Chapter : 11

1937 Words
Sembari mengobati beberapa orang disana, mata Niko menelusuri setiap sudut lobi hotel disana. “Sepertinya hanya lantai dasar yang jadi tempat sembunyi?” lontar Niko di anggukan manajer hotel. “Benar dok, kami terpaksa memutuskan akses dari lantai atas karena dari lantai tiga penuh dengan mutan.” Jawab manajer tersebut. “Pak Dodi yakin disini aman, takutnya mereka.. “ “Dari semalam aman kok dok, asal jangan ada yang membuka pintu darurat itu aja sih.” “Pak Dodi,” pak Jupri penjaga hotel mendatangi Dodi selaku manajer disana. Pria setenhah baya itu memutar punggung melihat pak Supri lalu berdiri. “Ada apa pak?” “Bisa keruangan keamanan sebentar?” tanya pak Jupri. “Ah oke. Dokter saya permisi sebentar. Maya tolong kesini bantu pak dokternya,” panggil pak Dodi pada salah satu pelayan yang berhasil selamat. “Baik pak.” Maya yang tengah memberikan air minum pada orang-orang berjalan ke arah Niko. “Makasih pak.” Ujar Niko. “Sama-sama dok. Mari pak,” ajak pak Dodi kepada pak Jupri dan mereka pun pergi dari sana. Melihat kepergian pak Dodi, Lukman mengikuti mereka namun terlihat menciurigakan di mata Jackson yang sedari tadi mengawasi teman sekolahnya itu. “Shila, gue kesana bentar ya.” Pamit Jackson meninggalkan Shila tanpa menunggu jawaban gadis itu. “Dia mau kemana?” tanya Niko sekilas melirik kepergian Jackson. “Gak tau dok, dia gak ngomong juga mau kemana.” Niko mengangguk. “Ah, si Lukman teman kalian? Tapi kok rada ada sesuatu ya di antara mereka?” katanya. “Ah itu karena Lukman anak kepala sekolah jadinya dia sok berkuasa aja.” “Saya ngerti sekarang.” “Hehe.” “Dok, alhoholnya habis.” Ujar Maya. “Disini ada gak?” “Ada sih tapi di ruang penyimpanan dan itu ada di gudang sebelah tangga darurat. Emang masih perlu ya dok,” “Harusnya sih masih perlu soalnya kita gak tau bakal ada orang lagi yang datang atau gak.” “Iya sih.” 30 puluh menit setelah kedatangan mereka, beberapa orang juga datang dalam keadaan terluka. Terluka bukan karena gigitan melainkan saling dorong hingga terjatuh atau sekedar tergores sesuatu karena berlari. Sementara di ruang keamanan, mereka melihat beberapa orang melambaikan tangan menunjukkan sesuatu di kertas. Orang-orang itu dari lantai paling atas yang berhasil bertahan. “Kami butuh makan, perut akan kembung kalau hanya meminum air.” “Bagaimana pak Dodi? Pak direktur yang di lantai enam juga masih di kamar hotel. Beliau juga mengirim pesan, katanya air disana mati, ingin pindah kamar lain juga gak bisa karena mutan nunggu di luar.” Ujar pak Jupri. “Pak Bagas disana sama siapa aja pak?” “Kalau gak salah mereka ada lima orang, satu pasangan suami istri sama anak mereka satunya mas Denis.” “Ah bener juga, terus gimana pak? Kita gak mungkin minta bantuan warga, mereka aja selamat sampai disini udah alhamdulillah.” Pak Dedi bingung harus melakukan apa untuk menyelamatkan mereka yang terjebab di beberapa lantai. “Ada apa pak?” tanya Tiger masuk di ikuti Esther dan Jackson. “Ini mas, sebenarnya beberapa orang terjebak di beberapa lantai dan sekarang mereka butuh makanan.” Lontar pak Dodi memperlihatkan cctv. Mereka sedikit mendekati layar cctv melihat orang-orang yang selamat disana tengah meminta bantuan. “Cctv nya bakal bertahan berapa lama pak?” tanya Esther. “Untungnya kita masih bisa memakai tenaga listrik sendiri jadi pas malam gak mati lampu. Ada apa nona?” tanya pak Dodi. “Kenapa gak saling ngirim aja?” celetuk Jackson dan mendapat tatapan dari mereke. Dengan gugup Jackson berkata, “Yang terinfeksi dari lantai tiga, lantai dua masih aman jadi kenapa kita ngasih makanannya dari sana. Pakai tali mungkin? Atau.. “ “Boleh juga.” Potong Tiger, “Kalau mau menyelamatkan mereka, ya tunggu pas malam jadi makanan kirim lewat jendela aja.” “Bisa di coba.” Timpal Esther. “Sepertinya tidak bisa mas, mbak.” Pak Jupri menunjuk cctv yang terhubung keluar. Disana para mutan membentuk tangga memanjat, Esther melihat cctv lantai dua sekat jendela dan terlihatlah disana seseorang tengah berdiri memancing para mutan di luaran sana. “Itu Lukman kak!” Jackson menunjuk teman sekolahnya yang tengah melakukan hal bodoh. Mereka pun berlari keluar, berharap jendela disana tak retak sehingga meloloskan mereka masuk. Melihat mereka berlari ke lantai dua, orang-orang yang sedang beristirahat menampakkan wajah bingung sekaligus penasaran secara otomatis ikut berlari. “Juna, di sini aja sama kak Shila ya.” Niko menahan Juna agar tidak mengikuti mereka. bocah itu mengangguk kembali duudk di samping Shila. Pak Dodi menarik Lukman menjauh dari jendela yang kini hampir retak. Tiger tak tinggal diam membiarkan mutan masuk, berlari kearah pintu salah satu kamar dan mengambil selimut untuk menutup jendela. Niko mendekati Tiger membantu sang kakak begitu pula pak Dodi. Jackson menahan lengan Lukman yang ingin kabur melihat kilatan marah dari Esther. “Mereka menjauh tapi selimut ini gak bakal nahan retakannya, bang.” Lontar Niko menatap Tiger. “Apa kita perlu mencongkel pintu?” tanya salah satu warga. “Tapi kita butuh perkakas.” Timpal yang lain. “Gudang dimana pak?” tanya Esther pada pak Dodi. “Ruang bawah tapi disana mutan itu udah pada masuk, jadi kita gak bisa.. “ “Bisa tunjukkan arahnya?” potong Esther mengisi senapannya dengan peluruh. Bisa terlihat peluruh untuk senjata sniper miliknya tinggal tiga tempat lagi, ini tidak akan cukup untuk sampai ke lap. “Tapi mbak, disana bukan satu atau dua mutan karena terhubung dengan basement parkir.” Kata pak Dodi. “Saya ikut dengan nona.” Putus Tiger mendapat tak setuju dari Niko. “Gak. Lo gak akan kemana-mana! Ingat, sikut lo itu ke geser dan bakal membengkak kalau terus mendapat tekanan.” kata Niko menolak jika Tiger ikut bersama Esther. “Terus ngebiarin dia pergi sendirian gitu? Gila aja lo.” “Biar gue yang pergi.“ tutur Niko ingin menggantikan Tiger untuk ke gudang mengambil perkakas. “Gak ada. lo dokter tugas lo Cuma ngobatin pasien bukan bertarung. Nona ayo. Pak, dimana tempatnya?” “Tapi bang.. “ “Bisa gak, saya aja yang pergi daripada ngedrama di sini malah ngabisin waktu.” Kata Esther berlalu pergi di ikuti pak Dodi dan lainnya. Tiger berdecak kesal, “Niko, gue di tugasin buat jagain lo, belum lagi orang-orang disini tetap harus aman karena cowok gila ini.” Menunjuk Lukman yang sedari tadi diam. “M-maaf mas, gue niatnya becanda gak ada maksud apa-apa kok.” Lirih Lukman menunduk takut. Ini baru dua orang yang memandangnya tajam, bagaimana kalau yang lain tau kelakuan bodohnya ini? Yang pasti dia akan di lempar keluar. “Bercanda mata lo suek!! Lo boleh bercanda dengan nyawa sendiri asal jangan ngebahayain orang lain. Di sini mereka lagi ketakutan tapi lo malah.. cih! Jack, awasin dia kalau ada apa-apa lapor ke yang lain biar mereka ngelempar nih anak keluar sekalian.” hardik Tiger muak dengan tingkah Lukman. Dari tadi remaja itu emang sedikit bebal dan sok berkuasa, dan itu sangat menyebalkan di mata Tiger. “Bang tunggu!” Niko mengejar Tiger meninggalkan Jackson dan Lukman. Jackson melepaskan pegangannya berkata, “Lo boleh berkuasa di sekolah, mengandalkan kuasa bokap lo tapi disini.. lo bukan siapa-siapa jadi stop bersikap egois. Gak lupakan apa yang udah lo lakukan sama Shila? Semua karena sikap egois lo yang dengan seenaknya ngedorong dia sebagai umpan sampe ke timpa gerobak terus ke jepit. Gak lupa kan? Jadi mending lo diam duduk sebelum kak Esther tau apa yang udah lo lakuin sama anak kaptennya.” Ia menekan setiap kalimat agar Lukman paham jika dia salah, kemudian berlalu pergi. “Bang,” menahan lengan Tiger membuat sang kakak berbalik menatapnya. “Hati-hati, gue nunggu disini.” Ujarnya lirih. “Emm.. gue sebenarnya antara terharu sama geli sih dengernya. Itu bukan lo banget anjir! Merinding gue.” Terang Tiger merasakan bulu kuduknya berdiri mendengar kalimat haru dari Niko. Niko menghempaskan tangannya, “Gue serius bangke! Lagian lo kira gue mau ngomong gitu, gak kali. Noh salahin mulut gue.” “Ya udah sini mulutnya gue kikis pake pisau sekalian.” “Heh! Sembarangan.” “Hehehe. Udah ah, kasian kakak ipar lo sendirian disana.” Ujarnya berlalu tak lupa melambaikan tangan pada Juna dan Shila meninggalkan Niko yang termangi mendengar kata kakak ipar. “Pengangguran bersanding sama seorang tim elit khusus? Gak cocok banget anjir!” bukan apa-apa, kasian kakak iparnya nanti punya suami lebih senang menghabiskan waktunya dengan game daripada dia. * * * * Sementara di gedung putih ke presidenan mereka tengah melakukan rapat tentang apa yang harus di lakukan sebelum korban semakin banyak. Jalanan ke kota-kota lain memang sudah di tutup tapi bukan berarti aman karena bisa saja mereka kecolongan, belum lagi petugas banyak yang gugur. Beberapa petinggi terlihat mendiskusikan tindakan apa yang meski di lakukan tanpa harus menambah korban. Di belakang layar terdapat video kondisi jakarta yang sudah dikatakan rusak parah. Terdapat titik merah memenuhi layar sebagai tanda bahwa kota tengah dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Kami belum bisa menembus lap professor Robert, pada dokter dan ilmuan disana teryata sudah tak bekerja lagi semenjak istri beliau meninggal.”lata salah satu petinggi dari kepolisian jakarta. “Saran saya, hubungi semua ilmuan bagian farmasi untuk membentuk sebuah tim selama kita belum menembus lap professor Robert.” Ucap bapak presiden memberikan ulusan agar mereka bergerak sedikit cepat melihat keadaan semakkin tidak terkendali. “Baik pak.” Diskusi terus berlanjut sampai menemukan cara untuk kembali menurunkan tim bala bantuan guna melakukan evakuasi sekaligus memusnahkan semua mutan yang memenuhi kota. Di sisi lain Jaka merasa bersalah pasa Niko, belum lagi Ayu tak ingin berbicara padanya sebelum Niko memaafkan nya. Kedua kaki Ayu benar-benar sudah tak bisa di gerakkan, meski tak terima gadis itu hanya bisa berlapang d**a jikalau seumpama nanti tak lagi bisa berjalan asal mereka bisa selamat. Ayu menunduk memandang kalung tanda pengenal dari para prajurit yang telah gugur, ia kemudian menoleh melihat Wahyu dan Dirta. Merasa di tatap secara bersamaan keduanya menoleh dengan senyum mengembang. “Ada apa?” tanya Dirta. “Bang Ali sama kapten baik-baik aja’kan, ban?” Ayu balik bertanya dengan tatapan sendu. “Pasti. Ayu liatkan kemarin gimana cara mereka ngelawan mutan-mutan itu,” Ayu mengangguk. Dirta kembali berkata, “Mereka orang-orang hebat, pasti bakal baik-baik aja.” “Abang sama yang lain juga hebat udah jagain Ayu sampai ketemu abang seperti janji kalian, kalian terbaik.” Bukan hanya Wahyu dan Dirta yang merasa terharu tetapi juga yang lain. Ayu gadis kecil itu kembali berkata sembari memegang kalung tersebut, “Kalau umur Ayu panjang terus kakinya bisa jalan lagi, Ayu bakal jadi anak yang baik biar bisa jadi kayak abang abang ini. Ah, jendral Esther! Ayu mau jadi jendral biar bisa nolongin orang.” Ayu mengatakan keinginannya menjadi seorang anggota pasukan elit khusus dengan begitu semangatnya. Mata sendu itu perlahan menghilang digantikan binaran jika ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Wahyu mengangguk begitu juga Dirta. “Ayu pasti bisa selama berusaha.” Lontar Wahyu tak ingin mematahkan semangat adik dari pria berlesung pipi itu di angguki Dirta. Jaka mendekat, keduanya mendongak menatap Jaka dan mereka saling melempar senyum. “Sebaiknya kalian ngisi perut dulu buat persiapan malam nanti,” ujarnya duduk di samping Ayu. “Nah.. Ayu juga makan ya, gapapa kalau gak mau ngomong sama abang asal tetap makan.” Ujarnya lagi, menyuapi sang adik roti lalu meletakkan s**u di tangan mungil Ayu. “Dokter Niko sekarang gimana ya? Gue Cuma berdoa biar dia ketemu kakaknya.” Lontar Dafa di tengah kunyahan memakan rotinya. “Ya semoga aja.” Kata Andi menghela nafas, setelah itu keheningan melanda selain mendengar erangan di luar toko swalayan. “Sorry.. “ Deg!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD