Kresss...
“Tiger, kau dimana?”
Suara HT menghentikan langkah Tiger. “Ada apa Kris?” bertanya kala mendengar isakan di seberang sana. Kini tatapan berpusat pada Tiger.
“I-istriku hiks.. dia berubah.”
Pria berbahu lebar bertubuh jangkung itu menyisir rambut ke belakang menghela nafas. “Sudah ku peringatkan bukan untuk tetap di toko, tapi kalian sendiri yang ingin bermain dengan mereka. Sepertinya ini seru. Itu kan yang kalian katakan padaku.”
“Harusnya kau datang saat kami membutuhkan mu bastard! Ini semua salahmu!”
Tiger berkacak pinggang marah, “Tutup mulut sialan!” menekan kalimatnya. “Kalian berdua yang ingin bermain-main dengan nyawa dan sekarang kau menyalahkan ku karena kesalahan kalian sendiri? Cih dasar bule gila. Kau kira aku keluar toko sekedar bersenang-senang sepertimu? Nyawa adikku lebih penting daripada kalian.” Jelasnya. Niko yang mendengar itu semakin merasa bersalah telah memperlakukan sang kakak buruk bahkan tidak menghormatinya hanya karena dia selalu mendapat pujian dari orang tua mereka.
“Aku tidak peduli. Aku tidak akan mati sebelum membunuhmu b******n!”
“Ck, terserah lo bule gila!” Tiger melempar HT tersebut hingga hancur. Menghirup nafas dalam-dalam lalu membuangnya pelan kemudian berusaha tersenyum menatap mereka. “Bukan apa-apa, ayo pak tunjukan jalannya.” Ucapnya.
“A-ah iya, mari mas.. mbak. Dan buat yang ingin membantu, lebih baik kalian saling jaga satu sama lain jadi kembalilah ke sana.” Kata pak Dodi.
“Baik pak. Mbak sama mas nya hati-hati ya,”
“Pasti bu, terimakasih.”
“B-bang.. “
Tiger hanya tersenyum melihat kearah Niko kemudian mengikuti langkah Esther, gadis bermata bulat itu sedari tadi hanya diam mendengar semua seakan tengah memikirkan sesuatu.
“Bagaiman keadaan di luar pak Jupri?” tanya pak Dodi lewat HT. Paruh baya itu di minta untuk mengawasi keadaan lewat cctv di ruang pengawasan.
“Tunggu sebentar pak, mereka sepertinya menyadari keberadaan kalian di belakang pintu itu.”
Mereka saling menatap satu sama lain kemudian mengangguk berjalan mundur dengan pelan. Niat sejenak bersandar, Esther malah tidak sengaja berada tepat di depan Tiger, membuat keduanya sama-sama tegang.
Tiger sedikit menunduk berbisik, “Memikirkan apa? Saya sih gapapa nona sniper di depan tapi kaki saya sakit ke injek.”
Esther tersadar buru-buru pindah tanpa mau melihat kearah Tiger, ia hanya memalingkan wajah menatap pintu. Membuat Tiger terkekeh.
“Pak Dodi, mereka sedikit menjauh dari pintu.”
Pak Dodi mengangguk beralih menatap Tiger dan Esther lalu memberikan HT pada mereka. “Gudang penyimpanan berada di ujung lorong sebelah kiri tepat di belakang pos. Mas sama mbak hati-hati ya,”
“Pasti pak.” hanya Tiger yang menjawab.
“Tunggu!” Jackson datang menghampiri mereka. “Saya boleh ikut gak kak?” memegang erat besi di tangan nya.
“Jack, tugas kamu di sana jagain mereka.” lontar Esther.
“Banyak orang kok disini,tapi kalian Cuma berdua sedangkan lawan kalian banyak. Please Jack gak akan nyusahin kok kak, mas Tiger boleh ya?”
Tiger menengok Esther meminta persetujuan.
“Please boleh ya, Jack yang bakal bawa perkakas nya jadi kalian hanya perlu melawan mereka.”
Esther mengangguk, Jack tersenyum senang.
“Ayo buka pak.” Pinta Tiger sopan. Dan pak Dodi pun membuka pintu pelan tak lupa memberikan Jackson HT agar mereka tetap terhubung.
Sementara di tempat lain rombongan Bara berhenti, bukan rumah sakit melainkan depan restoran. Mobil mereka mogok di tempat yang tidak seharusnya berada yaitu alun-alun thamrin city dimana para mutan berkeliaran mengelilingi mereka.
“Jendral, bagaimana sekarang? Kita di alun-alun kota tempat para mutan berkumpul. Lihatlah, mereka semakin ramai.” Ujar Aidil. Untungnya mobil yang mereka tumpangi tidak tembus pandang jadi masih aman.
“Lebih baik jangan keluar mas, kita gak akan lolos dari mereka. ini tempat mereka sekarang.” ucap mbak pasien.
“Dia benar mas. Gak jalan buat keluar, kita di tengah sekarang.” Timpal yang lain.
“Tapi disini akan panas, kasian bayi nya jendral.” Ucap Damian khawatir bayi baru lahir itu malah tersiksa di dalam mobil tanpa udara. Bayi harus mendapat ruang dan tempat yang bagus sementara mereka saling berdesakan dan semakin menambah hawa panas di sana.
“Lalu bagaimana? Kami lebih baik kepanasan disini daripada harus keluar menjadi santapan mereka.” celetuk salah dari orang-orang tadi.
“Betul! Kami gak mau kemana-mana pak petugas.”
Egois. Itulah orang-orang, bahkan pada bayi pun mereka tak peduli selama hidup tidak terancam.
Suster sedari tadi diam pun berkata, “Bayi nya tidak akan bertahan pak kalau gak ada udara.” Membuat Julian yang sedari tadi diam menenangkan sang adik menoleh padanya dengan tatapan bertanya.
“Saya benar dek, maaf kalau terdengar sok tau tapi bayinya gak akan bertahan disini.” Kata sang suster.
“Gak boleh! Aisyah harus bertahan sus.” Julian beralih pada Bara yang berada di sampingnya, menatap pria itu sendu.
“Siapa yang ingin keluar?” tanya Bara. Julian dan suster mengangkat tangan sementara yang lain bungkam tetap kekeh tak ingin kemana-mana. Bara membuang nafas kasar, melihat jam tangan di pergelangan tangannya.
“Jam 3 siang,” Bara melihat ke luar menengadah melihat langit. “Mendung, kayaknya mau hujan.” Gumamnya namun masih terdengar, mereka ikut melihat keluar.
“Jadi benar tidak ada yang ingin keluar dari mobil?” tanya bara sekali lagi ingin memastikan tindakan mereka.
“Iya pak petugas.” Jawab mereka serentak kecuali Julian dan suster tadi.
“Oke.”
“P-pak, adik saya gimana?!” Julian bergetar menahan tangis dan juga amarah.
“Kita akan keluar, biarkan mereka disini kalau tidak mau ikut.” Putus Bara. Bagaimana pun, nyawa mereka tetap jadi taruhan jika tetap di dalam mobil yang sempit ini.
“Bapak mau ninggalin kami demi bayi ini? Gak bisa gitu dong pak! Tanggung jawab kalian melindungi jadi sudah seharusnya bapak tetap disini jagain kita.” Protes mereka tidak terima dengan keputusan Bara.
“Kami diberikan pilihan, mati dalam keadaan bersembunyi atau mati dalam keadaan bertarung? Saya dan tim saya memilih opsi yang terakhir. Jadi yang ingin disini silahkan, kami tidak memaksa kalian untuk ikut.” Jelas Bara. Jujur saja, ia tidak suka mendengar semua perkataan mereka yang jelas-jelas mementingkan diri sendiri. Ya memang benar keluar pun tetap mati, tapi kan ada bayi yang harus menjadi kepentingan utama mereka di banding diri sendiri.
“Ya udah itu terserah bapak, saya dan yang lain bakal tetap disini sampai bantuan tiba.” Mereka juga ikut memutuskan untuk tetap berada di mobil menunggu bantuan yang entah kapan datangnya.
“Baik. Kalau itu keputusan kalian, kami akan keluar sekarang.” Lanjut bara melihat anggota timnya. Mereka mengangguk menyiapkan senapan mereka dengan baik.
Setelah mengisi peluru pada senapan masing-masing, mereka pun bersiap untuk keluar.
David melirik si bayi, “Dia baik-baik aja kan?” tanya nya pelan dan mendapat anggukan dari Julian.
“Baik pak. Cuma kepanasan aja kayaknya, badan dia jadi makin merah.” Ungkap Julian akan kondisi sang adik.
“mudah-mudahan dengan ada udara nanti, merahnya berkurang. Bayinya juga butuh asupan jadi meski ada air sih yang paling utama.” Terang susternya. Julian hanya mampu diam begitu juga David. Sementara orang-orang di sana malah cuek bebek tidak peduli.
Damian yang sedari tadi diam menunjuk sesuatu, “Jendral di sana.” Terlihat di persimpangan masuk ke perumahan ada swalayan lengkap 24 jam.
“Kalian bisa?” tanya Bara pada ketiga anggotanya.
“Siap pak!” hormat mereka serentak.
“Oke.” Bara berbalik menatap bayi dalam dekapan Julian. “Ayo cantik kita pergi.” Ajaknya dan ia pun membuka pintu pelan berharap para mutan tak merasakan kehadiran mereka, sayangnya.. semua langsung berbalik hendak menyerang namun hujan lebat tiba-tiba mengguyur kota.
Keanehan pun terjadi di depan mata mereka. hujan deras tiba-tiba membuat mereka tampak linglung. Apa karena suara nafas dan bau tubuh mereka tak terdeteksi karena terhalang hujan? Tak ingin membuang-buang waktu, David membuka baju luar menutupi adik Julian agar tak basah dan mereka pun perlahan melangkah setelah melihat kode dari Bara untuk maju. Pintu mobil masih terbuka lebar merasa akan baik-baik saja melihat para mutan tidak bergerak setelah hujan. Ada kelegaan kala mobil terasa longgar, tanpa di sadari para mutan malah mencium bau darah mereka mungkin karena tidak terkena air hujan maka dari itu mutan langsung mengarah ke mobil.
Melihat mutan-mutan itu berlari kearah mereka Bara ingin meluncurkan pelurunya tapi Julian menariknya untuk menunduk begitu juga lainnya. Jantung berdegup kencang kala para mutan melompat sana sini melewati mereka begitu saja dan malah menyerbu mobil dan tak lama terdengar suara jeritan dari dalam mobil.
Jeritan ketakutan di iringi isak tangis menyadarkan semuanya untuk segera berlari sebelum para mutan menyadari kehadiran mereka di luar. sembari berlari dalam pikiran mereka hanya satu, para mutan gak berdaya kalau hujan karena indra pendengaran dan penciuman mereka terhalang oleh suara dan air dari hujan tersebut.
Masih harus terus berlari, mereka menyadari kalau hujan akan segera berhenti maka langkah kaki merah berlari semakin kencang sampai akhirnya... mereka berhasil masuk ke swalayan tepat setelah hujan reda.
Suster terduduk begitu juga Julian cepat-cepat membuka jaket David. Helaan nafas lega terdengar di sudut bibir mereka berdua kala sang bayi menggeliat dalam tidurnya.
Sementara Bara dan lainnya mengelilingi toko swalayan tersebut takut-takut kalau mutan berada di sana. Dan benar saja langkah mereka memelan mendengar suara erangan dan juga gesekan. Merasa ada yang tidak beres, suster membantu Julian berdiri lalu pelan-pelan melangkah mendekati yang lain kemudian bersembunyi di belakang mereka.
Ternyata suara erangan dan juga gesekan itu dari arah gudang penyimpanan. Tak ingin mengambil resiko, Damian dan Aidil mencari kayu atau besi untuk menahan pintu dari luar. Dan mereka menemukan pegangan kain pel dan sapu kemudian hendak mengunci gudang tersebut namun berhenti setelah mempertajam pendengaran mereka.
“Kok erangannya beda ya?” tanya Aidil menatap yang lain polos karena dia yang berada paling dekat dengan pintu gudang jadi suara erangan tersebut begitu jelas di telinganya. Selain Aidil dan Julian, wajah yang tiba-tiba memerah merasa hawa di sana sedikit panas.
“Kena.. “ pertanyaan belum rampung, pintu keburu di buka dari buka dan mereka reflek mengangkat senjata.
“ASTAGA!!” dua orang berteriak kaget sampai tersungkur ke belakang melihat beberapa orang bersenjata di hadapan mereka.
“Lah orang?” cicit Julian dan Aidil. Sepertinya, hanya mereka berdua yang polos tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Kalian gapapa? Tapi suara erangan tadi... “ pertanyaan Aidil menggantung setelah mendapat bungkam an dari Damian.
Julian yang ingin bertanya tidak jadi kala mendengar adik nya menangis.
“Kayaknya dia haus, ayo ikut saya.” Suster menarik Julian menjauh dari sana.
“Jadi, kalian suami istri atau.. “
Pertanyaan David di potong. “Kita suami istri kok!!” seru mereka menunjukkan cincin nikah.
Karena hujan deras yang tiba-tiba turun, mereka yang tadinya masih bisa menghalau mutan di basement parkir langsung mendapat serangan dari berbagai arah.
Tiger terus membordir pelurunya sementara Esther harus berhenti untuk menghemat peluru.
“Kak Esther, ada apa?” tanya Jackson di tengah-tengah memukul mutan yang mendekati nya. Tiger sedikit melirik Esther, lalu tatapnya mengarah pada tempat penyimpanan peluruh tinggal satu.
“Tetap fokus, mereka semakin banyak sekarang!” sanggah Esther. Kali ini ia melawan dengan pukulan.
“Pakai senjata mu nona.” Ujar Tiger dengan sedikit ringisan akibat tekanan dari sikutnya.
“Gak! Hanya ini yang tersisa. Saya harus keluar dari sini dan melanjutkan perjalanan.” Kata Esther tanpa berpaling terus memukul kepala mutan.
Tiger hendak melontarkan sesuatu namun Jackson lebih dulu menyelah, “Di sana!” menunjuk gudang penyimpanan. Mereka pun berlari, Jackson segera membuka kunci karena terburu-buru kunci nya malah terlepas jatuh.
“Aish!” Jackson berdecak kesal merunduk mencari kunci gudang.
“Cepetan woi!” tekan nya menoleh sedikit lalu kembali fokus menembak.
“Kuncinya jatuh, bentar mas!”
“Sial!”
Brak!!
“NONA SNIPER!!”