Kartajaya menghabiskan sepanjang malam bersama Eira dan seluruh rasa ingin tahunya. Ia mencatat semua informasi-informasi penting yang baru saja didapatkannya – terutama tentang Kerajaan Salaka dan nasib masa depan tanah tempat Kartajaya lahir dan tumbuh dewasa. Tanah itu adalah tanah gejolak. Tanah yang kaya raya dan menjadi rebutan bangsa-bangsa, hingga setelah berjuang dan bersatu padu dalam harmoni yang membutuhkan waktu lama, tanah itu pun merdeka dari genggaman intervensi para penjajah yang mengeruk hasil bumi dan masyarakat mereka.
Selain infomasi masa lalu, Pria itu pun menghabiskan setiap menit dan detik yang dilaluinya untuk menyerap seluruh informasi dunia yang kini ditinggalinya. Walau tidak mungkin mempelajari seluruhnya hanya dalam waktu semalam, tapi ia berusaha memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia di depannya.
Buku catatan dan alat tulis itu pun terlepas dari tangan Kartajaya yang mulai mengantuk. Tubuh Aksata sangat tidak toleran terhadap rasa lelah hingga membuat Kartajaya mudah mengantuk, tidak bisa begadang dan setiap kali lelah, tubuh Aksata menjadi demam.
Kartajaya tidak tahu bagaimana mengatasi hal ini. Ia telah mengeluarkan seluruh ketahanannya dalam mencari ilmu, namun tubuh Aksata tak bisa diajak kompromi. Ia lelah sekali dan tidak menahannya sedikitpun. Hari ini ia telah berlatih bela diri, berjalan-jalan menyusuri Lorong bawah tanah, menaiki tangga gedung tinggi dan mempelajari sejarah dunia.
Kartajaya yakin jika ia melakukan semua kegiatan itu menggunakan tubuh aslinya dan mengandalkan kemampuan belajarnya yang tanah lama, maka kegiatan-kegiatan barusan bukanlah apa-apa. Kegiatan hari ini tidak sebanding dengan seluruh latihan yang dulu Kartajaya lewati di Kerajaan Salaka, dan bahkan sangat tidak sebanding dengan peperangan yang Kartajaya lalui. Sayangnya, ia melewati kegiatan ringan itu menggunakan tubuh Aksata, ditambah lagi ia memang tidak bisa membangkitkan segala energi maupun ilmu yang dimilikinya sejak tenggelam di dalam danau berkabut yang sangat misterius itu.
“Jangan mengantuk!!!” desis Kartajaya dengan bibir menipis dan gigi yang terkatup. Ia kesal bukan main. Sejak tadi ia terus menerus terlelap ditengah upayanya membaca informasi yang Eira sajikan.
“Jangan mengantuk!!”
PLAK!
Kartajaya menampar pipinya sendiri, di kiri dan kanan. Berulang-ulang hingga matanya melebar dengan begitu segar.
Ia pun menatap buku catatan yang terdapat oretan Analisa yang ditulis dengan asal-asalan. Ia belum terbiasa menulis di atas selembar kertas karena pada masa Kerajaan Salaka, ia menulis dengan menggunakan batu, daun, kayu, dan kulit binatang.
1. 363 Masehi – 2121 Masehi
2. Kerajaan Salaka – Kerajaan Skars
3. Kartajaya – Aksata
4. Wajah sama, namun fisik dan usia berbeda
5. Tidak, lebih tampan Kartajaya.
6. Kartajaya memiliki istri Dewi Lintang Arum Sari yang Cantik jelita tak tertandingi – Aksata tidak punya.
7. Kartajaya Putra Raja, memiliki tahta dan harta – Aksata tidak. Aksata miskin, b***k di penambangan, tidak memiliki orang tua.
8. Kartajaya…
Pria itu termenung melihat catatan yang menunjukkan perbandingan antara dirinya dan Aksata. Sejak berkenalan dengan Eira, Kartajaya mengerti akan situasi memusingkan yang kini dihadapi bahwa jiwanya terjebak di tubuh Aksata yang hidup di tahun 2121. Jauh di masa depan, jauh dari masa Kerajaan Salaka. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
“Entahlah…” lirih Kartajaya.
Yang ia tahu, dirinya terjatuh ke dalam danau aneh itu dan tiba-tiba saja berada di dalam tubuh Aksata.
Jiwanya telah melanglang buana jauh ke masa depan. Masa yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Suara itu memecah konsentrasi Kartajaya. Matanya menoleh ke arah pintu rahasia dan menemukan keberadaan Arsen di ujung sana. Spontan Kartajaya pun berdiri dari kursi dan menyambut kedatangan senior yang konon serba bisa itu.
Diam-diam tangan Kartajaya menutup buku catatannya.
Arsen berjalan mendekat dengan tatapan curiga, matanya fokus menghujam Kartajaya.
“Saya bertanya, apa yang kau lakukan?”
“S – Saya sedang mempelajari sejarah bumi.”
“Siapa bilang kau boleh mempelajarinya melalui alat canggih itu!?”
Mata Arsen menatap layar Eira yang masih menampilkan informasi-informasi tentang sejarah dunia.
“Saya pikir alat ini boleh digunakan semua orang?”
“Bodoh!”
PLTAK!!!
Arsen menjitak kepala Kartajaya dengan sangat keras, membuat Kartajaya mengaduh dengan keras.
“Kau pikir ini adalah alat biasa yang bisa digunakan oleh siapapun!?” teriak Arsen, “Ini adalah alat canggih hasil penyelundupan dari Kerajaan lain. Bagaimana jika alat ini rusak karena kau sembarangan menggunakanya? Apa yang akan kau lakukan, hah? Asal kau tahu, Untuk mencari pengganti alat ini, bahkan nyawamu belum tentu mampu menebusnya!”
“M – Maafkan aku. Aku tidak tahu…”
“Siapa yang telah mengajarimu mengenai alat ini!?”
“T – Tidak ada. Ini adalah perbuatan saya sendiri.”
“Sudah bodoh, pembohong pula!” geram Arsen, “Kau pikir aku tidak bisa mencari tahu siapa yang telah mengajarimu, hah?”
***