Chapter : 18

1730 Words
“Kapten lihatlah, mahluk apa itu?” Ali menunjuk keluar melihat sesuatu berjalan melewati atap-atap rumah. Malam membuat mereka tak bisa melihat mahluk tersebut, yang pasti itu terlihat menakutkan dari yang mereka bayangkan. “Saya harap mahluk itu mengenai titik koordinat, agar orang-orang di atas bisa melihat dan bergerak lebih cepat lagi.” Ujar sang kapten. “Kapten yakin mereka akan bergerak? Ini sudah lewat 24 jam tapi mengapa mereka tidak mengirim apapun?” “Kamu meragukan mereka bagaimana denganku? Saya merasa mereka mengulur waktu terlalu lama.” Kapten Halim menutup horden melangkah meraih senapan dan juga tasnya, semua tak lepas dari pandangan Ali. Merasa di tatap beliau pun mendongak berkata, “Ayo lanjut jika memang tidak menurunkan bantuan, sumpah dari pengabdian kita sedang di uji sekarang.” “SIA PAK!!” Ali berdiri tegap memberikan hormat pada sang kapten, beliau juga beranjak dan membalas hormat Ali. Keduanya tersenyum kemudian bersiap untuk turun ke lapangan. Setelah beberapa menit kemudian, keduanya bersiap tak peduli dengan keberadaan mahluk yang sedang mengawasi mereka saat ini. Sebelum keluar, Ali meneropong sekeliling rumah dan ia tak sengaja melihat sebuah bus tak jauh dari mereka berpijak sekarang. “Kapten, lima rumah dari sini ada sebuah bus. Apa kita bisa membawanya?” kata          Ali menengok ke arah sang kapten. “Tidak ada salahnya jika bisa.” “Baik.”   Keduanya keluar dari rumah berusaha untuk tidak membangunkan para mutan ganas yang sedang melakukan jaga malam. Erangan, endusan dengan kaki terseret benar-benar tidak baik untuk jantung siapa saja termasuk mereka berdua. Kapan ketakutan ini berakhir dalam diri semua orang? Agar mereka bisa memberikan tatapan lega dengan mulut yang menyunggingkan senyum tulus kala melangkah keluar rumah. Kapan orang-orang bisa menatap langit seakan-akan dia adalah penyalur dari semua rasa lelah mereka? Tentu saja untuk mendapat itu kembali mungkin membutuhkan waktu lama karena melewati semua ini tidaklah mudah dan sesederhana yang siapapun pikirkan. Jika ini hanya ada di imajinasi atau seperti di game yang bisa kapan saja aut, mereka tidak akan melakukan kebodohan ini namun nyatanya.. this is real not imagination. Sudah terlalu banyak korban, entah mereka rela berkorban, atau terpaksa mengorbankan diri untuk orang yang mereka cintai atau orang lain itu adalah pilihan dari dalam diri sendiri karena nyatanya... tak ada pilihan yang dapat terpilih selain bertahan sendiri. Kota yang tadinya penuh dengan hiruk pikuk keramaian, suara-suara klakson bersautan layaknya irama yang begitu bising terkadang mengganggu namun sekarang bukan hanya mengganggu tetapi juga menakutkan pada akhirnya semua akan terasa hampa. Pemandangan begitu memuakkan yang sama sejak dua hari ini, tak peduli kapan pun dan di mana pun berada orang tak bersalah akan tetap menjadi santapan para monster di luar sana. Kelelahan, kelaparan, kesepian, dan rasa frustasi terus menggerogoti tubuh dan pikiran orang-orang yang berhasil menjauh dari para monster. Suara geraman yang bersahut-sahutan di luar, biarpun buta yang hanya terpancing oleh sebuah suara mutan tidak sebodoh itu di karenakan indra penciuaman mereka benar-benar tajam hanya untuk sekedar mencium bau manusia atau mendeteksi panas tubuh manusia. Mereka tidak kehabisan akal untuk mencari mangsa untuk mereka terkam, belum lagi kakinya bisa berlari lebih cepat dari manusia pada umumnya. Benar-benar menakutkan, inilah yang di maksud THRILLING ADVENTURE, DIE OR SURVIVE THAT’S THE ONLY CHOICE. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan apa yang menghalangi langkah mereka. Berapa pun tembakan dan pukulan tidak akan menghentikan mereka untuk mengejar mangsa yang terlihat. Jika sebelumnya berhasil selamat karena hujan yang membuat para mutan bingung, namun sekarang berlari menjauh dari kejaran satu-satunya cara bertahan. Tak di pungkiri lari dari kenyataan memang semenyakitkan ini, baik Ali dan sang kapten sudah lelah melawan. Tenaga mereka sudah terkuras habis, belum lagi langkah di belakang sana lebih cepat dari sebelumnya. “Ahh... “ kapten Halim terjatuh, pahanya yang luka semakin ngilu jika harus terus berlari. Ali berhenti kemudian kembali menghampiri sang kapten. “Tidak Ali saya menyerah sekarang! Saya akan melakukannya. Jadi pergi dan kaburlah! Kabur sekarang!” ujar kapten Halim kepada Ali. “Percayalah saya bangga menjadi bagian dari kalian. Kaburlah sekarang! Lari! Pergi! Cepat!” Tanpa ragu, Ali malah berbalik menghampiri sang kapten menekuk lututnya. Ali menggeleng keras tidak mau melakukan kesalahan dengan meninggalkan sang kapten, jika memang satu menyerah maka yang lain harus memberikan kekuatan untuk tidak ikut menyerah tak peduli nyawa taruhannya. “Menyerah bukanlah kami kapten, jadi bangun dan pikirkan jika Shila menunggu anda di luar sana. ayo naik,” Ali menarik sang kapten untuk naik ke punggungnya. Setelah dirasa posisi sudah bagus, Ali pun beranjak mulai melangkah cepat hingga berlari menuju bus di depan sana. Dengan wajah buruknya, lari terpincang-pincang dengan tangan yang terjulur ke depan terus mengejar keduanya, monster pemakan otak itu benar-benar tak ingin kala sampai melompat ke arah mereka, untungnya kapten Halim masih bisa menggunakan tenaganya untuk menembak menghalau lompatan monster tersebut. Begitu sampai di bus keduanya segera menutup pintu, sialnya malah macet terpaksa Ali menendang-nendang pintu berharap bisa bisa tertutup dan tepat mutan mengulurkan tangan hendak meraihnya pintu tertutup dengan tangan mutan mengganjal hingga terjadi saling dorong. Kapten Halim berusaha berdiri meraih senapannya lalu memukul tangan yang menjulur masuk hingga keluar. “Aaahh...” keduanya merosot setelah mereka terlepas dari kejaran mutan malau di luar masih berusaha mendobrak mengelilingi bus sampai-sampai bus bergoyang setidaknya mereka bisa bernafas lega sekarang. “Kapan semua ini berakhir ya Tuhan!!” bisikan keterputusaan terdengar begitu memilkukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Kapten Halim menepuk bahu Ali yang terlihat memejamkan mata dengan nafas terengah-engah. “Kamu sudah melakukan yang terbaik.”     *   *   *   *   Keadaan semakin mengkhawatirkan kala mendengar rengekan keluar dari mulut Ayu. Jaka hanya bisa memeluk Ayu yang kedinginan, Bara melakukan semampunya sebagai dokter walau ini bukan keahliannya. “Badan dia panas banget Daf. Gue harus apa sekarang?” Jaka menaikkan tatapannya pada Dafa sendu. Hatinya begitu resah melihat keadaan Ayu menggigil kedinginan padahal jaket mereka sudah membaluti tubuh mungil gadis kecil itu. “Ini salah satu reaksi dari kaki nya, mudah-mudahan besok reda saolnya keadaan kaki Ayu benar-benar membutuhkan perawatan intensif.” Kata Dafa. “Apa kita gak bisa keluar dari sini?” tanya Andi ikut cemas melihat keadaan Ayu. “Seenggaknya kita coba dulu lah, kalau emang gak bisa baru mundur.”katanya lagi dan mendapat tatapan dari yang lain. “Mas Wahyu sama temannya gapapa kita keluar sekarang?” tanya Duta, yang di tanya saling berpandangan lalu mengangguk. “Kita bakal ikut aja mas.” Kata Dirta dan Wahyu kembali mengangguk. “Gimana Jak, kita coba dulu biar keluar dari sini. toko ini udah gak bisa kita tempati dengar sendirikan di luar sana seperti apa.” Ujar Andi pada sahabatnya. “Oke. Kalau itu mau kalian, ayo.” Jaka mendudukkan Ayu membauatnya sedikit terusik, hanya lenguhan pelan berhasil di tenangkan oleh Jaka. “Kita keluar sekarang ya dek, abang bakal bawa Ayu ke dokter terbaik di jakarta.” Hanya ucapan itu yang mempu terucap di bibir Jaka. Ia mengangguk memberikan Dafa kode agar membantunya untuk menaikkan Ayu ke punggungnya.   “Ah, mas... ini pengikat yang selalu Ayu pakai saat bersama jendral Ali. Ini akan terikat sempurna menahan berat badan Ayu.” Wahyu memberikan pengikat pada Jaka. “Terimakasih.” Ucap Jaka lalu memberikan nya pada Andi agar bisa membantunya melilit mereka. Andi yang mengerti pun segera melakukannya dengan bantuan Dafa. Jaka mengacungkan jempol kala di rasa sudah bagus, “Oke, gue di depan sama mas Dirta yang lain bantu mas Wahyu.” Ucapnya memberitahu susunan mereka dan yang lain hanya mengangguk mematuhi perintah Jaka. Pelan namun pasti pintu mulai terbuka dalam kegelapan ketakutan kembali terasa, begitu mereka menginjak ubing dimana para mutan pemakan manusia berada. Ketakutan, kegelisahan dan kekhawatiran tampak begitu jelas dalam diri semuanya. Tak ada yang boleh melakukan kesalahan selama melangkah keluar jika tak ingin berakibat fatal. Mutan berada di setiap rak memandang sekeliling kosong, namun bukan berarti siapa saja bisa lolos karena aroma manusia begitu lezat di indra penciumannya. Andi meraih kaleng mengelindingkan kaleng tersebut ke dalam gudang, mendengar suara gesekan dari gudang para mutan tergesah-gesah menyeret kaki ke arah suara, begitu di rasa semua masuk Andi menarik pintu gudang bersama Duta kemudian menguncinya. “Sekarang!” seru Andi dan mereka pun berlari keluar toko memulai main petak umpetnya dengan mutan-mutan di luar toko.   Krek!!   Tubuh mereka beku berbalik ke arah Andi yang tidak sengaja menginjak krupuk. Kepala berputar kala mendengar suara erangan dari belakang. Sempat saling bertatapan dengan para mutan, “Sial!” umpatnya kemudian berlari menjauh dari kejaran. Niatnya main petak umpet malah berubah jadi kejar-kejaran, benar-benar sial pikir mereka. Terus berlari menghindar dari segala kejaran bahkan lompatan dari sisi manapun mereka menerkam begitu saja. Syut.. dash!! Tepat mengenai kepala, bahkan darah mengucur mengenai mereka. “Ahh.. menjijikkan.” Seru semuanya masih terus berlari. “Maaf.” Ucap Dirta kembali menembak ke arah samping dimana mutan berlari hendak menerkam Ayu. “Oh!” mereka terkejut namun tak dapat menghentikan langkah hanya untuk melihat bagaimana dan seperti apa bentuk mutan itu. Wahyu yang kesulitan berlari hanya bisa menyeret kakinya berpikir, mereka saja yang buta dan mati masih bisa berlari cepat, harusnya dia juga bisa. Duta yang berada di sebelahnya meraih senapan pria itu dan membuang pistol nya. “Maaf kalau gak sopan tapi lebih baik kamu di depan jangan di belakang.” Ucap Duta, ia menarik Wahyu agar berada di posisi tengah sementara dia di belakang. Krek.. path..!!   Tidak ada yang bisa di lakukan selain lari, Jaka mulai kelelahan kaki panjangnya mulai bergetar sementara tak ada tempat untuk mereka tuju. “A-abang... “ bisikan lirih dari Ayu menghentikan langkah Jaka di ikuti yang lain. Kini mereka berbentuk bundaran dan berada di tengah-tengah, benar-benar menunggu waktu menjadi santapan kalau gini sih. “Bagaimana sekarang? Kaki saya sudah tak bisa berlari lagi.” Ucap Wahyu meringis menggigit bibir tak kuasa menahan sakit kakinya. Tak di pungkiri jika semua kini seakan pasrah dengan keadaan mereka sebelum seseorang melepar gas berasap. “Tutup mulut kalian!” seru seseorang, entah darimana datangnya tiba-tiba membordir para mutan dengan peluru yang tersisa. Tembakan terus terdengar, begitu juga erangan murka dari mutan yan semakin banyak berlari ke arah mereka. “Jendral!” seru Wahyu dan Dirta setelah menerka-nerka suara yang terdengar begitu asing di pendengaran keduanya. Sebelum mendapat dari jendral mereka, beberapa orang lebih dulu menarik semuanya untuk masuk. “J-jendral... “ “Sstt.. “ sang jendral mencoba tersenyum setidaknya ia masih bisa bertemu anggota lain. Wahyu dan Dirta tersenyum sayu namun tiba-tiba terisak memeluk sang jendral. “Kalian.. astaga!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD