10. Foto dan Fakta

2444 Words
“Aku mau sama Adi aja, Mas,” ujarku lirih, entah Mas Al dengar atau tidak. Aku tidak tahan kalau terus kena marah seperti ini, sedangkan aku tidak tahu salahku di mana. “Kamu mau membuatku terlihat semakin buruk di mata orang tuamu?” “Kenapa kok gitu?” “Ada aku, kenapa ikut Adi yang notabene orang asing?” “Ya gampang aja alasannya, naik motor ini susah. Motorku kan matic, bagian belakangnya datar. Naik motor ini bikin capek.” Aku menjawab jujur. Hening. “Capek raga capek hati juga.” Aku semakin jujur. Motor Mas Al berhenti di lampu merah ujung Jalan Parangtritis sebelum masuk ring road. Lampu merahnya baru menyala, itu artinya kami akan lama berhenti di sini. “Mbak Anna capek atau enggak?” tiba-tiba Adi sudah berhenti di sisi kananku. “Capek, Dek.” “Ikut aku aja, Mbak. Motor kaya punya Mas Aldika memang kurang bersahabat buat boncengan. Sekalipun mau pelukan juga tetap capek. Apalagi Mbak Anna enggak. Aku lihatnya agak ngeri. Kaya mau jatuh.” “Aku mau pindah ikut kamu aja—“ “Ya jangan pindah di sini juga.” Mas Al tiba-tiba menahan tanganku. “Habis ini aku berhenti di pinggir jalan. Cari tempat yang lebih aman.” Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tangan Mas Al sempat meremas tanganku sebelum melepasnya lagi. Itu terlalu mendadak dan cepat, jadi aku tidak yakin. “Ya udah.” Setelah keluar dari lampu merah dan ring road, Mas Al menepikan motornya. Tanpa kuduga, dia ikut turun dan membantuku. Karena kaki kiriku yang sakit, aku harus pegangan padanya. Mau turun lewat kanan, itu berbahaya. Bahkan hanya sentuhan kulit yang tak seberapa, tetapi debar ini benar-benar keluar dari ritmenya. Aku segera melepaskan diri setelah Adi juga ikut membantuku. “Tahu gini dari tadi aku ikut kamu, Dek.” Suaraku tanpa sadar bergetar. “Iya, Mbak. Kenapa enggak kepikiran, ya?” “Padahal aku bisa juga kasih tunjuk jalannya.” “Ya udah, Mbak. Enggak papa. Ayo naik.” Mas Al diam saja, menungguku naik motor dengan benar. Menaiki motorku tak sesulit menaiki motornya, jadi aku tidak butuh dibantu. Setelah aku duduk dan motor menyala, dia baru kembali menaiki motornya. “Mas Al pulang aja enggak papa—“ “Kamu kayaknya memang seingin itu membuatku terlihat semakin buruk di mata kedua orang tuamu, ya? Mamamu tahu kalau kamu bersamaku.” “Ya udah kalau mau tetap ikut. Barusan cuma saran.” Kali ini Adi jalan lebih dulu karena aku bisa jadi penunjuk jalan pulang. Mas Al mengekor di belakang. Aku hanya menengoknya sekali, lalu tidak pernah lagi. Toh dia hafal betul jalan menuju rumah orang tuaku. Setidaknya butuh dua puluh menitan sampai akhirnya Adi membelokkan motorku menuju jalan depan rumah. Mas Al menyalip kami dan dia sampai lebih dulu. “Yang gerbang item itu, Mbak?” “Iya, Dek.” Kali ini aku bisa turun sendiri. Meski harus menahan nyeri, turun dari motorku juga tak sesulit turun dari motor Mas Al. Motor Mas Al itu memang egois, hanya enak digunakan sendiri. Mas Al terlihat memencet bel. Setidaknya butuh setengah menit sampai aku melihat Mama berlari tergopoh keluar. Berselang beberapa saat, Papa datang menyusul. “Al! Kamu, itu?” Mama memanggil Mas Al antusias. “Iya, Tante,” Mas Al langsung menyalami Mama begitu beliau keluar gerbang. “Ya ampun! Kamu kenapa enggak pernah datang jenguk Tante lagi?” “Maaf, Tante, kemarin-kemarin agak sibuk. Tante Umi sehat?” “Sehat, sehat.” Berikutnya, Mas Al tersenyum pada Ayah dan mereka berjabat tangan. Tidak sehangat Mama, Ayah hanya tersenyum seadanya. Jangan salah paham, gaya Ayah memang begitu dari dulu. “Lho, ini siapa?” tanya Mama sambil menunjuk Adi. “Aku keseleo, Ma. Makanya enggak bisa pulang bawa motor. Jadi dibawain Adi. Adi ini anak dari pemilik salah satu warung di Parangtritis.” “He?” “Nanti aja kujelasin. Aku pengen masuk. Kakiku sakit.” Melihatku meringis, Ayah langsung menghampiriku. “Keselonya parah, An?” “Lumayan, Yah.” Aku menoleh ke arah Adi. “Dek, ayo ikut masuk.” “Aku langsung pulang aja, Mbak. Kasian Ibu sama Bapak kalau aku kelamaan pulang.” “Beneran, apa? Enggak ngeteh dulu?” Adi menggeleng. “Enggak usah, Mbak. Makasih.” “Aku yang makasih. Bentar, ya, aku pesenin ojol.” Aku tertatih ke kiri agar bisa duduk di trotoar. Aku masih tidak kuat kalau harus berdiri terlalu lama. Ayah mendekat. “Kamu kasih uang terimakasih, kan?” “Pasti, Yah. Seratus ribu pantes enggak?” “Pantes, tapi kasih dua ratus. Biar buat jajan.” Aku mengangguk. “Oke.” Hanya berselang lima menitan, ojol yang kupesan sudah datang. Aku memasang titik di pintu masuk Parangtritis. “Itu, Dek. Ojolnya.” Aku menunjuk bapak-bapak yang sedang mendekat. Aku mengeluarkan uang dua ratus ribu lalu menyerahkannya pada Adi. “Ini buat kamu. Makasih banyak, ya.” “Wah, ini banyak banget, Mbak. Satu aja lebih dari cukup.” “Udah, terima aja. Buat jajan.” Adi tersenyum lebar. “Makasih banyak, Mbak Anna.” “Iya, sama-sama.” Sebelum pulang, Mas Al mengembalikan KTP milik Bu Wati. Dia tampak bicara pada Adi selama beberapa saat, entah apa yang mereka bicarakan. “Saya pulang dulu, Mbak Anna, Mas Aldika, Pak, Bu ...” Adi mengangguk pada kami berempat. “Hati-hati, Dek.” “Makasih, ya, Nak Adi.” “Sama-sama.” Setelah Adi pergi, Mama langsung menyuruh Mas Al masuk. Sementara itu, Ayah kini jongkok di depanku. “Mau apa, Yah?” “Naik, cepet.” “Enggak mau!” aku menggeleng keras. “Aku bisa jalan sendiri.” Aku mendadak ingat apa yang Ayah lakukan sama dengan yang Mas Al lakukan tadi. Tadi aku tidak ada waktu untuk menolak karena posisi sedang hujan deras. Sekarang kalau dipikir lagi, itu agak memalukan. “Aku bisa jalan, kok, Yah. Cuma pelan aja.” “Cepet, Anna.” “Enggak mau, Yah—“ “An, kamu itu jangan ngeyel. Nanti keseleomu tambah parah. Tinggal ikut aja, kok.” Mama berkomentar. Akhirnya aku menunduk, lalu naik di punggung Ayah. Aku bisa melihat kalau Mas Al tersenyum. Itu senyum yang agak meledek. Memangnya lucu? Ayah akhirnya menggendongku masuk rumah. Kebetulan rumahku halamannya agak luas dan untuk masuk rumah harus menaiki beberapa tangga. “Ayah tiba-tiba kangen masa kecilmu, An. Kapan terakhir kali kamu digendong kaya gini?” tanya Ayah tepat setelah kami berempat masuk gerbang. Baru tadi, Yah. Tadi aku digendong begini sama Mas Al. “Lupa. Udah lama.” Aku menjawab pelan, tetapi aku yakin Mas Al dan Mama pasti mendengarnya. “Lagian kamu itu lagi apa kok bisa sampai keseleo gitu?” tanya Mama. “Lagi lari ngehindar dari hujan, Ma.” “Makanya lain kali hati-hati. Kaya anak kecil aja pakai keseleo.” “Ya ampun, Ma. Nenek-nenek juga bisa keseleo. Keseleo enggak pandang umur.” Mama tertawa pelan. “Iya, iya. Kamu jangan bikin Mama pengen cepet-cepet jadi nenek.” “Ma, please deh ...” Setelah tiba di ruang tamu, Ayah mendudukkanku di sofa. Mama mempersilahkan Mas Al duduk sementara beliau langsung ke dapur. Suasana mendadak canggung. Pasalnya, Ayah tahu betul kalau aku dan Mas Al putus dengan cara kurang baik. Memang beliau tidak tahu pasti detailnya, tetapi aku pernah cerita garis besarnya. Saat itu aku bilang ke Ayah kalau aku minta putus sama Mas Al secara sepihak. “Kakimu lurusin, biar Ayah urut.” Aku langsung patuh sekalipun tidak yakin Ayah bisa mengurut atau tidak. Dari dulu aku sudah biasa mengandalkan Ayah, dan sejauh ini Ayah hampir tidak pernah mengecewakan. Sejak aku remaja, diam-diam aku selalu berdoa semoga suamiku nanti 11 12 dengan Ayah. Ya perhatiannya, pedulinya, juga yang lainnya. Kasih sayang Ayah selalu totalitas. Entah untuk Ibu, Mama, ataupun aku dan Kak Vita. “Orang tua sehat, Al?” Mama datang membawa teh hangat. “Sehat, Tante.” “Syukurlah—“ “Argh! Ayah!” aku berteriak karena tiba-tiba Ayah menarik kakiku cukup kuat. “Tahan dikit lagi.” Ayah memutar kakiku pelan, lalu menarik lagi tak kalah kuat. Aku kembali menjerit, tetapi kali ini aku meredam suaraku dengan tangan. “Coba gerakin.” Aku menggerakkan kakiku pelan, dan ajaib sekali, rasa nyeri itu hampir tak terasa. “Yah ...” “Udah enggak sakit, kan?” “Tinggal dikit. Dikit banget. Wah ...” aku tersenyum lebar. “Enggak perlu ke tukang urut kalau gini.” “Karena tadi kehujanan, habis ini mandi keramas. Lalu ganti baju—“ kalimat Ayah tiba-tiba berhenti. Beliau menoleh ke arah Mas Al. “Baju kalian sama, ya?” “Baju kami tadi basah kuyup, Om. Jadi beli sembarang baju di sana buat ganti sementara.” Mas Al menjawab cepat. “Oh ....” Ayah tersenyum. Tak berselang lama, Mas Al akhirnya pamit pulang setelah mendapat telepon. Aku rasa itu dari Mbak Kiran karena sayup-sayup aku mendengar kata rumah sakit. Selama di rumahku, Mas Al tidak banyak bicara. Dia hanya berbasa-basi, terutama ke Mama. Aku bersyukur karena kedua orang tuaku terlihat menyambut Mas Al dengan baik, juga tidak menyinggung tentang masa lalu kami sama sekali. Bahkan nyerempet saja tidak. Aku harap, dengan sikap kedua orang tuaku yang masih sama seperti dulu, Mas Al bisa sedikit memaafkanku. Aku hanya berani berharap sampai itu saja, tidak lebih. *** Selesai mandi keramas, aku turun ke dapur untuk mengambil minum. Ternyata Ayah dan Mama masih di ruang tengah menonton TV. Mereka kompak menoleh begitu melihatku menuruni tangga. “Habis ambil air, jangan naik dulu, An,” ucap Ayah yang langsung kuangguki. “Iya, Yah.” Ayah tahu aku akan ambil minum karena aku turun membawa botol tupperware berukuran besar yang memang selalu ada di nakas kamar. Setelah dari dapur, aku segera bergabung dengan beliau. “Kenapa, Yah?” “Gimana, kakimu? Kambuh lagi atau enggak?” Aku menggeleng. “Enggak. Paling dikit, tapi aman.” “Baguslah.” Hening sejenak. Ayah dan Mama malah saling tatap satu sama lain. “Kenapa, Yah, Ma?” “Kamu sama Al beneran udah selesai, to, An?” tanya Mama dengan nada yang sudah sangat kuhafal. Nada beliau itu terdengar seperti penuh harap. Inilah yang sangat kutakutkan kalau mereka—terutama Mama— tahu aku dan Mas Al terlihat bersama lagi, sekalipun itu hanya interaksi biasa. Sudah kubilang sebelumnya, kedua orang tuaku kecewa waktu pertama kali tahu kami putus. “Udah, Ma.” Aku menjawab pelan. “Kok kayaknya tadi Al kelihatan santai aja di rumah kita. Ya ada canggung dikit, tapi masih amanlah.” “Ya kan dia kenal Ayah sama Mama sebelum kenal aku secara langsung.” “Apa kalian beneran enggak bisa bersama lagi? Mama itu kok ya kalau lihat Al udah berasa anak sendiri. Pasti senang sekali punya mantu cah bagus satu itu.” “Cah bagus yang lain masih banyak, kok, Ma.” Aku nyengir, mencoba bercanda. “Ya mana? Sini, bawa ke Papa sama Mama. Jangan cuma bilang banyak aja, tapi enggak ada wujudnya.” “Semoga segera, ya, Ma.” Mama terlihat menghela napas panjang, itu artinya beliau tidak begitu suka dengan jawabanku. Tebakanku tidak mungkin meleset, yang beliau harapkan saat ini hanyalah aku dan Mas Al kembali. “Mas Al udah punya calon, Ma. Beneran, deh. Cantik, mana dokter.” Aku bersuara lagi setelah beberapa saat lamanya suasana di ruang tengah terasa hening. Volume TV entah sejak kapan juga terdengar mengecil. “Masa?” “Katanya iya.” “Dulu kenapa bisa putus, An?” itu suara Ayah. “Lho? Kan aku udah pernah bilang, Yah. Aku mau fokus S2, jadi enggak mau pacaran dulu. Intinya sama-sama sibuk, soalnya saat itu Mas Al juga belum lama keterima ngajar.” “Masih ngajar di sana, dia?” Aku menggeleng. “Udah beda univ kayaknya. Yang lebih besar dan bergengsi daripada yang dulu.” Aku belum berani jujur kalau kami sekarang adalah rekan kerja satu univ, bahkan satu fakultas dan satu jurusan. Aku benar-benar takut kalau harapan Ayah dan Mama akan lebih besar lagi. “Sudah ganteng, anaknya baik, sopan, keturunan orang baik-baik juga. Pak Adimas itu kan terkenal dermawan, ya, Mas?” Mama menoleh ke arah Ayah. “Iya.” Ayah mengangguk. “Tapi di sisi lain Ayah sempat mikir apa enggak minder kalau besanan sama Pak Adimas? Cuma karena kamu anak Ayah satu-satunya, daripada minder, Ayah pasti sangat tenang kalau kamu punya suami macam Al dan mertua macam Pak Adimas dan Bu Shila. Itu kalau kalian berjodoh. Misal enggak, ya sudah enggak papa. Ayah pasrah saja karena jodoh itu di tangan Tuhan.” “Ayah enggak perlu mikir itu lagi.” Aku meringis. “Nanti aku cari pengganti yang enggak kalah baik dari Mas Al.” “Iya, aamiin. Yang jelas, Ayah harus kenal betul sama calon suamimu nanti. Ya dianya, ya seluk beluk keluarganya.” “Iya, Yah.” “Ya udah, sana kalau mau naik lagi. Maafin Ayah sama Mama yang tiba-tiba bahas masa lalu.” Aku menggeleng pelan. “Enggak papa, Yah.” Akhirnya aku naik lagi ke kamar. Sesampainya di sana, aku menghempaskan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, susah sekali dideskripsikan. Rasanya terlalu munafik kalau aku bilang tidak berharap lebih pada Mas Al yang baik padaku sore tadi. Hati kecilku bahkan berharap Mbak Kiran dan Mas Al hanya berteman. Namun, semakin aku berharap, peluiang aku kecewa juga akan semakin besar. Itulah kenapa aku harus menekan perasaanku sekuat mungkin. Tiba-tiba, ponselku bergetar berkali-kali. Aku meraihnya. Ternyata Bu Nur mengirimi banyak foto padaku. Bu Nur [5 foto] Ini Pak Al sama calonnya, ya, Bu? Maaf kalau saya malah ngirim ke Bu Anna. Hehe ... Aku membuka foto itu satu persatu. Seketika, Rasa sesak datang tak terbantahkan. Dugaanku tadi sepertinya benar. Telepon yang membuat Mas Al segera pamit adalah dari Mbak Kiran. Lima foto itu menujukkan Mas Al dan Mbak Kiran yang sedang duduk di sebuah cafe. Mas Al masih mengenakan kaos hitam ‘Jogja’ yang tadi sore. Foto mereka diambil dari berbagai sisi. Jujur, ada satu foto yang membuat hatiku benar-benar seperti retak. Itu adalah ketika Mas Al tersenyum lebar sementara Mbak Kiran akan menyuapinya sate. Mbak Kiran sepertinya sedang istirahat karena aku melihat ada jas putih di atas meja. Akhirnya, segera kubalas pesan Bu Nur. ‘Jangan ambil foto orang diam-diam, Bu. Bisa jadi pelanggaran, lho. Hehe.’ Di detik yang sama, Bu Nur langsung membaca dan membalas. Bu Nur Saya cuma kaget, Bu. Makanya saya foto. Maaf, ya. Habis ini saya hapus lagi. Aku tidak langsung membalas karena aku melihat foto-foto itu lagi sebelum dihapus. Dari sudut mana pun, Mas Al dan Mbak Kiran memang terlihat seperti sejoli yang sedang kasmaran. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “An, sadarlah. Dia yang kau campakkan sudah bahagia dengan yang lain ....” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD