Sekejap setelah teriakan Aswadana, terdengar suara derap kaki menginjak tanah yang memenuhi udara. Puluhan kaki sekelompok pria dewasa itu menerabas rerumputan maupun semak-semak lebat di dalam hutan. Mulut mereka meneriakkan kata “serang” yang dipenuhi tekad kuat dalam menghadapi musuh yang menjadi sasaran. Mereka semua menuju satu titik yang sama yaitu Kartajaya dan Arya Putra Wicaksana.
Arya maupun Kartajaya mulai meningkatkan waspada tingkat tinggi dan menajamkan pandangan. Senjata mereka sudah siap menghadapi para musuh yang hendak menyerang. Tubuh mereka pun telah mengambil ancang-ancang.
“Yang Mulia!” panggil Arya.
“Tajamkan telinga dan matamu!” seru Kartajaya.
Arya Sang Putra Wicaksana pun mengangguk, kemudian berusaha keras untuk memfokuskan konsentrasi dalam menatap lawan. Bayangan-bayangan tubuh dan suara langkah kaki semakin dekat, semakin menggetarkan keberanian Arya. Mereka menyerbu dengan kekuatan penuh dan tidak akan bisa dihentikan.
Suara benturan pedang pertama pun pecah. Itu adalah suara pedang Kartajaya yang berbenturan dengan pedang prajurit Aswadana. Suara benturan yang sangat keras dan memenuhi malam yang hening itu menyadarkan Arya untuk segera melayangkan pedangnya jua.
Arya membulatkan tekad dan mengangkat pedang untuk menepis serangan-serangan pasukan Aswadana yang hendak membunuhnya. Ia memfokuskan seluruh indra yang ada di tubuhnya untuk mengetahui keberadaan lawan dan arah serangan yang dilayangkan.
Kartajaya bergerak tanpa cela, ia terbiasa menghadapi peperangan dan mampu menghadapi banyak musuh sekaligus tanpa kesulitan. Ia menepis serangan tanpa membunuh para prajurit Aswadana dengan cara mematahkan pedang-pedang lawan kemudian memukul titik syaraf yang akan membuat mereka jatuh pingsan dan terlelap selama beberapa jam.
Sedangkan Arya Putra Wicaksana bergerak dengan seluruh kemampuannya. Segala teknik yang dipelajari dari Sang ayah dia praktekan secara bergantian. Dan tidak seperti Kartajaya yang memilih menumbangkan lawan dengan caranya sendiri, Arya justru menggores pedang pada bagian tubuh yang sangat vital dan dapat membunuh lawan dalam sekejap mata.
Tubuh Arya dan Kartajaya tak pernah terpisah jauh, tubuh keduanya hanya memiliki sedikit jarak diantara satu sama lain dan tak pernah benar-benar terlepas. Punggung keduanya saling menghadapi dan pedang keduanya saling berlawanan arah.
Arya mengatasi serangan beberapa pedang sekaligus hingga pedangnya bergetar hebat. Pedang buatan tangan Sang Ayah itu memiliki kualitas tinggi dan sangat kuat. Bukan sebuah pedang sembarangan yang sedang dia gunakan, melainkan pedang yang digunakan sang ayah untuk berperang bersama Yang Mulia Kartajaya di masa lampau. Siapa yang menyangka bukan jika kini dirinyalah yang berperang di sisi Yang Mulia Kartajaya atau Jenderal Perang Rajasa menggunakan pedang yang sama dengan yang digunakan Sang Ayah.
“Kalian pikir, kalian akan bisa menang dengan melawan pasukan perang Yang Mulia Ratu Prabawati!?” Teriak Aswadana, “Tidak! Kalian tidak akan pernah menang! Jumlah kami sangat banyak dan siap menghabisi kalian dalam sekejap…”
“Dia hanya ingin menggoyahkanmu, Arya. Jangan dengarkan ucapannya!” teriak Kartajaya.
“Baik, Yang Mulia.”
“Fokus pada lawanmu!”
Tepat ketika pedang Kartajaya hampir mengenai leher seorang prajurit, terdengar seruan Arya yang kesakitan. Akhirnya pedang lawan berhasil merobohkan pertahanan mereka dan mengenai tubuh Putra Wicaksana.
“Arya!!!” seru Kartajaya.
“Tidak apa-apa, hanya lengan kiriku yang terluka.” Jawab Arya.
Mendengar hal itu, Kartajaya meremas pedang semakin erat dan mempecepat gerakan tangannya untuk menangkis setiap serangan yang mengancam di depan mata. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum lawan menghabisi tubuh muda Arya yang belum berpengalaman dalam pertempuran besar. Jika tidak mungkin ia akan kehilangan Arya.
Saat sedang berfokus menghantam lawan dengan seluruh kekuatan dan kegesitan tubuhnya. Kartajaya tertegun dan terdiam tatkala melihat kehadiran seseorang yang tak pernah ia duga akan muncul di medan pertempuran.
Mahaguru Janggan Smarasanta!
Orang yang selama ini menghilang setelah menggagalkan pembalasan dendam Kartajaya kepada Wicaksana pada hari pemberontakan. Orang yang telah menggunakan ilmu sirep yang berhasil membuat seluruh masyarakat kerajaan tertidur lelap tanpa bisa menolak. Dia adalah orang yang sama dengan yang meletakkan Kartajaya di tengah hutan belantara dalam keadaan terlentang tak berdaya. Orang yang telah meninggalkannya bertahun-tahun lalu dan tak pernah muncul di hadapannya sejak saat itu. Kartajaya seolah dibuang dan tak lagi berguna.
Suasana medan pertempuran yang ramai tiba-tiba hening. Para musuh berhenti bergerak bahkan dedaunan tak lagi bergoyang. Tak satupun dari mereka menyerang kartajaya seperti sebelumnya. Aswadana dan prajuritnya mematung di tempat.
Waktu telah berhenti.
“Tidak perlu marah, Nak.” Ujar Mahaguru.
Mendengar perintah itu, Kartajaya meredam kekecewaannya dalam-dalam. Ia menelan kemarahan yang selama ini bercokol di dalam d**a dan hanya bisa pasrah atas keputusan Sang Mahaguru kepada dirinya.
“A – Apa yang terjadi, Yang Mulia!?” seru Arya sambil menoleh ke belakang.
“S – Siapa itu!?” pekik Arya tatkala menemukan cahaya putih yang memancar dari sosok yang berada sangat jauh dari tempatnya berdiri. Sosok itu tak terlihat namun cahayanya begitu terang hingga Arya tak bisa menembuskan pandangannya dan melihat siapa gerangan yang muncul dan membuat hal-hal aneh di medan pertempuran pertamanya.
Arya yakin jika sosok itu bukanlah Yang Mulia Kartajaya, karena Yang Mulia Kartajaya berdiri mematung di sampingnya dengan nafas memburu usai segala tenaga yang dia keluarkan dalam pertempuran hebat barusan.
“Beri salam. Dia adalah Mahaguru yang sesungguhnya.” Perintah Kartajaya.
Arya membelalak, kemudian dengan cepat berlutut di atas kaki dan menunduk dalam-dalam.
“Salam kepada Mahaguru.” Ujar Arya.
“Putra Wicaksana…” Panggil Mahaguru.
“Ya, Mahaguru. Hamba adalah Arya Putra Wicaksana.” Seluruh tubuh Arya tegang saat ternyata identitasnya diketahui dengan sangat mudah oleh Mahaguru.
“Kau sangat unik, Putra Wicaksana. Tak memiliki kesucian pikiran dan hati, namun ilmu batinmu sungguh kuat tanpa perlu diasah sama sekali.” Puji Sang Mahaguru.
“B – Benarkah, Mahaguru?” pekik Arya.
Mahaguru hanya diam dan tak menjawab melalui kata-kata, namun Kartajaya dan Arya tahu jika Mahaguru mengiyakan pertanyaan Arya barusan.
“Kau telah mengangkat anak muda ini sebagai muridmu, Kartajaya?” tanya Mahaguru.
“Betul. Tapi jika Mahaguru ingin mengambilnya sebagai murid, aku tidak keberatan.”
“Tidak, kau harus bertanggung jawab atas keputusan yang kau buat. Kau telah mengambilnya sebagai murid dan itu artinya kau harus mengupayakan keselamatan hidupnya. Kau wajib mengajari dan menunjukkan jalan-jalan kebaikan yang harus diambilnya…” Sosok Mahaguru bergerak mendekat, semakin lama semakin dekat hingga Arya dan Kartajaya bisa melihat sosok tubuh Mahaguru yang sesungguhnya.
Kartajaya berlutut di kaki Mahaguru.
“Mahaguru…”
Arya pun mengikuti apa yang Kartajaya lakukan dan berlutut di atas permukaan tanah yang terjal.
“Apakah kau mengerti apa yang baru saja kukatakan?”
Kartajaya mengangguk sebagai jawaban.
“Kartajaya, di dunia ini tidak ada Mantan Guru dan Mantan Murid. Itu adalah ikatan yang abadi. Ikatan yang kuat sebagaimana ikatan orangtua dan anaknya. Oleh karena itu, Sampai kapanpun. Di kehidupan manapun, Arya akan terus menjadi murid yang harus kau bimbing dengan baik.”
***