alia. Memohon agar dimaafkan salahnya.
Ayah Alia menarik nafas dalam, sementara Ibu Alia mengusap matanya yang basah. Mereka tahu betul seperti apa Alia. Lembut di luar, keras di dalam. Jika sudah memutuskan sesuatu, Alia selalu konsisten dengan pilihannya.
Begitu pula saat Alia memutuskan menerima lamaran Alfi. Alia benar-benar menyerahkan seluruh hidupnya pada Alfi. Alia bersedia berhenti bekerja saat Alfi memintanya. Alia bersedia menutup wajahnya, bersedia mengenakan busana yang menyamarkan keindahan tubuhnya, karena Alfi hanya ingin dirinya yang bisa menikmati kecantikan wajah, dan keindahan tubuh istrinya. Alia menerima apapun yang Alfi katakan. Alia dengan sepenuh jiwa, dan raganya menyerahkan diri untuk menjadi istri Alfi. Wajar kalau putri mereka kecewa dengan pengkhianatan Alfi.
"Maaf, Nak. Hidup Alia adalah miliknya, saat dia tak ingin lagi kamu memiliki dirinya. Kami sebagai orang tua tidak ingin ikut campur. Susah senang Alia adalah keputusannya. Bukan kami yang menjalani, tapi kalian berdua." Suara lembut ayah Alia. Tak terdengar nada marah karena putrinya dikecewakan oleh Alfi.
"Aku salah, Ayah. Aku khilaf, tolong maafkan aku." Alfi masih memohon maaf pada kedua mertuanya.
"Kami memaafkan salah, dan khilafmu. Ayah yakin, Alia juga begitu. Tapi, tentu tidak mudah mengembalikan sebuah kepercayaan. Tidak mudah untuk mengobati luka hati karena sebuah penghianatan. Kamu harus berjuang untuk itu, dengan kesungguhan hatimu," tutur ayah Alia. Tetap tenang, dan lembut dalam sikap, dan tutur kata.
"Jadi Ayah mendukung keinginan Alia untuk berpisah dari aku?" Alfi menatap wajah ayah mertuanya.
"Nak, Alia putriku, kamu putraku. Aku tidak memihak siapapun di sini. Sebagai orang tua, tentu kami ingin kalian berdua bahagia. Beri dulu waktu bagi Alia untuk menata hatinya. Buktikan padanya kalau kamu menyesal sudah mengkhianatinya," jawab ayah Alia.
Alfi menatap Alia yang diam saja, wajah Alia tidak menyiratkan apapun juga. Tak ada kemarahan, tak ada kesedihan, tak ada air mata. Itu membuat Alfi bingung jadinya. Alfi lebih suka Alia memakinya, atau menangis, berteriak untuk mengumpatnya, demi mengeluarkan rasa kecewa. Namun Alia terlihat begitu tenang. Tatapannya tetap lembut pada Alfi. Itu menyiksa perasaan Alfi.
"Li ...."
"Pulanglah, Mas. Jika Mas ingin melanjutkan rencana untuk menikahi wanita itu, aku persilakan. Tapi, urus dulu perpisahan kita, agar tak ada yang menggantung di antara kita berdua." Alia bersuara. Tanpa basa basi, langsung pada pokok dari masalah mereka saat ini.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu, Li. Aku mencintaimu. Aku khilaf, aku mohon maafkan aku."
Alfi berlutut di hadapan Alia.
Digenggam kedua telapak tangan Alia. Wajahnya menunduk, keningnya ia letakan di atas pangkuan Alia.
Alfi terisak pelan. Penyesalan selalu datang belakangan. Ia terlalu gegabah, berpikir Alia yang penurut akan menuruti semua keinginannya, termasuk untuk dimadu.
Selama ini, ia merasa sebagai orang paling berkuasa di rumahnya. Alia harus selalu menuruti keinginannya. Alia tidak pernah protes, tidak pernah mengeluh, tidak pernah menggerutu. Hal itu yang membuatnya berani mengungkapkan keinginannya. Tapi, ternyata Alia tak seperti yang ia pikirkan.
"Sebaiknya Mas pulang. Sia-sia tangis, dan air matamu, Mas. Keputusanku tidak akan berubah," ucap Alia mantap, tapi tetap dengan suara lembut.
"Li, kasihan anak-anak kalau kita berpisah."
Alfi menatap wajah Alia, ia belum ingin menyerah.
Alia tersenyum lembut.
"Mereka akan baik-baik saja. Jangan jadikan mereka senjata untuk melunakkan hatiku. Jika Mas kasihan pada mereka, tetaplah berikan tanggung jawab Mas terhadap mereka. Pintu rumah ini masih terbuka bagi Mas, untuk melakukan kewajiban Mas sebagai Abi mereka," sahut Alia, tidak mundur sedikitpun atas keputusannya untuk berpisah dengan Alfi.
"Li ...."
Alfi mulai putus asa. Penyesalan memang hadir setelah kesalahan dibuat.
"Pulanglah, Mas. Kalau Mas tak sanggup menunggu kita resmi berpisah baru menikahinya. Mas bisa menikah siri dulu. Aku tidak akan menghalangi. Semoga Mas bahagia dengan wanita yang sudah membuat Mas mendua."
Alia berdiri dari duduknya.
"Maaf, aku ingin beristirahat ke kamar."
"Li ...."
Alfi menggenggam erat telapak tangan Alia.
"Tolong lepaskan. Jangan buat aku membencimu. Tolong hargai keputusanku."
Alia melepaskan genggaman Alfi di kedua telapak tangannya.
"Ayah, Bunda, Alia ke kamar dulu."
Alia meninggalkan Alfi, dan kedua orang tuanya. Alfi duduk di sofa sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Alfi merasa frustasi. Tak terbayang kalau sikap Alia akan seperti ini, saat ia mengungkapkan keinginan untuk poligami.
"Alia itu hatinya keras. Kamu harus bersabar. Beri dia waktu. Tunjukan kesungguhan, kalau kamu benar-benar menyesali perbuatanmu. Ingatlah, batu kalau ditetesi air akan berlubang juga." Ayah Alia mengingatkan Alfi. Pria tua itu tidak memihak Alia, karena selama ini Alfi adalah suami, dan ayah, juga menanti yang baik dimatanya.
"Aku sungguh minta maaf, Ayah. Aku khilaf, aku berdosa, aku ...."
Alfi tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia terisak, tak bisa lagi ia menahan tangis. Ada rasa takut luar biasa yang tengah menyesaki perasaannya. Ia takut kesepian, ia takut kehilangan, ia takut sendirian.
"Aku benar-benar menyesal."
"Ayah tahu, Ayah mengerti. Tapi tak ada yang bisa kamu lakukan saat ini, sebaiknya kamu pulang."
"Anak-anak mana, Ayah?"
"Mereka pergi ke mart dengan Arin. Pintu rumah ini tetap terbuka bagimu. Kamu bisa tetap menjalankan kewajibanmu sebagai seorang Ayah, Alfi."
"Terima kasih, Ayah."
"Sebaiknya kamu pulang sekarang. Renungi lagi apa yang sudah terjadi. Agar lain kali kesalahan yang sama tidak akan terulang lagi."
"Baik, Ayah."
Alfi bangkit dari duduknya, begitupun kedua orang tua Alia.
Bunda Alia tak bersuara sedikitpun, beliau sangat kecewa, tapi beliau lebih memilih diam saja, tak ingin menumpahkan rasa marah pada menantunya.
"Aku pamit, Ayah, Bunda. Mohon maafkan aku." Alfi mencium telapak tangan, dan punggung tangan kedua orang tua Alia.
Kedua orang tua Alia mengantarkan Alfi sampai masuk ke mobil. Dan tetap di sana sampai mobil Alfi hilang dari pandangan mereka.
"Bagaimana ini, Ayah?"
"Bagaimana? Bagaimana apanya?"
"Urusan Alfi, dengan Alia ini?"
"Mereka sudah dewasa. Biarkan Alia memutuskan apa yang diinginkannya. Bunda jangan bertanya apapun ya. Biar dia bercerita, kalau ingin bercerita."
"Iya, Ayah."
Orang tua Alia masuk kembali ke dalam rumah. Meski ada rasa sedih, tapi mereka tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Jika tidak diminta oleh putri mereka.
*