Pasukan Yang Mulia Ratu Prabawati berhasil menginjak tanah usai bersembunyi di pepohonan selama beberapa lama. Mereka menyusun strategi dengan matang dan berencana untuk menghabisi mangsa dengan anak panah-anak panah yang akan mereka lepaskan.
Mereka bergerak bak pemburu yang sedang mengincar binatang. Tak satupun dari mereka yang memiliki keberanian untuk menantang secara terbuka dan berhadap-hadapan dengan mangsa karena mereka tahu jika satu regu pasukan perang pun belum tentu berhasil menaklukkan calon buruan spesial yang sedang mereka incar.
Sayangnya, keberadaan mereka di persembunyian tertangkap basah dan anak panah yang dilepaskan pun berhasil ditangkis dengan mudah. Pria itu telah menyinggung ego para pasukan dengan tantangan terbuka yang dilayangkan. Tantangan yang berhasil membuyarkan strategi yang telah mereka susun matang-matang. Para prajurit itu turun dari persembunyian dan siap menantang maut yang menghadang.
Tak tanggung-tanggung, sasaran mereka berdua adalah Arya Putra Wicaksana dan sang legendaris Kartajaya – Seorang mantan Putra Mahkota yang menghilang ditengah prosesi kenaikan tahta. Telah bertahun-tahun Kartajaya menjadi incaran Yang Mulia Ratu Prabawati dan Yang Mulia Putra Mahkota Wiryasukma karena pemberontakan yang dilakukan Kartajaya. Mantan Jenderal Perang Kerajaan Salaka itu telah membunuh mendiang Yang Mulia Raja pada malam sebelum prosesi kenaikan tahta karena percecokan yang menyelimuti keduanya.
Bagi Yang Mulia Ratu Prabawati dan Yang Mulia Putra Mahkota Wiryasukma, Kartajaya harus ditemukan dan diberi hukuman yang setimpal atas pemberontakan yang telah dia lakukan bagaimanapun caranya.
Kejahatan Kartajaya tidak hanya sampai disana karena Kartajaya telah melakukan sihir untuk mengelabui semua orang demi menghindari penangkapan dan proses peradilannya. Sihir yang Kartajaya lakukan telah berhasil membuat seluruh penghuni kerajaan tertidur pulas sepanjang hari dan kehilangan jejak sama sekali.
Kartajaya bak angin yang menghilang tanpa jejak. Menyisakan kenangan-kenangan dan banyak kasak kusuk dikalangan masyarakat. Apalagi setelah ilmu sirep yang dia lakukan telah berhasil membuat penghuni kerajaan tertidur, seluruh kerajaan menjadi heboh karena kehebatannya. Jarang sekali ada orang yang mampu menidurkan semua wilayah kerajaan tanpa kecuali. Para Guru dan orang-orang yang memiliki ilmu batin tingkat tinggi di kerajaan Salaka pun berhasil takluk oleh sirep yang dilakukan Kartajaya.
Kejadian itu membuat seluruh penghuni Kerajaan menjadi semakin tunduk dan mengagumi Kartajaya. Mereka pun meyakini jika Kartajaya tidak akan pernah memberontak kepada ayahnya. Orang yang memiliki ilmu tingkat tinggi seperti Kartajaya pastilah memiliki kesucian batin yang tak bernoda. Tak akan ada kemarahan yang bisa membuat Kartajaya lepas kendali dan membunuh ayahnya sendiri.
Kenyataan tersebut membuat Yang Mulia Ratu Prabawati mengamuk, ia tidak bisa menerima pandangan masyarakat terhadap pemberontak Kartajaya sehingga membuatnya menetapkan aturan yang melarang masyarakat untuk menyebutkan nama Kartajaya, barangsiapa yang berani menentang setiap perintahnya, maka mereka akan mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Dan disinilah pasukan Yang Mulia Ratu Prabawati. Siap menerjang musuh utama Kerajaan Salaka dan menghabisinya tanpa sisa. Termasuk satu pengkhianat kecil putra Wicaksana.
Pimpinan pasukan mereka meniupkan siulan yang menandakan penyerangan. Dari setiap sisi hutan keluar bergerombol pasukan Kerajaan. Mereka semua terlihat keji dan penuh tekad dalam menghabisi Kartajaya. Terutama Panglima Aswadana yang memang memiliki dendam pribadi kepada Kartajaya.
“Mereka sangat menyeramkan, Yang Mulia…”
“Tetap berada di belakangku, jangan terlepas dan lindungi dirimu sebaik mungkin.”
Arya mengangguk.
“Wicaksana pasti telah mengajari putranya berpedang dengan baik.” Tutur Kartajaya yang identitasnya telah terbongkar. “Aku percaya padanya yang telah mengirimkanmu kepadaku.”
Ayahnya memang selalu mengajari berkuda dan berpedang. Dua keahlian yang tak boleh dilewatkan oleh Putra Wicaksana.
“Aku akan melaksanakan seluruh perintah Yang Mulia Raja Kartajaya.” Arya menekuk salah satu lututnya dan bersimpuh dihadapan Kartajaya, memberi hormat pertamanya sebagai murid sekaligus sebagai Abdi Raja.
“Dia bukanlah Rajamu, wahai Putra Wicaksana!” teriak Panglima Aswadana dari satu sudut hutan yang gelap. Ia memiliki mata yang tajam dan terbiasa dikegelapan malam hingga bisa melihat apa yang sedang dilakukan Arya Putra Wicaksana, “Dia adalah pemberontak yang seharusnya kau jauhi!”
“Panglima Aswadana…” lirih Arya dengan seluruh tubuh yang tegang. Walau tak mengenalnya secara langsung, namun kasak kusuk tentang sifat kejam Panglima Aswadana pernah didengarnya. Orang itu adalah tangan kanan kepercayaan Yang Mulia Ratu Prabawati.
“Bangunlah, anak muda.” perintah Kartajaya.
Arya pun bangun, kemudian bergeser ke kanan dan menyipitkan mata untuk menatap kegelapan yang menyelimuti seluruh hutan. Hanya ada bayangan manusia-manusia tinggi dan tegap sambil memegang senjata. Mereka semua adalah pasukan terlatih yang memiliki tubuh bugar.
“Jangan ganggu anak muda ini, Aswadana.” Tutur Kartajaya kemudian. “Dia hanya anak kecil tidak bersalah.”
“Dia adalah pengkhianat Kerajaan Salaka, sama sepertimu Kartajaya!” Seru Panglima Aswadana, “Dia dan keluarganya akan diadili di bawah hukum Yang Mulia Ratu Prabawati. Tidak ada sesiapa yang akan bisa menyelamatkan mereka!”
“T – Tidak!” gumam Arya. “Keluargaku tidak bersalah. Aku pergi kemari atas inisiatifku sendiri!” seru Arya panik mendengar keluarganya disebutkan oleh mulut kotor manusia kejam seperti Aswadana.
“Seluruh pasukan sudah berkumpul di depan rumahmu, Anak muda. Mereka sudah bersiap mengadili para pengkhianat malam ini juga!”
“b******k kau Aswadana!” teriak Arya Putra Wicaksana.
“Tahan emosimu!” seru Kartajaya.
“Keluargaku! Mereka hendak mengeksekusi keluargaku…”
“Mereka tak akan menemukan keluargamu…” ujar suara Kartajaya di telinga Arya.
Anak muda itu membelalak, menatap tak percaya sambil memperhatikan Kartajaya. Pria itu fokus menatap kegelapan dan tidak terlihat sedang berbicara dengan dirinya, namun entah mengapa suaranya terdengar begitu jelas di telinga Arya.
“Bagaimana bisa?” gumam Arya.
Suara Kartajaya kembali menggema di telinga Arya, “Sudah kututup rumahmu dengan kabut penyamar. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa menemukan keluargamu. Tapi itu hanya akan berlangsung selama beberapa hari. Sekarang kau hanya perlu bertahan dan ketika musuh berkurang. Kau larilah secepat-cepatnya. Akan ada kuda yang kau temui di sepanjang jalan dan gunakanlah. Itu adalah kuda perangku yang memiliki kecepatan yang sangat tinggi.”
Selama penjelasan itu Kartajaya hanya diam, tidak membuka mulut sama sekali, hingga Arya merasa seperti halusinasi. Apalagi melihat musuh yang diam dan tak bergerak. Tak ada dedaunan yang bergoyang oleh angin yang berhembus di tengah hutan.
Waktu seperti membeku.
“Tapi…” gumam Arya.
“Sst!” suara itu berbisik lagi.
“Baik, Yang Mulia.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Sebuah angin dingin menerpa dedaunan dan segalanya kembali bergerak. Termasuk musuh yang ada di depan sana.
“Kau akan bernasib sama seperti Pengkhianat yang kau temui ini, Arya! Kau akan kehilangan istri dan orangtuamu pada malam yang sama! Pada saat itu juga!”
“Jangan kau ulangi dosa itu Aswadana. Tidakkah kau takut pembalasan yang akan menimpamu?”
“Tidak akan ada yang bisa membalasku. Baik neraka sekalipun tak akan berani menyentuh Seorang Aswadana!” Seru Aswadana.
“Tidak mungkin neraka melepaskan seorang pembunuh keji sepertimu, Aswadana. Ayahku, Istriku dan para abdi setiaku. Berapa kepala yang kau penggal dengan pedang terkutukmu itu?”
“ITU ADALAH FITNAH YANG KEJI!!!” Seru Aswadana tak terima.
“DAN APA YANG KAU LAKUKAN TAK KALAH KEJI!!!” sahut Kartajaya.
“KAU JAUH LEBIH KEJI KARTAJAYA. KAU MEMBUNUH ANAKKU!”
“Anakmu memenggal dirinya sendiri!”
“Dan itu semua karena ulahmu!”
“Itu semua karena patah hatinya yang gagal mendapatkan hati istriku!” seru Kartajaya, “Kematian anakmu bukan salah kami berdua!”
“b******k kau Kartajaya. Selalu mengelak dan tak mau mengakui dosamu! Akan kubunuh kau malam ini juga! PASUKAN, SERANG!!!”
***