Brak!!
“Kamu gapapa?” tanya suster pada Julian, pemuda itu terlihat diam setelah tak sengaja menjatuhkan s**u kaleng. Entah kenapa tangan nya kebas tak bisa memegang. Julian menoleh melihat yang lain memandangnya.
Ia mencoba tersenyum sambil berkata, “Gapapa kok, tangan saya Cuma kebas doang.” David mengapit senjata nya berjalan ke arah Julian dan meraih tangan pemuda itu.
David mengurut pelan tangan Julian, “Kamu harus baik-baik aja biar bisa jagain adikmu.” Ucapnya pelan. Julian tersenyum mengangguk, “Terimakasih pak.” Lirihnya, setelah itu mendapat tepukan di punggung dari David.
“Udah dek, biar suster aja yang buatin adeknya susu.” Ucap suster Diana.
Untungnya toko swalayan itu begitu lengkap jadi mereka tidak merasakan kekurangan, sementara dua orang tadi diam menunduk malu mengingat perbuatan mereka di dalam gudang.
Hanya Julian dan Aidil yang masih belum mengerti situasi saat ini, mengapa mereka hanya diam begitu Aidil melontarkan pertanyaan pada keduanya.
“Jadi, kalian ngapain di dalam sana? Kalau sembunyi gak mungkin ada suara erangan yang emm.. gimana ya cara ngomongnya?” Aidil nengok ke arah Bara, pria itu malah membuang muka bingung harus mengatakan apa karena tak ingin otak polos anggota termuda mereka ternodai.
Damian yang ikut mendapat tatapan bertanya dari Aidil hanya memasang muka datar. Pria dingin itu menaik turunkan alis, membuat Aidil mendengus.
“Intinya.. “
“Intinya mending kamu diam di sana, makan apa kek gitu? Yang penting mereka baik-baik aja, gak ada mutan dalam toko ini. Selesaikan?” potong Damian memejamkan mata tak mau melihat delikan kesal dari Aidil.
“Ck, iya.” Aidil beranjak melangkah menjauh dari yang lain. Damian mengintip mendengar suara langkah menjauh dari mereka.
“Tuh anak masih polos aja sih, heran saya.” Gumamnya menggeleng pelan.
“Itu karena dia hanya terus berada di dekat Jendral Esther, makanya otaknya gak pernah rusak gak kayak... “
“Kita ya jendral!” celetuk David cengengesan.
“Enak aja, kamu aja kali.” Sanggah Damian dan Bara sewot. David memutar bola mata kembali fokus pada Julian sama Aisyah. Suster Diana sedari tadi diam hanya tersenyum kecil, ternyata mereka gak sekaku yang ia pikirkan selama ini.
“Setelah ini kalian mau kemana?” tanya laki-laki tak jauh dari mereka. “Ah, saya Harum dan dia Karin istri saya, kita gak bohong pak. Ini buktinya,” dia mengeluarkan hp dan memperlihatkan foto wedding mereka.
“Oke, kita percaya tapi lain kali tahan dulu lah, ini lagi gawat darurat udah zona hitam jangan sampai kalian lagi nganu malah di sergap mereka.” Kata Damian frontal menatap mereka berdua.
“Maaf pak, gak gitu lagi. Kita Cuma mau.. “
“Stop!” suster Diana tak tahan dengan pembahasan mereka pun sedikit berteriak. “M-maksud saya tuh.. bisa gak bahas nya yang lain aja jangan hal dewasa, kasian anak bayi disini.” Lanjutnya gugup.
“Maaf mbak.” Ujar mereka serentak merasa malu.
“Mereka bahas apa sih pak?” tanya Julian pada Aidil.
“Ikan cupang kali.” Jawab Aidil memainkan pipi Aisyah, Julian hanya mengangguk tanpa ingin bertanya lagi. Polos ketemu polos ya gini.
Masih di sana, mata Bara menangkap sesuatu di rak paling atas. Ia pun berdiri dan meraihnya dan ternyata sebuah peta jakarta. “Tim, kemari.” Panggilnya dan dengan sigap mereka menghampiri Bara.
“Lihat, kita sekarang ada di.. “
“TOLONG!! ARRGGHHH!!”
Semua tertegun menegakkan punggung memutar kepala menatap keluar toko. Jujur tak pernah ada suara sekeras itu terdengar oleh mereka, entah apa yang terjadi di luar sana yang pasti mereka bersiap dengan semua kemungkinan terjadi.
Suara jeritan tak hanya terdengar oleh mereka, Ayu sampai tersentak memeluk Jaka ketakutan mendengarnya.
“Suara apa itu?” tanya Dafa sedikit menaikkan kepala melihat keluar dengan posisi dia berjongkok memegang erat balok.
“Kenapa? Ada sesuatu gak?” tanya Andi ikut melihat keluar namun yang mereka lihat hanya para mutan menengadah menatap langit, tidak ada yang tahu maksud melakukan itu.
“Ada yang aneh, mereka diam layaknya patung memandang langit, bahkan gak ada burung satu pun, jangankan murung lalat aja gak ada.” Sahut Duta.
“Perasaan gue gak enak. Kita kayak ngelewatin sesuatu dari kejadian ini tau gak!” ujar Jaka masih dalam keadaan memeluk Ayu.
“Tapi apa?” tanya Andi.
“ Kita bakal tau itu saat keluar dari sini.” kata Jaka menunduk mengusap pelan lengan sang adik.
Wahyu dan Dirta hanya saling menatap mendengar obrolan mereka. Keduanya bungkam bukan berarti tidak peduli, namun pikiran mereka hanya pada sang kapten karena ingin mendengar perintah dari atasan.
“Jadi malam ini, kita jadi pergi dari sini?” tanya Duta.
“Harus. Ayu butuh dokter, mas Wahyu juga membutuhkan perawatan.” Jawab Dafa dan mereka pun mengangguk bersiap-siap untuk pertarungan malam ini.
Sama hal nya dengan Jaka dan rombongan, Tiger Jackson dan Esther berhasil selamat dari kejaran mutan. Suara gebrakan pintu awalnya membuat mereka terkejut namun semakin terkejut kala mendengar suara jeritan minta tolong yang menggema.
“Kalian baik-baik aja?” tanya Lukman berhasil membuyarkan keterkejutan semua orang dan beralih menatap Tiger.
“Bang,” Niko mendekati mereka dengan Juna dalam gendongannya. Pak Dodi ikut mendekati mereka perkakas.
“Pak, bisa bantu saya buat perbaiki jendela?” pinta pak Dodi pada beberapa pria di sana dan mendapat anggukan dari mereka.
“Terima kasih mas mbak, dengan begini kita akan baik-baik saka selama disini.” Ucap pak Dodi tersenyum ramah begitu juga orang-orang sana.
“Sama-sama pak, sekarang kami serahin sama bapak-bapak semua.” Ujar Tiger membalas senyum mereka. Diam-diam Esther mengagumi senyum Tiger, meski dirinya kesakitan pria itu tetap mengumbar senyum tak ingin membuat mereka khawatir.
“Kak Es, gapapa’kan?” Shila ikut mendekat lalu duduk di samping Esther.
“Gapapa. Jack, you oke?” tanya nya pada pemuda itu dan mendapat acungan jempol dan juga senyuman. Tak lama Maya datang memberikan mereka air minum, dan di teguk habis.
Niko menyentuh lengan Tiger bagian yang sakit melihat keanehan Tiger terus meringis. “Bang.. “
“Argghh.. sakit woi!” Tiger menjerit kesakitan membuat mereka terperanjat kaget. “Ashh, sorry! Lo ngapain gila?!” menekan pertanyaannya.
“Mas gapapa?” tanya salah satu wanita di sana.
“Ah, ini.. “
“Lengannya ke bentur dinding tadi gara-gara saya bu.” Jawab Esther memotong ucapan Tiger.
Tiger diam termangu.
“Kok bisa ceroboh banget sih mbak! Pak dokter, kakaknya tolong di obatin, kasian.” Kata si ibu tadi di anggukan yang lain.
“Lain kali kalau mau selamat jangan ngorbanin orang lain mbak.”
“Mungkin biar keliatan kalau dia seorang jendral, biar di kata pahlawan kali mbak.”
“Gak boleh gitu mbak.”
“Maaf bu.” Ucap Esther.
“Udah pak dokter, tolong di obati kakaknya, kita mau ke sana dulu bantuin yang lain.” Setelah mengatakan hal yang tidak masuk akal, mereka pun pergi menuju lantai dua.
Tiger menoleh menatap Esther begitu juga Jackson, keduanya melempar tatapan tak percaya.
“K-kak kok diam aja sih? Jelas-jelas gak kayak gitu.” Protes Jackson, Esther tetap diam berdiri meraih lengan Shila membawanya pergi dari sana.
“Dia kenapa?” tanya Niko. Mulai memeriksa lengan Tiger dengan bantuan Maya. Tiger meringis menatap lekat punggung Esther mengingat kesalahan apa yang ia perbuat selama mereka bersama tadi.
Lukman masih di sana mengulurkan tangan kearah Jackson, “Maaf, gara-gara saya, kalian meski kayak gini.” Ucapnya lirih.
Jackson menerima uluran tangannya tersenyum. Yang lain mendengar permintaan Lukman hanya diam, sebelum dia kembali berkata setelah Jackson berdiri di sampingnya.
“Apa kalian yakin pak Dodi orang baik? Dan kita bakalan baik-baik aja di sini?”
“Apa?”
Mereka dengan cepat mendongak menatap Lukman tajam. Jackson menarik Lukman menjauh dari sana membawanya ke toilet.
“Gila kali ya tuh bocah!” gerutu Tiger. “Pelan-pelan elah!” Niko yang sedang mengurut sikut sang kakak terheran.
“Apa sih, gue ngurutnya pelan gini kok.” Decak Niko menahan kesal.
“Mungkin masnya mau di pelangin lagi pak dokter.” Lontar Maya mencoba menengahi kedua kakak adik itu.
“Noh mbak Maya aja tau, lah situ dokter gak peka banget.”
“Ngeselin lo ya!?”
“ Bodoh amat.”
“Ck,” lebih baik mengalah pikir Niko. Tanpa sengaja melihat Tiger mencuri-curi pandang pada Esther. “Gue doa’in tuh mata jadi cereng ngelirik mulu.” Gumamnya.
Tuk!!
“Awh sakit pe’a!” Niko mengusap-ngusap keningnya mendelik tajam pada Tiger yang berani-beraninya mengetuk kening kesayangannya.
“Itu buat lo yang gak sopan sama abang lo sendiri.”
“Cih, beneran gue sumpahin baru.. “
“Permisi mas, saya ke sana dulu.” Maya berdiri tersenyum kikuk, tampan-tampan sih tapi pada gesrek pikir nya menjauh dari keduanya.
“Terimakasih mbak.” Ucap Niko.
“Sama-sama dokter.”
“Eh, gimana sama yang lantai atas?” tanya Tiger sedikit meringis ketika Niko mengikat sikutnya.
“Masih seperti itu, kita juga gak bisa ngapa-ngapain, apalagi tadi beberapa orang keluar.”
“Apa? Kok bisa!?”
“Ada pasangan mau jemput anaknya gak jauh dari sini, terus beberapa yang mau.. “
“Mereka keluar kenapa? Gak ada otak atau apa?”
“Ck, para mutan menjadi bingung begitu hujan turun.”
“K-kok bisa?”
Brak!!
“Lo gila ya!?”
“Ashh... “ Lukman meringis memegangi punggungnya setelah mendapat dorongan dari Jackson.
“Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Masih syukur yang lain gak denger, lo masih di sini. Bisa gak lo diam, itu aja yang kita minta biar gak ada yang lain.”
Lukman memandang Jackson dalam, “G-gue Cuma.. “
“Cuma apa?! Tadinya gue kira lo bakal berubah setelah permintaan maaf tadi itu tapi apa? Dasar gak guna emang lo.” Jackson pergi setelah mengatakan hal tersebut, meninggalkan Lukman terdiam merenungi semuanya dengan tangan mengepal kuat.
Tak mau melampiaskan kekesalannya, Lukman memasuki toilet sekedar untuk membasuh wajahnya supaya tak kusut. Selepas dia masuk, seseorang melewati toilet dengan menyeret seorang wanita entah dibawah kemana hanya orang itu yang tau.
Sementara Esther berada di tangga duduk menunduk memeluk senapan dengan tangan memegang peluruh. Shila di samping menatapnya dalam.
“Kak Es,”
“Hu’um?” Esther hanya berdehem tanpa menoleh.
“A-ayah baik-baik aja kan?”
Deg!!
Esther baru mengalihkan pandangan membalas tatapan sendu Shila.
“Shila berharap ayah baik-baik aja di luar sana.” Shila berucap lirih membuang muka melihat kedatangan sahabatnya. Ia pun mencoba berdiri, Jackson berlari kecil ke arahnya dan membantu Shila.
“Mau kemana?” tanya Jackson lembut, membawa Shila ke sofa lobi hotel. Keduanya duduk, Shila mencoba menenangkan hati agar tidak terlalu mengkhawatirkan sang ayah.
“Sini,tidur aja dulu tenangkan diri kamu. Aku tau kamu khawatir sama om, tapi aku yakin beliau baik-baik aja.”
“Semoga.” Bersandar di pundak Jackson, keduanya tak luput dari tatapan Esther.
“Mikirin apa?” Tiger datang lalu duduk di samping Esther. Gadis itu tak melepaskan pandangannya dari Shila dan Jackson.
“Bagaimana sikutnya?” Esther balik bertanya, kini ia menoleh menatap Tiger, dengan tatapan yang sulit di artikan.
Tiger jadi gugup di buatnya kalau seperti ini sih. “A-anu.. u-udah lebih baik kok. Iya udah lebih baik.” Menggaruk tengkuknya.
Esther mengangguk pelan kembali memainkan peluruh di tangan, Tiger melihatnya.
“Kita bisa mendapatkannya!” ucap Tiger masih menatap peluruh di tangan Esther.
“Maksudnya?”
“Nona liat ini,” memperlihatkan senapannya. “Pengangguran kayak saya dapat senapan kayak gini darimana coba? Yang ada kena sangsi pegang senjata api sembarangan.”
“Terus?”
“Terus pacaran yuk!”
Plak!!
“Awh!” Tiger memutar punggungnya. Bukan Esther yang menabok Tiger melainkan Niko adiknya.
“Lo apaan sih!” sewot Tiger mengusap punggungnya yang terasa pedas.
“Lo yang ngapain bego! Noh nengok ke samping coba.” Niko memalingkan wajah Juna agar tidak melihat sesuatu yang bisa di katakan bahaya.
Krek!!
Deg!!