Sebelumnya saat hujan mengguyur ibu kita, mereka yang berada di lantai dasar hotel berbondong-bondong melihat tingkah kebingungan para mutan di luar sana. Pada dasarnya naluri keinginan tahuan lebih tinggi daripada rasa takut itu sendiri, beberapa dari mereka perlahan membuka pintu meski di larang.
“Dokter Niko, itu si bapak sama istrinya mau kemana?” Shila menunjuk pasangan setengah baya yang kini berusaha membuka pintu. Niko pun berlari ke arah mereka dan menutup pintu itu kembali.
“Bapak mau ngapain, hah!! Jangan bertindak gegabah pak, bu. Banyak nyawa disini, cukup kelakuan anak muda itu yang buat kakak saya keluar melawan mutan lagi jadi tetaplah di sini.” sentak Niko bernada emosi.
“Pak dokter lihat mereka,” si bapak menunjuk keluar. “Mereka keliatan bingung sama hujan artinya mutan itu takut hujan.”
“Lalu? Masalahnya?”
“Dokter mungkin gak tau tapi anak kami gak jauh dari sini jadi kita berdua memutuskan untuk ke sana.” Jawab istri si bapak.
“Gak bisa bu, terlalu bahaya. Kita gak tau mutan itu benar-benar kebingungan atau hanya tipuan aja. Ini demi keselamatan kalian juga. Yang penting anak kalian selamat pak, bu.”
“Gak pak dokter, anak gadis kami ketakutan di sana sendirian. Saya mohon ijinkan kami pergi sebelum hujan reda.”mereka tetap ngotot ingin keluar, Niko menatap dingin menggeleng tegas.
“ANAK KAMI LEBIH PENTING DARI PADA NYAWA KAMI SENDIRI DOKTER!!” si bapak berteriak keras mendorong Niko menjauh dari pintu agar bisa keluar dari sana. Tak terima dengan perlakukan pasangan itu, beberapa orang ikut berdebat dan membantu Niko.
Di tengah perdebatan itu, seorang ibu lansia berjalan meninggalkan rombongan sepertinya ingin ke toilet dan semua itu tak luput dari pandangan Lukman. Juna berdiri di samping pemuda itu lalu menarik ujung bajunya.
Lukman menoleh dan bertanya, “Kenapa?”
“Juna mau pipis, om dokternya lagi di sana terus kak Shila gak bisa jalan.” Tutur Juna pelan.
Lukman berdiri. “Ayo.” Ajaknya mengulurkan tangan dan Juna pun menerima uluran tangan pemuda itu. Keduanya pun pergi berjalan ke arah toilet. “Bisa sendiri’kan, gue tunggu disini.” Kata Lukman begitu mereka tiba di depan toilet. Juna mengangguk kemudian masuk.
Sembari menunggu Juna, Lukman melirik bilik toilet wanita yang berada di sebelah. Bukan tanpa alasan dia melakukannya, ia hanya menunggu si ibu tadi keluar karena sejak perjalanan ke sana mereka sama sekali belum bertemu.
“Bang udah.” Juna memegang tangan Lukman, pemuda itu tampak kaget terlalu fokus dengan pikiran buruk kemungkinan terjadi pada si ibu tadi.
“Oh? Kenapa?” tanyanya menatap kebawah.
“Juna udah selesai.”
“Oke. Ayo balik.”
Juna hanya mengangguk mengacungkan jempol, dan mereka pun meniggalkan toilet. Saat melewati tangga lantai 2, Lukman melihat bayangan membuat langkahnya berhenti segera menarik Juna bersembunyi.
“Ssstt.. jangan berisik ya,” bisiknya pada Juna, untungnya bocah itu mengangguk patuh. Sembari bersembunyi, sayup-sayup ia mendengar suara jeritan bekapan dari lantai dua yang semakin jauh. Tak ingin berasumsi yamg tidak baik, ia pun menggendong Juna pergi dari sana namun pikirannya semakin tak karuan ingin tahu apa yang terjadi di lantai dua.
Begitu sampai di depan, langkah kakinya kembali berhenti kala mendengar jeritan di luar dan ternyata beberapa orang keluar karena merasa aman untuk pergi melihat mutan tak bergerak karena hujan sayangnya begitu mereka keluar hujan tiba-tiba reda membuat indra penciuman mutan kembali dan menyerang semua yang keluar.
Lukman memeluk Juna sementara yang tidak ikut keluar terkejut hingga menjerit menjauh dari pintu begitu pintu di dorong keras dari dari luar setelah para mutan menangkap yang keluar. Tak ingin terjadi sesuatu, orang-orang berlari menjauhi pintu hotel, Niko membantu Shila ikut menjauh dari sana.
Tak lama datanglah pak Dodi, “Astaga!! Mereka kan?” menutup mulut terkejut melihat beberapa majah yang ia kenal berada di luar. “B-bagaimana b-bisa?” tanyanya lagi dengan kaki mundur selangkah.
“M-mereka ngotot mau keluar pak. Pak dokter udah nahan tapi tetap ngotot jadinya gitu.” Adu Maya pada sang di manajer.
“Benar pak, kita semua saksinya.” Sahut yang lain.
Terlepas dari semua itu, Lukman malah fokus di lengan kiri pak Dodi. Lengan baju setengah baya sedikit tersingkap kala menutup mulutnya, di sana terlihat ada bercak darah dan bekas cakaran. Apa ini? Mata Lukman menyelusuri mencari ibu tadi tapi sampai sekarang beluma datang juga.
Dengan merangkul Shila Niko mendekati pak Dodi dan bertanya, “Bagaimana kakak sama yang lain pak?” dan di balas helaan nafas. Jantung Niko tiba-toba berdenyut, tatapannya berubah sendu.
“M-mereka baik-baik ajakan pak?” kini giliran Shila yang bertanya berharap jawaban yang tidak ingin mereka dengar.
“Mereka.. “
*
*
*
Sama halnya di tempat lain orang-orang terdiam kala melihat reaksi para mutan setelah kota di guyur hujan, ada yang masa bodoh ada pula menganggap ini sebuah peluang untuk bisa sampai di kamp tim penyelamat. Itulah yang Jaka pikirkan bersama sahabatnya. Meski begitu mereka tidak boleh gegabah, belum lagi Ayu dan Wahyu sedikit terluka jadi banyak yang harus di pikirkan sebelum memutuskan sesuatu.
“Setidaknya kita tahu kelemahan mereka apa, untuk sekarang lebih baik disini dulu daripada harus kelaparan di luar sana.” Ucap Andi memecahkan keheningan mengintip kegiatan mutan di luar sana.
Itu benar, dengan kedatangan Wabah mutan/zombie ini di Jakarta menghancurkan seisi kota kurang dari 24 jam, yang selamat belum tentu bisa mendapat tempat aman untuk bersembunyi dari kejaran. Bersembunyi pun mereka tetap di kejar oleh rasa takut jika sewaktu-waktu mendapat serangan tiba-tiba sebagai mangsa.
Seperti keluarga ini, mereka beranggapan jika makanan akan cukup dalam seminggu nyata nya perkiraan mereka salah. Sang istri hanya memandang anak-anak mereka makan dengan lahap walau dalam, kondisi ketakutan.
“Nur, jangan dipikirkan. Mas akan keluar nanti malam, hanya itu peluang kita untuk bertahan.” Ujar Bima suami nya.
“Tapi mas itu sangat berbahaya.”
“Kita gak punya pilihan Nur, kamu sama anak-anak perlu makan. Nunggu bantuan juga akan sampai disini, buktinya mereka belum bergerak sampai sekarang.”
“Bapak, Yuda ikut ya.”
“Gak boleh nak, kamu tetap harus disini jagain ibu sama Yura.” Tolak Bima, tak ingin membahayakan anaknya.
“Tapi pak.. “
“Yuda! Jangan keras kepala!” tanpa sengaja Bima menaikkan nada suaranya, Yuda menunduk mengangguk pelan. “Bapak pasti kembali kesini, bapak janji jadi Yuda juga harus janji bakal jagain ibu sama Yura.”kata Bima Lagi membuat sang anak menaikkan pandangan menatapnya.
“Iya, Yuda janji sama bapak nakal jagain ibu sama adek.” Remaja itu mencoba tersenyum memandang kedua orang tua nya.
Sama hal nya dengan kapten Halim dan Ali, mereka telah berpindah tempat setelah melihat kelakuan para mutan selama hujan datang. Kini keduanya berada di rumah seseorang yang masih layak di huni melihat beberapa rumah hancur karena kelakuan brutal mutan-mutan tersebut.
“Bagaimana?” tanya kapten Halim kala mereka masuk, Ali berada di depan makanya sang kapten bertanya.
“Aman kapten.” Jawab Ali mengacungkan jempol. Dan ia pun masuk di ikuti kapten Halim. Setelah mendudukkan sang kapten, Ali mencari sesuatu sekedar air minum untuk mereka, untungnya bukan hanya air yang ia dapat tetapi juga beberapa bungkus mie dan tak ada salahnya untuk mengisi perut mereka kan?
“Sir, ini untuk mengisi perut kita sementara waktu sebelum melanjutkan perjalanan.” Ali meletakkan dua cup mie lalu ikut duduk di samping sang kapten.
“Ini? Kamu?”
“Hehe, nanti di ganti uangnya sir.”
‘Kenapa air dingin?”
“Gas nya tak ada, kayaknya pemilik rumah keluar mau beli gas tapi gak balik-balik sampai sekarang.” Lontar Ali mendapat anggukan dari kapten Halim. Mereka pun diam menunggu mie mateng walau membutuhkan waktu mengingat Ali menggunakan air dingin.
Berbeda dengan mereka, bantingan Esther dari mutan membuat Tiger mengarahkan senapan ke arah Esther berniat menolong gadis itu namun kebingungan melihat Esther dan mutan saling dorong. Terus mengarahkan senjata ke arah Esther sampai lupa jika bukan hanya satu mutan di sana dan hap!
Trak!!
Senjata milik Tiger terhempas jauh. “Sial.” desisnya menoleh kemana senjatanya terjatuh kemudian menahan kepala mutan yang hendak menggigit lengan kirinya. “JACK BURUAN ELAH!!” teriaknya pada Jackson. Pemuda itu masih mencari kunci menoleh melihat T iger dan Esther terpojok. Ketakutan begitu terlihat jelas dalam diri Jackson sampai tak bisa bergerak.
“HEI! NGAPAIN DIAM!?” bentak Tiger masih berusaha melepaskan diri dari para mutan. Membuat Jackson tersentak kaget.
“I-iya.” Balas nya terbata kembali mencari kunci gudang dan ketemu. “Ketemu!” serunya dan segera membuka pintu, tak lama setelah itu pintu pun terbuka lebar.
“Mas! Pintunya kebuka!” memanggil Tiger.
“Cari perkakasnya, buruan! Arrgg..!” berhasil melepaskan diri dari mutan, berlari ke arah pintu gudang lalu mendorong Jackson masuk lalu menutupnya. Tiger terkejut pundaknya di pegang.
Brugh!! ERRGGHHH..!!
Esther menendang mutan tersebut hingga terhempas dari Tiger. “Lihat di belakangmu, bodoh!!” sinisnya dingin.
“Ada nona sniper’kan? Hehehe.” Canda Tiger dan mendapat dengusan kekesalan dari Esther. Gadis itu tak habis pikir pria di hadapannya masih bisa bercanda dalam keadaan terjepit seperti ini.
Tiger mengernyitkan kening memejamkan mata, Esther melayangkan kepalan tangan kearah nya lalu menariknya hingga terbentur di dinding pintu.
“Arggg.. !!” jerit Tiger merunduk memegang lengannya. Esther niatnya menolong pun merasa bersalah, tapi ia tak bisa melakukan apapun selain menghalangi mutan mendekati Tiger.
“Sorry, saya niatnya bantu!” ucap Esther kembali menendang mutan yang berlari kearah mereka. Tiger hanya mengangguk pasrah mengangkat tangan, sebagai tanda ia memaklumi tindakan spontan Esther.
Tak lama pintu gudang terbuka, Tiger yang bersandar terjatuh di depan Jackson membuat pemuda itu terkejut.
“Bang, gapapa?!” tanya membantu Tiger.
“JANGAN PEGANG ITU VANGKE!!” Tiger kembali berteriak saat secara tidak sengaja Jackson menarik sikutnya yang terluka.
“Ah maaf!” Jackson melepas pegangan, Tiger kembali terjatuh merasakan sial berkali-kali lipat.
“Sial.” ringis Tiger.
“Hei, bisa lebih cepat lagi? Saya gak bisa nahan mereka lagi.” Sentak Esther di luar sana. Tak ingin Esther bertambah kesal, keduanya pun keluar dari gudang setelah itu berlari meninggalkan gudang.