Kartajaya tidak tahu mengapa hal ini terjadi untuk ke sekian kalinya. Jika dulu cahaya berwarna biru yang melilitnya, kini cahaya berwarna ungu yang katanya sangat berbahaya lah yang menguasainya. Ia bahkan tidak bisa menghentikan tubuhnya sendiri untuk tidak terseret semakin dekat kebata batu tersebut.
Pada saat ia mulai pasrah dan lelah, Kartajaya pun menghembus nafas keras dan menekan kepalanya di atas pasir gurun yang sangat kering di malam hari.
“Aksata!!!!”
Sebuah teriakan bersusul-susulan terdengar di telinga Kartajaya, ia pun membuka mata kemudian mendongakkan kepala. Dari kejauan Kartajaya bisa melihat beberapa pemuda sedang berlari ke arahnya, pemuda-pemuda berpakaian prajurit layaknya anggota perkumpulan Lord Yasa di bawah tanah.
Semakin lama sosok-sosok itu semakin dekat hingga Kartajaya bisa melihat wajah masing-masing dari mereka. Rupanya mereka adalah Arsen dan beberapa senior yang merupakan anggota pasukan khusus prajurit Lord Yasa. Di antara mereka terdapat Makula yang berlari di barisan paling belakang.
Mereka saling susul menyusul untuk tiba di tempat Kartajaya terlebih dahulu, namun pada akhirnya Arsen lah orang tercepat yang sampai di samping Kartajaya.
“Aksata, apa yang kau lakukan disini??” Arsen heran bukan main tapi tetap sigap membantu menarik tubuh Kartajaya menjauh dari tali batu besar berwarna ungu tersebut.
“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku ada disini padahal sebelumnya aku ada di atas sana…” Kartajaya menunjuk puncak perbukitan dengan susah payah.
Sementara Arsen tak menggubrisnya dan terus berusana menyeret tubuh Kartajaya menjauh dari pusat batu bercahaya tersebut. Beberapa orang lainnya datang menyusul dan membantu Arsen dalam menyeret tubuh Kartajaya.
Mereka gotong royong menjauhkan Kartajaya dari tarikan tali berwarna ungu, namun sayangnya tali itu tak mau melepaskan Kartajaya sehingga mereka saling tarik menarik tubuh Kartajaya dengan tali tersebut.
“Sial! Aku baru tahu jika batu aneh ini memiliki tali bercahaya pula!” ujar salah satu teman Arsen. “Aku pikir cahayanya hanya bisa menyambar dan menghanguskan semua hal yang dikehendakinya!” sahut seorang prajurit bertubuh besar dan bermata biru yang ada di sebelah kiri Kartajaya.
“Ya, aku pun baru melihatnya. Padahal aku sering sekali mengikuti perkembangan hasil penelitian cahaya ungu ini!” jawab yang lainnya. “Baru kali ini aku melihatnya memiliki sebuah tali semacam itu!”
“Ya Tuhan, Tubuhmu berat sekali, Aksata…” keluh Razaq, seorang prajurit berkulit hitam. “Apa yang sebenarnya kau makan sebelum ini?”
“Bukan tubuhku yang berat, tapi tali itu yang membuatku terasa berat.” Jawab Kartajaya tak terima. Bagaimanapun juga tubuh Aksata masih sangat kurus, jadi tidak mungkin dirinya berat!
“Kau benar, tali itu sangat kuat dan kekuatan kita pun sepertinya akan kalah dengannya. Apa jadinya jika kita tidak mampu menyelamatkan Aksata?” keluh Razaq.
Arsen mengernyit, “Jangan bicara sembarangan. Kita masih bisa mengupayakannya. ERGH!” jawab Arsen sambil menahan tubuh Kartajaya yang terus ditarik oleh tali cahaya yang misterius itu.
“Tapi aku khawatir jika kita terlalu dekat maka kita akan hangus oleh sambaran cahaya batu itu…” Ujar Makiel yang berambut keriting.
“Lihat! Aksata baik-baik saja, bahkan kita yang sudah terlalu dekat dengan pusat cahaya pun baik-baik saja. Ini adalah sebuah keajaiban. Jadi mungkin ketika kita sampai disana…” jawab Michael – saudara kembar dari Makiel.
“Tidak! Aku tidak mau sampai ke pusat cahaya!” seru Makiel. “Aku pernah melihat rekaman berita yang menampilkan bagaimana cahaya itu memberangus benda-benda di sekitar layaknya api murka hingga mampu merubah segala hal menjadi debu!”
“Daripada kalian terus berdebat, lebih baik pusatkan tenaga kalian untuk menarik Aksata agar terlepas dari tali yang melilit kakinya!” geram Arsen yang sedang memeluk Kartajaya dari belakang. Berusaha menumpukan seluruh tenaga untuk menyeret tubuh Kartajaya dengan menggunakan setiap kekuatan tubuhnya.
Sayangnya, upaya Arsen gagal, justru ia ikut semakin terseret bersama Kartajaya.
“Hitung sampai tiga, lalu kita tarik bersama!” perintah Arsen.
“Benar!!!” seru semuanya kompak.
“Satu! Dua! Tiga!!!” teriak Arsen.
Tepat pada seruan ketiga, mereka pun mengeluarkan seluruh tenaga mereka untuk menarik Kartajaya secara bersamaan. Awalnya hal itu cukup berhasil dan membuat Kartajaya semakin menjauh dari pusat cahaya. Namun sang tali cahaya justru menarik tubuh Kartajaya semakin kuat hingga segala upaya itu seperti sia-sia belaka.
“Satu! Dua! Tiga!!!” teriak Arsen sekali lagi.
“AAARGH!!!” seru semua anggota pasukan khusus yang berusaha menciptakan tekanan dan tarikan yang bisa menyelamatkan kawan-kawan mereka.
“Tidak berhasil! Kita selalu kembali seperti semula… Tubuh kurus Aksata terasa sangat berat, tali itu pun memiliki tarikan yang sangat kuat!”
Mendengar hal itu Kartajaya mulai menyerah, “Sudah, lebih baik kalian lepaskan aku. Selamatkan diri kalian terlebih dahulu. Posisi kita sudah semakin dekat dengan pusat cahaya. Jadi lebih baik kalian pergi sebelum sambaran cahaya itu menghanguskan kalian. Cepat pergi!” seru Kartajaya. Selain mengkhawatirkan keselamatannya sendiri, ia pun mengkhawatirkan keselamatan teman-temannya. Sebab itu, ia menarik tangannya dari pegangan mereka semua.
Arsen mempererat pelukannya, “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu! Jangan menyerah!” seru Arsen.
“Tapi selamatkan diri kalian terlebih dahulu!” Kartajaya bersikeras.
PLTAK!!!
Arsen menjitak kepala Kartajaya kemudian menggeram marah, “Jangan menyerah!”
Kartajaya pun terdiam sambil memendam kekesalannya. Walau bagaimanapun dia adalah seorang Putra Mahkota di Kerajaan Salaka, Semua orang memperlakukannya dengan hormat dan hati-hati, oleh karena itu ia tidak terbiasa dengan perlakuan sembrono seperti yang sering Arsen lakukan.
“Fokus! Jangan goyah!” Arsen memperingatkan sekali lagi.
Suara terengah-engah datang dari Makula yang baru sampai di dekat Kartajaya, pemuda itu cukup payah menghadapi pasir gurun yang menyulitkan langkahnya.
“Katakan… Katakan dengan seluruh kekuatanmu, minta cahaya itu agar melepaskanmu…” ujar Makula sambil tersengal-sengal. Pemuda itu menghirup nafas sebanyak-banyaknya dan menelan ludah dengan cepat.
Ia terlihat sangat kelelahan.
“Bagaimana caranya?” tanya Kartajaya.
“Jangan tanya aku. Hanya kau yang tahu caranya!” teriak Makula. “Arsen! Berhenti menahan tubuh Aksata, lepaskan dia… lepaskan dia dan menjauhlah dengan cepat!” perintah Makula.
Arsen yang keras kepala tidak mendengarkan perintah Makula, ia tetap memaksakan diri untuk menarik Kartajaya dengan seluruh kekuatannya.
“Arsen! Tolong dengarkan Makula. Lepaskan aku. Lepaskan tubuhku dan cepat menjauh! Cahaya itu sangat berbahaya bagi kalian. Cepat!” teriak Kartajaya.
“Arsen! Dengarkan aku, selamatkan prajuritmu dari bahaya dan menjauhlah secepatnya. Percayalah kepadaku!” teriak Makula. “Tolong selamatkan nyawa prajuritmu terlebih dahulu, Arsen!”
“Arsen, dengarkan manusia aneh itu… Dia memintamu untuk mempercayainya…” lirih Mikael sambil melirik Makula.
“Iya, Arsen, mari dengarkan manusia aneh itu, bukankah Lord Yasa sangat mempercayainya? Jadi lebih baik kita dengarkan mereka…” sahut Michael. “Ayolah, ini sudah sangat dekat dengan pusat cahaya!”
Seolah baru tersadar akan sesuatu, Arsen mengerjap, wajahnya menampakkan raut tidak enak karena telah membantah Makula.
Ia pun segera mengikuti perintah Makula dengan melepaskan tubuh Kartajaya dan memerintahkan pasukannya untuk mundur.
“Mari kita lepaskan Aksata. Lalu dalam hitungan ketiga, kita berlari sejauh-jauhnya dari tempat ini!” perintah Arsen, “Satu! Dua! Tiga!”
Pada hitungan ketiga seluruh pasukan khusus itu melepaskan genggaman mereka dari tubuh Kartajaya untuk melarikan diri secepat-cepatnya. Makula menyusul mereka dari belakang sambil berteriak kencang memberikan peringatan.
“Minta dia untuk melepasmu! Minta dengan seluruh kekuatan yang ada di dalam dirimu!” perintah Makula sambil melarikan diri menjauhi pusat cahaya. Berkali-kali Makula menoleh ke belakang, namun tak sekalipun ia menghentikan langkah kakinya.
***