Kartajaya membuka lemari kayu berukuran sedang tersebut dan menemukan setumpuk pakaian dengan warna yang bermacam-macam. Ia memilah-milah mana yang paling cocok dengan dirinya dari sekian pakaian yang tersedia, hingga pilihannya berakhir pada sebuah celana hitam, kaos putih berlengan pendek dan jaket hitam yang pasti akan Kartajaya butuhkan untuk melalui malam yang dingin di gurun pasir ini.
Setelah yakin semuanya terpasang dengan rapi dan sesuai di tubuhnya, mata Kartajaya menemukan sebuah kain dan topi untuk menutup kepalanya dari sengat sinar matahari yang mulai mengintip dari balik awan setelah dahsyatnya badai yang menerpa.
Bagi Kartajaya yang terbiasa dengan waktu di Kerajaan Salaka yang seimbang antara lamanya siang dan malam, ia merasa belum terbiasa dengan waktu yang bergulir di Kerajaan Skars. Di Kerajaan ini siang terasa sangat panjang, sedangkan malam terasa cukup singkat. Sungguh pengaturan waktu yang berbeda.
Itu sebabnya Kartajaya sempat mengira bahwa hari sudah malam nan gelap, karena ia merasa yakin bahwa dirinya berada di bagasi mobil dalam waktu yang cukup lama, dan bahkan sempat pingsan karena pusing kekurangan oksigen selama penyekapan. Kejadian itu tentu membuat Kartajaya kehilangan jejak atas waktu yang bergulir di dunia yang ditinggalinya. Apalagi saat terlepas dari bagasi dan melarikan diri, Kartajaya berpikir bahwa hari sudah malam tatkala ia melihat langit yang sangat gelap. Rupanya hal itu dikarenakan oleh kumpulan awan suram yang berasal dari badai hingga membuat langit menjadi gelap dan menyeramkan.
Kini, ketika badai itu pergi dan awan gelap melarikan diri, Langit kembali cerah, sinar mentari kembali mengintip dan bahkan hari kembali terasa seperti sore hari yang terang.
Tapi Kartajaya yakin, jika saat ini sudah memasuki jam makan malam di bunker prajurit bawah tanah milik Lord Yasa.
Mungkin sebab itu pula perut Kartajaya terdengar berisik seolah memprotes karena sudah lama tidak diisi oleh makanan. Ia pun merasakan perutnya melilit perih.
“Apakah itu kotak makanan? Bentuknya sama persis seperti yang ada di mobil Lord Yasa…” gumam Kartajaya pada diri sendiri.
Ia pun berjalan mendekati kotak makanan yang berada tak jauh darinya, kemudian menarik pintu kotak tersebut.
“Tidak dikunci…” seru Kartajaya senang, “Atau mesin ini rusak karena badai?” lanjutnya saat menemukan isi kotak tersebut tidak memiliki cahaya lampu seperti yang Kotak penyimpanan makanan milik Lord Yasa.
Mata Kartajaya membelalak ketika melihat isi kotak tersebut. Berbagai macam makanan hancur lebur setelah berputar-putar di dalam badai hingga berbentuk tak karuan.
Kartajaya pun mendesah kecewa, namun ia menemukan satu kotak yang masih utuh di dalam sana. Kartajaya pun mengambil kotak yang terbuat dari stainless steel tersebut dan membukanya.
“Daging!!!” seru Kartajaya senang.
Kotak Stainlees Steel itu ternyata berisi daging panggang yang didinginkan, dan disimpan dalam keadaan tertutup rapat untuk mengawetkannya. Beruntung bentuk daging itu masih sempurna, hanya posisinya sedikit berantakan saja.
Sekotak penuh isi daging tersebut pun Kartajaya lahap hingga tuntas, ia tak menyangka jika daging panggang itu memiliki rasa yang sangat nikmat. Mungkin ia telah dibumbui dengan sempurna sehingga meresap ke dalam seluruh bagian daging panggang tersebut.
Setelah merasa cukup puas dengan daging panggang, Kartajaya kembali membuka kotak penyimpan makanan dan menemukan botol air berwarna warni di dalamnya.
Kartajaya pun mengecek botol tersebut dan memilih botol yang memiliki isi berwarna oranye dan memiliki gambar jeruk pada labelnya. Ia pun meminumnya hingga tandas, lalu mengambil satu botol lainnya yang memiliki gambar apel pada label. Kemudian menutup pintu dengan puas.
Pemuda itu kembali ke meja yang berada di dekat lemari, kemudian membuka setiap laci yang ada. Ia pun menemukan sebuah buku dan pulpen dari dalamnya.
“Aku harus memberi pesan.” Ujar Kartajaya.
Ia pun menuliskan dua buah pesan ucapan terima kasih untuk pemilik kotak penyimpan makanan tersebut dan pemilik lemari pakaian yang dia ambil sebelumnya. Namun, bukannya menuliskan dalam alphabet yang digunakan pada Kerajaan Skars, Kartajaya justru menuliskannya dengan sansekerta yang digunakan oleh Kerajaan Salaka.
“Ck! Mereka tidak akan paham!” gumam Kartajaya.
Ia pun menuliskan pesan lainnya dalam alphabet yang dipelajarinya baru-baru ini, kemudian Kartajaya meletakkan kertas itu di dalam lemari pakaian dan kotak penyimpanan makanan.
Setelah selesai, Kartajaya pun memutar tubuhnya. Memperhatikan lokasi keberadaannya yang sungguh sangat jauh dari pemukiman penduduk manapun. Ia berada di tengah sebuah gurun pasir yang sangat luas. Di bagian gersang wilayah Kerajaan Skars.
Wilayah ini sangat berseberangan dengan lokasi bunker Lord Yasa berada. Lokasi bunker itu terdapat di wilayah subur dengan banyaknya pohon pun hutan-hutan. Namun wilayah ini jauh berbeda dengan wilayah tersebut.
Tiada yang bisa tinggal disini kecuali binatang yang mampu bertahan dengan teriknya matahari maupun pasir-pasir yang ada.
Setelah kebingungan selama beberapa saat, Kartajaya pun mulai menentukan arah perjalanan. Keputusan yang penuh dengan pertaruhan karena Kartajaya sama sekali tidak memiliki pedoman peta Wilayah Kerajaan Skars. Ia pun tidak bisa membedakan arah mata angin karena memang kondisinya benar-benar di tengah gurun yang jauh dari keramaian.
Ini adalah pengalaman pertama Kartajaya dalam menelusuri sebuah gurun pasir. Jadi ia benar-benar tidak memiliki ide yang cukup cemerlang untuk membuat keputusan yang tepat agar bisa kembali ke dalam kelompoknya.
Dengan kenekatan tersebut, Kartajaya berjalan menyusuri padang gurun dan meninggalkan kekacauan yang dibawa oleh badai. Ia sempat terhenti sejenak untuk memastikan nadi manusia-manusia malang yang terbawa arus badai itu masih berdetak, sayangnya ia tidak menemukan detak nadi mereka dan meninggalkan mereka dalam kondisi tubuh sebagian tertutup pasir. Kartajaya khawatir para keluarga tidak akan menemukan sanak saudara mereka jika ia menguburkan mereka secara sepenuhnya.
Padang gurun tentu sangat berbeda dengan hutan, di dalam hutan rasanya sejuk dan tentram, tapi di padang gurun yang panas ini hanya ada kegelisahan.
Gelisah karena Kartajaya sama sekali tidak tahu bagaimana cara bertahan dalam kondisi suhu dan keadaan seperti ini dan ia tidak memiliki pertolongan apapun.
Apalagi setelah berjalan sekian lama, kini ia dihadapkan oleh tumpukan pasir yang sangat tinggi, tampak seperti bukit-bukit yang menjulang.
Kartajaya berhenti sejenak, kemudian melihat ke kiri dan kanan yang merupakan wilayah berpasir semuanya. Mau tidak mau, Kartajaya menyusuri perbukitan itu dan terus berjalan tanpa henti. Bahkan ketika langit sudah gelap oleh malam yang menjelang, Kartajaya belum menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan.
Namun satu hal yang membuat Kartajaya terus berjalan dan tidak berhenti sama sekali adalah sesuatu yang pernah dia bicarakan bersama Makula.
“Cahaya ungu….” Gumam Kartajaya dengan suara seraknya. Sesungguhnya ia kehausan. Airnya sudah habis dan dia tidak memiliki cadangan lainnya.
Berhenti adalah sesuatu yang mustahil, melanjutkan perjalanan pun mustahil. Tapi berkat cahaya ungu yang sangat indah itu, Kartajaya terus berjalan ke arah sumber datangnya cahaya. Ia sudah tidak peduli apakah ini jalan yang benar menuju bunker Lord Yasa, atau bukan. Yang jelas kini Kartajaya seperti terhipnotis oleh oase cahaya ungu yang ada di tengah gurun.
Cahaya ungu yang sangat indah…
***