13. Bulan Purnama

1067 Words
“Pada malam bulan purnama ini, tidak boleh ada satu nyawa pun yang melayang karena kedua tanganmu Kartajaya. Malam ini tanganmu harus bersih dari darah. Jadi berusahalah sebaik mungkin untuk menghindari pasukan Aswadana. Apa kau mengerti?” “Malam bulan purnama?” seru Kartajaya. “Ya, Sebentar lagi bulan purnama akan terjadi. Karena itu kau harus mengindahkan peringatan itu baik-baik.” Kartajaya mengangguk, “Baik, Mahaguru. Aku akan melaksanakan perintahmu dengan sebaik mungkin.” “Tapi… aku telah menghabisi beberapa musuh, Mahaguru. Apa yang harus aku lakukan?” Seru Arya sambil menatap tubuh-tubuh yang tergeletak dengan darah berceceran di sekitarnya. Tubuh dari para musuh yang telah kehilangan nyawa melalui pedang Arya. “Untuk malam ini, Tidak boleh ada nyawa yang melayang melalui kedua tanganmu lagi, Arya. Saat kau selesai mengamankan keluargamu, sucikan tubuh dan pedangmu. Lakukan upacara kesucian dan memohon ampunan pada Sang pencipta.” “Akan aku laksanakan perintah Anda, Mahaguru. Terima kasih atas ilmu yang Mahaguru berikan malam ini.” Mahaguru melangkah mendekat, kemudian mengulurkan kedua tangan untuk menyentuh puncak kepala Kartajaya dan Arya Putra Wicaksana. Mengelus kepala itu perlahan-lahan dan menggumamkan doa-doa selama beberapa saat lamanya. Kartajaya dan Arya hanya diam sambil menyatukan kedua telapak tangan. Hati mereka berseru mengamini doa yang Mahaguru gumamkan. Sementara Mata keduanya menutup untuk menghayati moment sacral yang sedang terjadi. “Sekarang pergilah. Lari sekencang-kencangnya dan jangan biarkan satupun pasukan Aswadana membuat kalian lengah. Jangan sampai kalian tergoda untuk menumpahkan satu tetespun darah. Menghindarlah dari mereka sebaik yang kalian bisa.” “Ya, Mahaguru.” Seru Arya dan Kartajaya bersamaan. Keduanya berdiri, kemudian menatap Mahaguru dengan penuh keteguhan. Mahaguru mengangguk sebagai sinyal bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk keduanya pergi dari area pertempuran dengan pasukan Aswadana. Kartajaya dan Arya menjawabnya dengan anggukan penuh hormat dan salam perpisahan, lalu berbalik meninggalkan area pertempuran dengan berlari sekencang-kencangnya. Dua anak manusia itu memilih rute yang berlawanan arah dengan datangnya musuh. “Jangan menoleh ke belakang!” Seru Kartajaya tatkala Arya hendak menoleh ke belakang untuk mengetahui sejauh apa mereka sudah berlari. “Jangan menoleh. Sekalipun jangan menoleh. Kita hanya boleh terus melihat ke depan.” “Baik, Yang Mulia.” Arya kembali fokus ke depan. Hutan yang diterobos tanpa ampun itu sesungguhnya sangat lebat dan gelap. Namun sejak mendapat hadiah berupa kabut putih bercahaya dari Mahaguru, Arya mampu melihat dengan sangat jelas ditengah kegelapan hutan. Matanya sangat awas dan fokus, ia tidak mengalami kesulitan untuk berlari ditengah kegelapan malam tanpa menabrak pohon sama sekali. Bahkan tubuhnya menjadi jauh lebih ringan dan kakinya melangkah dengan sangat cepat saat melarikan diri. Kartajaya dan Arya serempak melihat ke atas – tepatnya ke arah daun dan pepohonan yang berayun oleh terpaan angin yang menyapa. Suara binatang pengerat, binatang malam dan serangga kembali menguasai nyanyian hutan. Suasana yang sebelumnya hening dan hampa seolah kembali ramai. Suasana menjadi begitu hidup layaknya hutan pada umumnya. Waktu sudah mulai berjalan!! Dua orang petarung itu saling menatap dengan pandangan penuh arti. Mereka mengangguk, sama-sama menyetujui atas kesepakatan tanpa kata yang saling mereka mengerti. Sedetik setelah anggukan itu terjadi, kaki mereka berlari dengan lebih cepat, otot bergerak lebih lebih giat dan kedua tangan mengepal erat. Waktu sudah berjalan dan itu artinya para prajurit Aswadana sudah mengetahui jika mangsa mereka lenyap dari area pertarungan!!! *** Di lokasi pertarungan. Prajurit Aswadana yang berdiri menjadi patung selama beberapa waktu hampa yang tak diketahui akhirnya tersadar. Mereka mampu menggerakkan tubuh dan dalam sekejap menyadari jika musuh yang sedang mereka serang sudah tidak berada di tempat. Prajurit terdepan kemudian berteriak. “Musuh telah menghilang!!!” jerit salah satu dari mereka. Prajurit lainnya pun mengerjap berkali-kali, bahkan sebagian besar dari mereka menggosok mata untuk memastikan padangan benar adanya. Musuh mereka – Kartajaya dan Arya Putra Wicaksana telah menghilang hanya dalam waktu sedetik. Menghilang tanpa terdeteksi sama sekali. Seperti kabut yang lenyap tanpa menyisakan jejak selain sejuk yang hinggap. “Apa?” teriak Aswadana. “Mereka menghilang?” Aswadana menyalakan obor untuk memastikan kebenaran yang disampaikan oleh prajuritnya. Ia pun berjalan membelah prajurit menuju area terdepan pertempuran. Pohon besar tempat Kartajaya dan Arya bersembunyi pun ia kelilingi berkali-kali untuk memastikan jika musuh mereka tidak sembunyi di sekitarnya. Namun berapa banyak putaran yang dilakukan pun, Aswadana tak bisa menemukan musuhnya. Kartajaya dan Arya telah menghilang dalam sekejap mata. Kecepatan yang sangat tidak wajar dan aneh. Mungkinkah… “Dia telah menggunakan sihirnya lagi!” geram Aswadana. Para prajurit saling memandang heran. Namun tak butuh waktu lama, para prajurit akhirnya mengerti jika yang dimaksud Panglima mereka adalah ilmu sihir yang dimiliki Kartajaya. Jika dulu Kartajaya bisa mempraktikan ilmu sirep dan membuat seluruh kerajaan tertidur nyenyak, maka mungkin sekarang Kartajaya mengelabui mereka dengan ilmu lainnya. Ilmu yang membuat dirinya menghilang dalam sekejap mata. “Cepat cari jejak mereka!!!” teriak Aswadana. “Siapa tahu mereka masih disekitar sini!” Para prajurit pun melaksanakan perintah yang Aswadana sampaikan. Mereka bubar dari barisan dan mulai berpencar mencari jejak-jejak musuh yang menghilang. “Panglima!!!” teriak salah satu pengawal. Aswadana yang berada tak jauh dari pengawal tersebut segera berjalan mendekat. “Apa yang kau temukan?” “Mohon perhatikan semak-semak itu.” Prajurit itu menunjuk pada semak belukan yang terbelah dan terinjak-injak. Terdapat jejak dua kaki orang dewasa yang melewatinya. Rupanya kedua musuh mereka melarikan diri melalui jalur ini. Jalur semak belukar yang tidak mudah dilalui. Kartajaya dan Arya pasti akan membuat jalur baru sepanjang perjalanan dan itu artinya penelusuran prajurit Asdawana akan semakin mudah untuk menemukan musuh mereka. “PRAJURIT!” seru Aswadana. Kemudian meniup peluit untuk memanggil parajurit berkumpul di sekitarnya. Para prajurit yang masih dalam pencarian pun segera berhenti dan menerima panggilan Aswadana. Mereka meninggalkan wilayah pencarian masing-masing kemudian berkumpul di tempat Aswadana berada. “Musuh melewati jalur ini. Kita akan membelah semak belukar ini sebagaimana mereka melakukannya.” Perintah Aswadana. “Baik, Panglima.” Seorang prajurit berjalan membelah para prajurit lainnya sambil membawa kuda kebanggaan Aswadana. “Pasukan berkuda berlari di depan.” Aswadana meraih kekang dan naik ke punggung kuda. Ia menarik kekang kuda itu perlahan untuk mengendalikannya. “Sisanya berlari di belakang dan pastikan tak ada yang terlewat. Jangan biarkan musuh lepas. Jangan biarkan musuh bersembunyi dengan mudah di semak belukar.” “Siap, Panglima!!!” seru semuanya kompak. Usai mendapat jawaban dari prajurit, Aswadana pun menarik kekang kuda, kemudian binatang itu pun berlari membelah hutan diikuti oleh seluru pasukan berkuda yang siap mengikutinya. Dengan penuh kegigihan Aswadana mengejar Arya dan Kartajaya, tidak akan ada ampun bagi keduanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD