“Sebagaimana aku telah mengawasimu selama ini, yang aku inginkan adalah keselamatanmu. Kehidupan yang baik untukmu. Aku tidak pernah meninggalkanmu, Kartajaya.”
“Terima kasih, Mahaguru.”
“Bebaskan seluruh kemarahan dan kecewa di dalam hatimu, Kartajaya. Hapus semua itu agar kau bisa melanjutkan hidup tanpa ganjalan. Lepaskan segala emosi yang bercokol di dalam diri. Lepaskan istri dan ayahmu pergi. Hiduplah tanpa beban yang memberati…” nasehat Mahaguru.
“Aku akan berusaha melakukannya, Mahaguru. Malam ini aku telah mengikhlaskan kepergian Lintang dan Ayah. Aku pun tidak akan pernah memikirkan tahtaku lagi. Aku sudah membebaskan seluruh ambisi duniawiku. Melepaskan segalanya dan akan hidup dalam pertapaan.”
Mahaguru menggeleng tak setuju, “Kartajaya, kau memiliki tugas yang sangat berat dimasa yang akan datang. Kau memiliki takdir yang tidak bisa ditanggung dengan mudah. Memerlukan kekuatan dan kesabaran yang sangat besar untuk bisa menjalani masa depanmu…”
Kening Kartajaua mengernyit, “Benarkah Mahaguru? Apa yang akan terjadi kepadaku nanti?”
“Kau tidak perlu gentar. Walau tanpa kehadiranku, kau akan mampu menghadapi masa depanmu. Ingat apa yang kukatakan dulu? Bahwa duniamu lebih besar dari Salakanagara. Hidupmu lebih dari sekedar Kartajaya. Kau lebih dari itu semua.”
“Masa depanku tanpa kehadiranmu… Maksud Guru…”
“Ya, Kartajaya. Kau akan menghadapi dunia itu tanpa keberadaanku di sisimu…”
“Mengapa begitu, Mahaguru? Engkau memiliki berkah usia yang panjang…”
“Karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertahan kala itu…”
Kartajaya termenung, apakah memang masa depannya seberat itu sampai Mahaguru pun tidak yakin dengan keberadaan dirinya sendiri di dunia ini.
“Mahaguru…”
“Tidak perlu resah.” Potong Mahaguru, “Kau telah memiliki seorang murid yang akan mengikuti kemanapun kau pergi.”
Mahaguru menoleh menatap Arya.
“Mahaguru…” sahut Arya.
“Kau akan setia kepada Gurumu. Sampai kapanpun dan berapa banyak kematian yang kau hadapi sekalipun, dia adalah gurumu. Apa kau mengerti?”
Arya menunduk, “Aku mengerti. Aku akan melakukan perintah Mahaguru dengan sebaik mungkin. Aku akan setia kepada Yang Mulia Raja Kartajaya – sekaligus guru pertama yang aku punya.”
“Bagus. Karena itu, terimalah hadiah dariku…”
“Hadiah?”
Arya menarik wajahnya ke atas, menatap Mahaguru dengan penuh tanya. Rupanya Mahaguru tengah mengulurkan tangan dan sebuah kabut putih yang bercahaya timbul dari permukaan tangannya. Kabut itu ditiup dengan sangat ringan oleh Mahaguru, kemudian melayang di udara dan menghinggapi kepala Arya.
Kabut bercahaya itu menghilang perlahan-lahan dan berhasil memasuki kepala Arya sepenuhnya. Arya merasakan kehangatan menyelimuti seluruh tubuhnya tatkala cahaya itu meresap ke dalam kepalanya. Dalam waktu yang amat singkat, Arya merasa tenang dan damai. Ia tak pernah merasakan ketenangan semacam ini sebelumnya. Bahkan, Arya menyadari jika pandangan matanya menjadi lebih tajam, ia bisa melihat dengan cukup jelas di kegelapan malam, selain itu kepalanya pun menjadi lebih jernih dan sangat fokus sekarang.
“Terima kasih, Mahaguru.” Seru Arya sambil menunduk semakin dalam di kaki Sang Mahaguru.
“Manfaatkan dirimu untuk kebaikan, Arya.”
“Baik, Mahaguru. Akan kusimpan baik-baik pesan Mahaguru.”
“Sekarang kalian pergilah dari medan pertempuran ini, selamatkan diri kalian dari hal tidak perlu seperti ini.”
“Melarikan diri dari pertempuran lagi?” pekik Kartajaya. Kepalanya mendongak menatap Mahaguru dengan seluruh tubuh yang tegang.
Ia tak setuju dengan perintah Mahaguru yang satu ini.
“Ya, Kartajaya. Pergilah dari sini secepatnya. Selamatkan diri kalian baik-baik. Kau dan Arya tidak boleh meninggal di sini.”
“Tapi Mahaguru…”
“Kau tidak mempercayaiku, Kartajaya?”
“Aku mempercayai Mahaguru. Hanya saja, melarikan diri dari pertempuran yang sedang terjadi adalah tindakan pengecut dan jauh dari sifat ksatria. Aku tidak bisa mempermalukan diriku sendiri seperti itu, Mahaguru.”
“Ada yang lebih penting dari menyelamatkan egomu, Kartajaya. Yaitu menyelamatkan nyawa muridmu dan dirimu sendiri dari perangkap Aswadana. Pria keji itu telah memasang banyak perangkap di hutan ini, dan akan datang pasukan-pasukan yang menyusul dalam perjalanan. Mereka akan memecahkan perang yang sia-sia hanya untuk membunuh kalian berdua. Kartajaya, akan ada banyak nyawa yang jatuh ditanganmu, akan ada banyak yang terluka. Kau akan menghabisi mereka dengan mantra-mantramu. Mantra yang tidak boleh digunakan sembarangan.” Jelas Mahaguru.
Arya dan Kartajaya termenung mendengar penjelasan Mahaguru. Mereka membayangkan itu semua di dalam pikirannya.
“Jadi, Jika kau tidak menekan egomu dalam-dalam, maka akan ada banyak pasukan yang meninggal hanya karena pertempuran ini dan Arya bisa meninggal karena serbuan pasukan Aswadana yang belum mampu dibendungnya. Mampukah kau – sebagai guru – melenggang pergi dari pertempuran sementara muridmu tak bernyawa diterkam lawan?”
Kartajaya terdiam, menoleh pada Arya yang juga tak mampu berkata-kata.
“Kematian memang hal biasa dalam pertempuran. Tapi tidak kali ini, Kartajaya. Bukan sekarang saatnya untuk kalian berdua mati.” Mahaguru berbalik, menatap Aswadana yang mematung di tempat.
“Aku tahu jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk membalas dendam pada Aswadana. Tapi bukankah kau berkata bahwa dirimu telah melepaskan diri dari seluruh ambisi duniawi?”
Sang Raja yang tersisihkan itu pun mengangguk pasrah. Ia memang ingin melepaskan ambisi duniawi, namun kehadiran Aswadana di hutan ini telah memercik keinginan untuk membalas dendam yang selama ini bercokol di dalam dadanya.
Kartajaya menarik nafas kemudian memejamkan mata, mencoba meredam emosi yang melanda.
“Mohon maaf atas kelancanganku, Mahaguru.”
“Kau hanyalah manusia biasa yang bisa goyah karena dendam yang bercokol di dalam dirimu. Tapi Manusia yang berilmu pasti mampu menahan seluruh kebodohan yang menguasai dirinya. Sekarang pikirkan jalan terbaik untuk dirimu sendiri, tetap bertahan dalam kebodohan itu atau membawa muridmu pergi dari sini?”
“Aku akan mengikuti perintah Mahaguru.”
“Bagus, sekarang pergilah tanpa membawa apapun dari gubuk itu. Pergilah hanya dengan kain yang melekat di tubuhmu ini. Dan mengembaralah kalian ke tempat yang jauh. Sangat jauh.”
“Kemanakah aku harus pergi, Mahaguru?”
“Ke tempat dimana ilmu dan seluruh kemampuanmu sangat dibutuhkan, Kartajaya. Tempat yang tidak akan pernah kau bayangkan. Sekarang, bangunlah, berdiri dengan tegap dan jangan risau akan masa depan.”
Kartajaya dan Arya Putra Wicaksana pun berdiri menghadap Mahaguru tanpa menatap wajah beliau sama sekali.
“Bagaimana dengan keluargaku? Istriku?” tanya Arya.
“Kau akan menemui mereka setelah ini. Ikuti perintah Kartajaya.”
“Tapi, bukankah Mahaguru memerintahkanku untuk mengembara jua?”
“Tentu, kau akan mengembara bersama Kartajaya, tapi tidak diwaktu bersamaan. Kalian memiliki waktu kalian masing-masing.”
“Jadi setelah ini aku pulang ke rumahku, lalu mengembara bersama Yang Mulia Raja Kartajaya?”
Mahaguru mengulurkan tangan dan menepuk pundak Arya.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal. Alam akan mengatur waktu yang tepat untukmu.”
“Alam akan mengatur waktu untukku?”
“Ya, Arya. Kita akan mengembara bersama suatu hari nanti. Untuk saat ini, kita harus berpisah, kau pulang ke rumah dan menyelamatkan keluargamu, sementara aku akan mengecohkan para prajurit Aswadana.”
“Itu adalah keputusan yang sangat bijaksana, Kartajaya.”
***