Badai angin itu bergerak semakin kencang memutar seluruh tubuh Kartajaya tak beraturan. Pria yang telah merelakan tubuhnya untuk dilumat sampai habis itu terpejam pasrah. Ia benar-benar telah siap memberikan nyawanya.
Ini bukanlah badai pertama Kartajaya, ia pernah melalui badai di dasar danau sebelumnya. Badai itu berupa pusaran air yang bergerak dengan kecepatan tinggi, menarik dan membawanya hingga sampai ke tempat ini, tepatnya terbangun di tubuh Aksata yang sungguh lemah ini.
Sedangkan yang terjadi saat ini adalah badai kedua yang menarik Kartajaya, membuatnya terbang bersama pusaran angin dan berputar-putar bersama segala jenis benda yang dilumatnya sampai habis. Beberapa kali Kartajaya bertubrukan dengan benda-benda itu, namun beruntung Kartajaya tidak harus bertubrukan dengan mobil atau benda besar lainnya.
Ditengah kepasrahan dan kencangan putaran itu Kartajaya merasakan tubuhnya terasa panas, panas menggelora dan bergetar tak kira-kira. Ia yang sedang menikmati siksaan putaran badai itu akhirnya membuka mata dan langsung merasakan serangan pasir yang menyerbunya tanpa ampun. Namun Anehnya serangan pasir itu hanya terjadi selama beberapa detik saja, karena tiba-tiba saja, angin yang keruh oleh pasir, tiba-tiba menjadi bening di sekitar Kartajaya.
Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun seperti ada cahaya putih yang melindunginya dari pasir dan tubrukan benda-benda yang berterbangan di sekelilingnya. Cahaya putih itu membuat Kartajaya mampu melihat kondisi putaran, baik pada bagian atas maupun pada bagian bawah.
Pada saat menunduk, Kartajaya menyadari jika kakinya mengeluarka gurat-gurat cahaya biru bagaikan urat nadi yang bercahaya. Ia mengernyit heran, tak menyangka jika kakinya mengeluarkan cahaya biru yang berbentuk urat nadi tersebut.
“B – Bagaimana bisa?” lirih Kartajaya. “Cahaya macam apa sebenarnya?”
Pria itu mengulurkan tangan, kemudian mencoba untuk menyentuh cahaya putih yang melindunginya. Ia pun bisa menyentuh cahaya itu, bahkan menembusnya keluar tanpa masalah. Membran cahaya putih yang melapisi Kartajaya selalu mengikuti kemanapun tubuh Kartajaya bergerak, bahkan ketika tangannya terulur ke depan, maka Cahaya itu ikut bergerak ke depan sejauh tangan itu terulur panjang.
Membran cahaya putih itu sangat elastis, bahkan ketika Kartajaya sengaja menggerakkan seluruh tubuhnya pun sang cahaya mengikutinya dengan sangat lentur. Tidak ada jeda di antara satu gerakan ke gerakan lainnya.
“Andai tubuhku tidak hanya bisa mengeluarkan cahaya, tapi juga menghentikan badai ini…” pikir Kartajaya.
Pikiran spontan saat ia merasakan keuntungan atas kekuatan aneh yang melindungi tubuhnya dengan cahaya itu membuat Kartajaya mengharapkan lebih. Harapan yang membawanya pada satu kejadian paling aneh sepanjang hidupnya, karena tiba-tiba saja badai angin yang sangat besar itu berangsur-angsur menurunkan kecepatannya, bahkan lama-kelamaan berhenti sama sekali dan menjatuhkan seluruh pasir, benda, binatang maupun manusia yang terbawa arus badai sebelumnya.
Dalam satu detik yang sangat mengejutkan, Kartajaya terjatuh dari udara dengan kecepatan tinggi hingga membuatnya panik bukan main dan berteriak tak keruan. Ini adalah pertama kalinya Kartajaya terjatuh dari langit. Jatuh dari ketinggian yang tak pernah bisa dia bayangkan, dan berputar-putar bak roda yang sedang bergerak.
Diantara semua kekuatan yang dimilikinya pada masa Kerajaan Salaka, tentu saja terbang bukanlah salah satunya. Hal itu membuat Kartajaya tidak bisa mengendalikan emosi dan rasa takutnya. Kartajaya bergerak-gerak di dalam cahaya elastis itu, namun sang membrane cahaya itu tidak mampu membantu banyak.
Ia pun memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam kemudian berpasrah kembali atas nasibnya. Hingga kemudian suara benturan keras terdengar di telinga Kartajaya.
BUGH!!!
“ARGH!” teriak Kartajaya saat merasakan benturan yang sangat keras pada tubuhnya.
Namun anehnya, benturan yang menimbulkan suara mengerikan itu tidak membuat Kartajaya berdarah atau patah tulang, ia merasa tubuhnya baik-baik saja dan mendarat di atas permukaan padang pasir dengan posisi terlentang.
Tak hanya sampai di sana, sedetik setelah Kartajaya terjatuh, ia melihat hujan pasir dari langit berada di atas tubuhnya, tak hanya itu, semua benda-benda pun berjatuhan di atas kepalanya.
Kartajaya bergerak panik, ia merayap menjauhi benda-benda yang berjatuhan itu, namun volume nya yang banyak dan besar membuat Kartajaya tak bisa menghindarinya lebih jauh.
Seluruh benda, pasir dan lainnya yang dibawah oleh badai angin itu jatuh tempat di atas tubuh Kartajaya. Suara debam dan segala macamnya memenuhi telinga Kartajaya.
Kartajaya melindungi kepala dengan kedua tangannya, berusaha menjaganya tetap aman di antara serbuan pasir dan kawan-kawannya. Beberapa kali Kartajaya berteriak saat terkena jatuhan beberapa benda. Teriakan yang sesungguhnya membuat Kartajaya heran pada dirinya sendiri. Heran karena pada kenyataannya benda yang menjatuhinya cukup cepat dan berbobot berat itu seharusnya membuat seluruh tubuh Kartajaya babak belur dan sakit, atau parahnya berdarah dan kehilangan nyawa, namun anehnya, setelah mengkaji kondisi tubuh Kartajaya, ia tidak merasakan apapun selain sebuah sentuhan ringan antara kulit dan benda tersebut.
Otaknya mengatakan bahwa benturan itu akan menyakitinya hingga Kartajaya berteriak kencang, namun pada kenyataannya ia baik-baik saja, kulitnya berkata bahwa mereka tidak masalah.
Kartajaya menggeleng aneh, kemudian ia pun hanya pasrah menerima semua tumpukan benda yang jatuh dari langit itu dalam kondisi terlentang.
Dalam beberapa menit, badai hilang sama sekali. Langit menjadi begitu tenang. Kegelapan langit pun memudar menjadi mendung nan sendu.
Tak ada angin besar, tak ada benda-benda melayang. Hanya ada langit yang berawan, seolah tidak pernah ada apapun sebelumnya. Seolah tidak pernah ada badai di bawahnya.
Badai itu lenyap sesuai keinginan Kartajaya.
Pria yang terkubur di dalam tumpukan pasir dan benda-benda yang berjatuhan di atasnya.
Suasana alam menjadi begitu hening usai badai, binatang-binatang di alam ini masih bersembunyi dari amukan yang mengerikan tersebut.
“Argh!!” geram kartajaya dari dalam pasir yang menguburnya. Pria itu menggeliatkan seluruh tubuh kurusnya, sementara kedua tangannya bergerak menyingkirkan pasir dan benda-benda yang menindihnya. Kartajaya berusaha keras untuk bangkit dari dalam tumpukan itu dengan sekuat tenaga hingga menimbulkan suara geraman-geraman mulut yang terdengar samar dari dalam tumpukan pasir tersebut.
Sebuah meja yang berada di sebuah tumpukan pasir bergetar, kemudian terbalik dan terguling ke samping. Lalu suara geraman keras penuh kelegaan menggema di udara, dan muncul lah sosok Kartajaya dari tumpukan pasir tersebut.
Nafas Kartajaya memburu, jantungnya berdegup tak menentu.
Ia segera menyingkir dari tumpukan-tumpukan benda tersebut, sambil membersihkan dirinya sendiri yang penuh dengan pasir. Dimulai dari kepala, tubuhnya yang tak diselimuti oleh kain, dan wajahnya.
Ia menyingkir dari wilayah pasir tersebut sambil terbatuk-batuk oleh sesaknya nafas efek terkurung di dalam badai maupun di dalam tumpukan pasir.
Kartajaya mengernyit saat menyadari jika tubuhnya tak berpakaian. Seluruh kain yang dia gunakan sepertinya telah robek dan berterbangan selama berada di dalam badai tersebut.
Dengan penuh rasa malu, Kartajaya menutup pangkal pahanya, kemudian menaikkan pandangan ke depan. Ia menemukan banyaknya benda-benda di atas permukaan pasir yang hancur lebur, beberapa binatang yang telah mati, dan beberapa manusia yang sepertinya sudah tak bernyawa.
Kartajaya menunduk sedih, sesulit apapun hal yang baru saja dialaminya, tidak lebih sulit dari apa yang mereka hadapi tanpa kekuatan magis aneh yang dimiliki Kartajaya.
Kartajaya berjalan beberapa langkah ke depan, kemudian di samping meja yang baru saja didorongnya terdapat sebuah lemari kecil. Lemari itu dalam kondisi setengah hancur, dan menampakkan kain-kain yang ada di dalamnya.
“Setidaknya aku bisa berpakaian dan tidak perlu telanjang. Bersyukurlah, Kartajaya.” gumamnya pada diri sendiri.
***