Ali mengikat paha sang kapten setelah tergores besi ketika berlari menyelamatkan diri dari kejaran. Hhh.. kapten Halim menghela nafas sedikit meringis menepuk lengan Bara.
“Tahan kapten.”
“Bukan itu,”
Ali mendongak menatap sang kapten.
“Kamu nekan betis saya.”
Ali menurunkan wajahnya melihat lututnya berada di atas betis sang kapten. “Ah, hehe maaf kapten.” Ujarnya cengengesan buru-buru memindahkan betisnya lalu duduk di samping sang kapten.
Beliau hanya menggeleng kecil memegang pahanya, “Semoga mereka sampai di rumah sakit dengan selamat.”ujarnya pelan.
“Saya juga berharap seperti itu kapten. Tapi kapten, bagaimana dengan jendral Mark ? Dia bukan orang yang lalai dengan tugas apalagi sampai meninggalkan tim begitu saja.” Lontar Ali.
“Entahlah, sejak awal dia terlihat memikirkan sesuatu. Belum lagi sepertinya prof Robert secara tidak langsung mengabaikan putrinya semenjak istri beliau meninggal meskipun begitu apapun alasannya jika menyangkut kelalaian dalam tugas maka dia akan kena sangsi. Ya mudah-mudahan saja kita selamat dan bisa memberinya hukuman di lapangan.” Menoleh kearah Ali, keduanya terkekeh.
“Jam 12 siang, air minum sebentar lagi habis, swalayan dekat sini tak ada. Setelah ini kapten akan kemana?” Cicit Ali melihat sisa bekal mereka.
“Mencari Shila.”
“Tapi kapten, pantai dari sini begitu jauh!? Kita saja masih tetap disini-sini saja sejak kemarin. Lalu.. “
“Saya tidak peduli Ali. Bahkan jika memakan waktu berbulan-bulan saya tidak peduli selama bisa menemukan putri saya.”
“Saya akan ikut kapten.”
“Tidak Ali, kamu harus kembali.”
“Bersama denganmu kapten.”
“Keras kepala.”
“Itu yang kami dapatkan selama ini kapten.”
*
*
*
Sedari tadi Niko mengetuk-ngetuk kedua lutut Ayu, tadinya ia kira hanya shok sesaat dan ini sudah 3 kali Niko melakukannya dengan keras namun tetap saja kedua kaki Ayu tetap tak bisa bergerak. Jaka duduk selonjoran memeluk Ayu menatap Niko khawatir, berharap itu tidak seperti yang ia dan lainnya pikirkan.
Niko menghela nafas menekan jari-jari kaki Ayu, “Ada rasa gak?” tanya nya dan mendapat gelengan pelan dari Ayu. Niko pun berkata menatap Jaka, “Saya tidak ingin memutuskan sesuatu yang belum pasti, kita harus melakukan Rontgen untuk melihat kondisi kedua kaki Ayu.”
“Katakan dengan jujur, itu bukan seperti yang saya pikirkan kan dok?” tanya Jaka masih memeluk adiknya.
“X-ray sangat di butuhkan sekarang.” Ujar Niko.
“Ck, lalu sekarang bagaimana sedangkan kita gak tau rumah sakit yang aman dimana.” Kata Jaka sedikit keras. Andi menepuk pundak sahabatnya, “Tahan amarah lo, kita tunggu.. “
“Senior, coba lihat ini.” Duta berjalan mendekati Andi, mengulurkan ponsel memperlihatkan seseorang tengah melakukan siaran langsung di rumah sakit. “Rumah sakit pertamina masih aman, kita... “
“Selamat siang, saya Jeremy Tetot ingin memberitahukan bahwa untuk tetap berada di tempat agar tim penyelamat bisa melakukan evakuasi warga. Semua koneksi internet untuk sementara akan terputus agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak di inginkan. Jika bertanya ru.. “
Dafa mematikan siaran di hp Duta menatap yang lain, “Mereka hanya meminta kita menunggu sedangkan kondisi sekarang gak memungkinkan untuk tetap diam. Ayu dan mereka butuh pertolongan yang memadai. Jika mendengar mereka, sama aja menunggu harapan kosong.” Ujarnya.
“Lalu bagaimana?” tanya Duta.
“Keluar dari sini. kalian lihat tadi kan, live itu sengaja di hentikan agar mereka tidak di tadangi.” Jelas Dafa lagi.
Niko berdiri, “Pergilah.” Suruhnya.
Jaka mendongak menatap Niko bingung. “Dokter bagaimana? Anda harus ikut kami, Ayu butuh dokter disana. Saya gak yakin mereka bakal ngrawat adik saya.”
“Maaf saya gak bisa.”
“Apa! Gak bisa gitu dong dok!” Jaka melepas pelukannya pada Ayu lalu berdiri menatap Niko nyalang.
“Maksudnya?”
“Dokter harus ikut kami, Ayu membutuhkan dokter disana.”
“Sekali lagi maaf, saya harus mencari kakak saya jadi gak mungkin.. “
“Lo harus ikut!” sentak Jaka ngotot menginginkan Niko ikut dengan mereka, karena dai yakin tak ada yang akan melakukan perawatan disana.
“Jak, hei.. jangan gini lah.”
“Jangan gini gimana? Gue Cuma minta dia buat jadi dokter Ayu, apa salahnya gak ada. Dia ngaku seorang dokter anak’kan? Ya udah harusnya lakukan tugasnya dong jangan setengah-setengah, itu juga kalau dia emang dokter.” Kata Jaka menunjuk Niko, Andi menarik Jaka menjauh dari Niko.
“Sebagai dokter saya memang di tugaskan untuk merawat pasien tapi tugas saya sebagai adik jauh lebih berharga tuan Jaka.” Kata Niko melempar tatapan dingin pada Jaka.
“Oh jadi maksud lo keadaan adik gue gak berharga gitu? Dasar dokter gak guna! Apa jangan-jangan lo jadi dokter karena orang dalam? Jadinya sekarang jadi seenaknya! Gini nih kalau punya orang tua yang terlalu.. ”
“LO GAK TAU APA-APA SOAL ORANG TUA GUE, SIALAN! Jadi tutup mulut lo itu.”
“Cih, paling juga mereka.. “
“b******n lo ya!!”
“Dokter Niko, hei udah gak usah di tanggepin.” Dafa menahan Niko yang hendak menghampiri Jaka. Niko menepis tangan Dafa kembali melempar tatapan tajam pada Jaka, dadanya kembas kempis menahan amarah yang kapan saja bisa meledak lalu meraih besi yang selalu ia bawa kemudian menarik gagang pintu berlalu pergi. Tadinya semua yang di ruangan itu kaget takut Niko menyerang Jaka dengan besi itu namun mereka salah karena Niko malah keluar dari sana.
“Niko mau ngapain lo?! Niko balik sekarang! NIKO!” mereka berteriak memanggil Niko.
Andi sedari tadi diam pun,“Jaka apaan sih lo, hah!” mendorong Jaka kesal. “Niko! Hei, Niko!” Andi berteriak memanggil Niko sayangnya pria itu telah pergi tanpa berbalik.
“Biarin aja dia pergi, dokter gak.. “
Plak!!
“b******k! Apaan sih lo, hah!!”
“Lo yang b******k sialan! Dia bener lo gak tau apa-apa soal orang tuanya jadi jangan sok tau.”
“Lo belain dia? Coba lo liat keadaan Ayu gimana, gue Cuma minta.. “
“Orang tua Niko udah berubah demi menyelamatkan dia sama kakaknya. Paham lo b******n!”
Deg!!
Semua memandang Jaka kecewa, begitu juga Ayu kini memeluk Wahyu terisak melihat kelakuan abangnya.
*
*
*
“b******n!” Niko melampiaskan semua amarahnya pada mutan di hadapannya. Tujuan Niko sekarang kembali ke tempat ibu dan ayah berada, walau sudah begitu jauh tak masalah selama bisa bertemu kakak berbahu lebarnya itu.
Coba kalau dia tidak egois, mereka pasti bisa bersama sampai sekarang tapi karena kebodohannya.. mereka harus berpisah. “Maafin gue bang hiks.. “ entah apa yang membuatnya terisak, Niko hanya berlari menghindari mutan-mutan sialan itu tak peduli kalau bukan hanya dirinya yang berlari dalam ketakutan sekarang. Ternyata masih banyak orang-orang berkeliaran di luar sepertinya. Sampai langkahnya berhenti kala melihat dua remaja saling menarik. Bukan, melain hanya si cowok yang menarik di cewek sedangkan si cewek mendorong si cowok agar meninggalkannya saja dari pada harus menolongnya yang terjepit di antara gerobak yang jatuh.
Dengan langkah lebar Niko berlari ke arah mereka mengayungkan besinya tepat mengenai kepala mutan yang melompati si cowok dari belakang. Kedua remaja itu terkejut mendongak menatap Niko.
“Cepat angkat temannya, biar saya menghalau mereka.” ujar Niko kembali mengayungkan besinya.
“Makasih bang. Ayo shil, tarik kaki lo keluar.” Suruh si cowok mengangkat gerobak yang menimpa teman perempuannya.
“Akkhh.. gue gak bisa Jackson!” jerit si gadis merusaha menarik kakinya yang terjepit.
“Lo pasti bisa Shila. Gue angkat lagi ya,” Jackson kembali mengangkat gerobak tersebut dan ringan. Ia menengok dan ternyata Niko membantunya.
“Bang awas di belakang!!” Shila berteriak pada Niko melihat mutan melompat ke arah Niko. Sebelum Niko memutar punggungnya untuk berbalik, mutan itu lebih dulu terlempar setelah mendapat tembakan.
Mereka sama-sama diam. sekali lagi tembakan datang, lagi dan lagi sampai seseorang memanggil nama Niko.
“Niko!!”
Niko segera berbalik mendengar suara seseorang yang sedari tadi ia khawatirkan. Bukan hanya mereka yang kembali bertemu tetapi juga,
“K-kak Es!” panggil Shila.
Esther menengok kebawah, “Shila!! Tiger, keluarkan dia cepat!” perintah Esther tegas. Sial. Kenapa harus bertemu anak kapten disini?pikir Esther. Jika seperti ini, ia semakin memperlambat waktu untuk bertemu ayahnya.
Tiger membantu Shila keluar dari jepitan gerobak dengan satu tangan, Niko yang membantu Jackson memandang lengan sang kakak khawatir. Setelah Shila berhasil keluar, meski sakit Tiger membantu Esther. Ringisan demi ringisan keluar dari mulut Tiger kala ia melepaskan tembakan.
“Kita kemana sekarang?” tanya Tiger pada Esther.
Sebelum gadis itu menjawab, Jackson menyelanya. “Beberapa warga ke hotel sana.” Menunjuk hotel tak jauh dari mereka. “Tadi manajer hotel ngasih kita kode buat kesana yang katanya aman, makanya rombongan pada kesana.”
“Terus ninggalin kalian gitu?” lontar Niko. Jackson dan Shila bungkam.
“Bisa tolong bantu dia?” pinta Esther pada Niko di angguki pria itu. Tiger hanya fokus pada mutan walau sesekali meringis membuat Esther meliriknya.
“Saya gapapa nona sniper.” Ujar Tiger tersenyum tipis melihat lirikan Esther dari sudut matanya.
“Ck, ayo bergerak sekarang. Tiger di depan dan saya gak suka di protes.”
Tiger pasrah memimpin mereka berjalan ke hotel yang jarak tak seberapa itu. Melihat Tiger dan lain nya mendekati hotel, beberapa orang disana bersiap membuka pintu dan Niko Shila dan Jackson sudah masuk, Tiger masih menunggu Esther. Tangan nya reflek menarik lengan Esther untuk segera masuk kala mutan datang dari samping. Esther diam membeku berada di pelukan Tiger, keduanya menjadi pusat perhatian sebelum mendengar Shila memanggil Esther.
“Kak Es!”
Dalam hati Tiger mengerang kesal. Ganggu aja sih dan itu tak luput dari perhatian Niko. Sedari tadi dokter tampan itu memperhatikan gelagat kakaknya menahan tawa karena tau sang kakak tengah jatuh cinta.
Esther buru-buru mendorong d**a Tiger pelan lalu berjalan ke arah Shila. Ia memberikan pelukan pada anak sang kapten. Sementara itu Tiger memicingkan mata marah, Niko menunduk melihat kilatan marah sang kakak. Kali ini dia yang salah karena telah pergi begitu saja meninggalkan Tiger.
Niko semakin menunduk, tubuhnya reflek sedikit mundur saat tangan Tiger melayang. Bukan untuk menampar Niko, Tiger hanya menakuti adiknya lalu memberinya tepukan kecil di pipi.
“Dasar alien nakal!”
Masa bodoh dengan gengsi atau harga dirinya, Niko lebih dulu memeluk Tiger menepuk punggung lebar pria itu.
Plak!!
Pedas. Itulah yang Tiger rasakan sampai, “Ashhh.. pedas sialan!” kesalnya mendorong Niko menjauh darinya. Lihatlah bukannya merasa bersalah, Niko hanya cengengesan.
“Gue pites juga lo sia.. “
“Heh, mulutnya. Noh ada anak kecil.” Tegur Niko sedikit menjauh dari Tiger menunjuk bocah di belakang Tiger.
Tiger berbalik, bocah itu menengadah melihatnya dengan mata berbinar-binar. “Ke-kenapa? Orang tua kamu mana?” tanya Tiger.
“Orang tuanya udah berubah mas.” Jawab ibu-ibu disana.
Deg!!
Tiger dan Esther reflek saling bertatapan sebelum Tiger menekuk lututnya di hadapan bocah itu.
“Nama kamu siapa?” tanya Tiger menyisir rambut bocah itu.
“Juna om.”
“Oh~~~ namanya keren hehe. Umur Juna berapa?”
“Emm.. lima tahun.” Jari-jari mungil Juna terangkat di depan muka Tiger. Pria itu meraihnya, lalu mengeluarkan coklat dari sakunya.
“Ini buat Juna, sekarang duduk disana sama nona cantik itu ya,” menunjuk Esther dan mendapat lirikan sinis dari gadis itu. “Hehe, piss nona.” Juna berjalan ke arah Esther dan memeluk leher gadis itu, membuat mata bulat Esther semakin membulat lucu.
“Waahh.. senapannya berat juga!” Celetuk seorang pemuda berusaha mengangkat senapan milik Esther. Mendengar hal tersebut, Esther membawa Juna ke pangkuan kemudian berputar dengan satu kaki menendang ujung senapan sampai terlepas dari tangan pemuda itu dan melayang ke arahnya.
Hap!!
Mendarat tepat di tangan Esther. Yang berada di sana melongo melihat pertunjukkan kecil dari Esther begitu juga Tiger dan Niko.
“Lukman! Lo gila ya!?” Jackson ternyata mengenal pemuda tadi.
“Apa sih gue Cuma pegang doang. Nona jangan lebay.. “ terhenti melihat Esther berdiri setelah mendudukkan Juna di samping Shila.
“Kamu lihat ini, jarimu sedikit lagi menyentuhnya. Jika tersentuh maka ibu yang di sana akan terkena tembakan, apa kamu mau tanggung jawab?” tutur Esther halus namun terdengar menakutkan.
Tiger berdiri melangkah mendekati Esther, “Niko lo coba obati kaki Shila deh, nona ikut saya bentar ya.” Menarik Esther pergi dari sana.
“Lain kali jangan sok tau.” Ujar Jackson, Lukman mengepalkan tangan melangkah pergi dengan perasaan malu setelah mendapat lirikan sinis dari orang-orang di sana.
‘Awas lo jackson, sialan!’
“Apa sih, saya bisa jalan sendiri!” Esther menyentak tarikan Tiger. “Mau ngapain kamu?” tanyanya melihat Tiger berdiri tepat di hadapannya.
“Hufff... nona bukan nyeremin kalau lagi marah tapi makin cantik, hehe.”
“Apa!”