Adalah sebuah keajaiban jika sampai tubuh Aksata mampu diajak berjalan sejauh ini. Walau goyah namun kaki-kaki kurusnya mampu menopang dan melewati setiap pasir yang menghadang. Walau lelah namun tubuhnya bertahan dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Gurun ini adalah sekering-keringnya tempat yang pernah Kartajaya kunjungi sepanjang hidupnya. Tak ada satupun tempat di Kerajaan Salaka yang memiliki panas, kelembaban dan kekeringan seperti tempat ini.
Aneh sekali. Padahal wilayah bunker Lord Yasa sangatlah hijau dan subur, tapi mengapa wilayah ini sangatlah berseberangan dengan wilayah tersebut. Bukankah mereka masih berada di satu kesatuan wilayah yang sama, atau berbeda?
“Entahlah…” gumam Kartajaya.
Namun Kartajaya teringat pada penjelasan Makula yang mengatakan bahwa wilayah tersebut dilindungi oleh danau pengorbanan yang telah mengorbankan seluruh airnya untuk menghijaukan dan menyuburkan tempat tersebut, dan bahkan di bawah danau itu masih terdapat cadangan air yang sangat melimpah yang diikat oleh sebuah kekuatan besar. Jadi, mungkin itulah sebabnya mengapa wilayah bunker Lord Yasa dan wilayah gurun ini sangatlah berbeda.
Kartajaya terbatuk beberapa kali, ia merasa dadanya sesak oleh kain yang ia gunakan untuk menutup wajahnya dari angin yang membawa pasir. Bahkan matanya terasa perih karena iritasi yang disebabkan oleh angin berpasir pula.
Pria itu tak berhenti dan terus mengikuti dari mana datangnya cahaya terang berwarna ungu tersebut. Setelah menanjaki wilayah-wilayah yang berdataran tinggi, Kartajaya pun akhirnya sampai pada puncaknya, dan ia memiliki pilihan untuk menurun atau kembali.
“Oh… tidak…” lirih Kartajaya.
Matanya terpaku melihat hanya ada pasir sejauh mata memandang. Padang pasir yang sangat luas seolah tiada tanda kehidupan.
Sesungguhnya tempat Kartajaya berdiri merupakan sebuah cekungan yang sangat besar dan luas, dan ia berdiri ditepi cekungan yang menggunung seolah seluruh pasir yang sebelumnya ada di cekungan tersebut terdorong ke samping dan menumpuk menjadi sebuah bukit-bukit pasiryang mengellilingi cekungan.
Ditengah keterpanaannya memandang pasir, mata Kartajaya menatap langit yang dipenuhi warna ungu di wilayah cekungan, warna indah yang berasal dari sesuatu yang berada tepat di tengah-tengah cekungan. Sesuatu yang sangat besar dan bercahaya.
“Sebuah batu?” gumam Kartajaya heran.
Pemuda itu memilih duduk di atas pasir sambil menarik nafas sejenak. Perhatiannya tak lepas dari bagaimana indahnya batu tersebut mengeluarkan cahaya.
Menurut Makula dan Eira, batu tersebut mampu membakar habis apapun yang ada di sekitarnya. Ia sangat ganas dan terkadang melecutkan cahaya yang akan melumat manusia manapun yang berani mendekatinya.
“Apakah itu batu atau makhluk asing yang berbentuk batu? Bagaimana bisa sebuah batu melecutkan cahaya untuk menyerang manusia?” pikir Kartajaya.
Ia tak berani melangkah lebih dekat karena mengingat setiap penjelasan Makula tentang batu tersebut sebelumnya. Sebab itu, Kartajaya memilih untuk duduk sambil memandang setiap pergerakan cahaya yang batu itu keluarkan. Cahaya yang sebenarnya begitu indah dan memukau siapapun yang memandangnya.
Ditengah keterpesonaan itu Kartajaya menyadari bahwa tubuhnya sangat letih hingga kantuk pun datang menyerang. Ia telah menahan letih itu selama berjam-jam sementara langit sudah mulai menggelap dan malam menjelang. Suhu gurun yang panas menurun drastis dan berubah menjadi dingin.
Dingin yang sangat mencekam.
Kartajaya mengenakan jaket hitam yang dipersiapkannya. Lalu berbaring di atas pasir untuk meredakan nyeri dan lelah yang dirasakan tubuhnya.
Ia menguap berkali-kali, rasanya seperti kantuk yang sangat tak tertahankan, padahal lima menit yang lalu Kartajaya masih mampu menahannya. Mengapa tiba-tiba ia mengantuk berat hingga tak berdaya menahan semua ini.
Dalam sekejap mata Kartajaya pun terpejam dan berpindah ke alam mimpi. Ia terlelap sangat dalam hingga tak merasakan angin dingin gurun yang begitu mencekam.
Tak sekalipun Kartajaya bangun walau suara angin gurun yang semakin lama semakin keras, dan suhunya semakin menggigit tulang-tulangnya.
Kartajaya seperti dilindungi oleh sebuah selimut tebal yang hangat. Selimut yang memberikan kenyamanan, bahkan seluruh lelah yang ia rasakan terangkat dari tubuhnya.
Pemuda itu bermimpi. Mimpi yang sangat aneh dan panjang.
Ia melihat tubuh Aksata yang ringkih terbaring di atas permukaan danau kering setelah terjatuh dalam pelarian. Aksata mengeluarkan setetes air mata yang mengalir dan membasahi tanah kering tersebut, kemudian tak disangka-sangka, bekas air mata Aksata di tanah kering itu diserap dengan sangat cepat dan pada saat itu pula tali cahaya berwarna biru menjalar seperti akar di seluruh permukaan danau kering tempat Aksata berbaring.
Tali biru yang terlihat seperti akar itu kemudian mengikat seluruh tubuh Aksata, mengelilingi Aksata dari ujung kepala hingga kaki hingga yang terlihat hanyalah wajah pucatnya saja.
Pada saat itu pula Aksata terbangun seketika, matanya terbuka dan melihat seluruh tubuhnya telah dililit oleh cahaya biru yang membuatnya tak mampu melarikan diri dari seluruh ngeri yang mencekam hati.
Pemuda itu panik, ia bergerak-gerak hendak melepaskan diri. Mulutnya melolongkan teriakan demi memohon sebuah pertolongan. Teriakan yang sangat sia-sia.
“Tolong!!! Arsen! Lord Yasa! Tolong aku… Argh! Lepasss… lepasss!” teriak Aksata yang panik bukan main karena cahaya aneh yang melingkari seluruh tubuhnya.
Pada saat bersamaan, Sebuah cahaya putih yang berbentuk bulat muncul dari dalam tanah. Cahaya putih itu diikat oleh sebuah tali cahaya berwarna biru kemudian diletakkan di atas kepala Aksata. Seperti air yang terserap, Cahaya putih itu menghilang di dalam kepala Aksata. Meresap ke dalam setiap pori-pori kepala Aksata dan lenyap tak berbekas.
Sebuah kesadaran merasuk ke dalam diri Aksata, tubuhnya bergetar beberapa kali hingga kemudian tali cahaya berwarna biru itu melepaskan lilitannya dari tubuh Aksata, kemudian bergerak mundur dengan sangat cepat dan kembali ke dalam tanah. Cahaya itu menghilang sama sekali dan muncul setelahnya.
Namun anehnya, sebuah rombongan kupu-kupu muncul entah dari mana, kupu-kupu itu mengeluarkan cahaya berwarna biru yang membuat mereka tampak magis dan indah. Segerombol kupu-kupu itu pun menghinggapi tubuh Aksata yang tergeletak tak berdaya di atas permukaan tanah danau yang kering.
Hampir seluruh tubuh Aksata dihinggapi oleh kupu-kupu tersebut hingga tak terlihat sama sekali. Kupu-kupu itu sangat banyak dan entah dari mana asalnya. Pada saat itu tubuh Aksata bagaikan gumpalan cahaya berwarna biru yang dilingkupi kupu-kupu yang sangat misterius.
Pada saat itu pula terdengar suara.
“Kami mengembalikan seluruh ilmu, kekuatan dan ingatan yang kau korbankan di masa lalu ke dalam tubuhmu yang telah terlahir kembali di masa kini.”
Splash!
Usai kalimat itu berakhir, kupu-kupu pun menghilang tak berbekas, bahkan debu maupun cahayanya tak bersisa di permukaan kulit Aksata.
Kartajaya pun terbangun dari mimpi tersebut dengan cepat dan terengah-engah. Ia membelalak hebat, keningnya berpeluh deras. Ditengah keheranannya atas mimpi yang baru saja mendatanginya, Kartajaya menyadari jika tubuhnya sedang bergerak lambat. Ia pun menunduk dan baru menyadari jika kakinya telah dililit oleh cahaya ungu dan diseret ke tengah-tengah cekungan padang pasir. Posisinya sudah sangat dekat dengan batu yang menjadi pusatnya.
“Apa ini! Tidak! Lepaskan!” teriak Kartajaya.
***