9. Rasa yang Rancu

2324 Words
Mas Al akhirnya kembali. Dia datang membawa dua kresek hitam entah berisi apa. Wajahnya benar-benar tak bersahabat. Dia terlihat seperti orang yang siap marah-marah. Aku masih duduk menggigil di bangku kayu yang letaknya di emper warung. Kakiku masih terasa sakit jika digerakkan. Tadi aku sudah mencoba berdiri, tetapi baru sebentar langsung duduk lagi. Aku hanya diam dan menunduk ketika Mas Al berhenti di depanku. Mungkin ada lima detik, dia hanya berdiri tanpa mengatakan sepatah kata pun. “Ganti baju dulu.” Dia mengulurkan salah satu kresek padaku. “Bajumu basah kuyup.” Aku mendongak. “Enggak perlu. Enggak terlalu basah, kok—“ “Jadi kamu mau badanmu dipertontonkan, begitu?” Aku reflek menunduk, dan aku baru sadar kalau baju cream-ku sudah tembus pandang. Aku langsung merebut kresek yang dibawa Mas Al, lalu berdiri. “Makasih.” Tidak ada balasan. Mas Al malah pergi lagi, entah ke mana. Aku berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi untuk ganti baju. Sebetulnya aku mengenakan tank top hitam sebagai dalaman. Namun tetap saja, pemandangan bajuku yang tembus pandang sangat berbahaya untuk laki-laki mata keranjang. Mas Al ternyata membelikanku kaos ‘Jogja’ warna hitam yang cukup tebal. Lengannya panjang dan ukurannya oversize. Ini bagus, benar-benar lebih dari cukup. ‘Berjanjilah untuk tidak melibatkan perasaan dalam setiap interaksi kita. Sekecil apa pun itu.’ Tiba-tiba, aku teringat kata-kata Mas Al siang itu. Baiklah, aku tidak boleh melibatkan perasaan. Mas Al menolongku karena aku adik Kak Vita. Iya, itulah alasannya. Begitu keluar kamar mandi, aku melihat Mas Al sudah kembali. Dia duduk di bangku kayu yang tadi kududuki. Ternyata dia juga ganti baju, dan aku cukup heran begitu sadar kalau kaos yang dia pakai juga kaos ‘Jogja’ warna hitam. Sama-sama oversize, bedanya hanya di lengan. Kaosku lengan panjang, sementara kaosnya lengan pendek. Tidak mungkin, kan, Mas Al sengaja beli baju couple? Kalaupun memang benar begitu, anggap saja karena dia butuh cepat dan tidak mau ribet cari yang lain. Ada banyak alasan sederhana yang bisa kuambil agar aku tidak berharap lebih pada kebaikannya kali ini. Hujan turun semakin lebat. Aku tidak punya pilihan lain selain ikut duduk di sebelahnya. Untung saja, warung ini tidak terlalu banyak orang. Jadi, kondisinya tidak sampai berdesak-desakan seperti beberapa warung yang tadi kami lewati. “Enggak mau pesan yang anget-anget, Mas, Mbak?” seorang Ibu-ibu datang menawari. Sepertinya beliau adalah pemilik warung ini. “Ada kopi, s**u, teh, atau wedang jahe kalau mau. Makanannya ada nasi rames, soto, atau mie instan juga bisa.” Sebetulnya itu adalah ide yang bagus karena aku lapar. Tadi siang aku menolak ketika hendak ditraktir Bu Nur. Selain masih kenyang, aku juga tidak sabar menjelaskan tentang kejadian di butik. “Mau makan atau enggak?” tanya Mas Al dengan nada rendah, tetapi kurang enak didengar. “Mau. Mau soto sama teh anget.” Mas Al mengangguk pada Ibu tadi. “Boleh, Bu. Soto dua, teh hangatnya dua. Yang satu sotonya enggak pakai seledri.” Darahku mendadak berdesir. Bahkan Mas Al masih ingat kalau aku tidak bisa makan seledri. Dulu, dia pernah meledekku karena tidak bisa makan seledri. Katanya, seledri itu bikin makanan jadi enak dan harum. Sebetulnya aku setuju dengan itu karena selagi tidak ada wujudnya, aku masih agak toleran. Namun ketika potongan seledri masuk mulut—sekalipun itu tidak sengaja dan tidak sadar, aku pasti akan muntah. Mas Al pernah sekali melihatku muntah-muntah hanya karena potongan seledri yang sangat kecil. Saat itu aku tidak tahu kalau jajan yang sedang kumakan ada seledrinya. Sejak saat itu, Mas Al selalu berhati-hati ketika memesankan makanan untukku. Apa pun makanan yang umumnya ada seledri, dia pasti akan memesankan khusus tanpa seledri. “Oke, Mas. Silakan duduk di sana. Di sini nanti susah makannya. Kena angin juga.” “Iya, Bu.” Mas Al pindah lebih dulu, lalu aku menyusul pelan-pelan. Kakiku masih sangat nyeri ketika digerakkan. “Sesakit itu?” tanyanya ketika aku sudah duduk di sebelahnya. “Kalau enggak, aku enggak akan sampai begini.” “Dibawa ke tukang urut secepatnya.” “Iya ...” Pesanan kami tak lama langsung datang. Mas Al menukar mangkuk kami karena Ibu pemilik warung asal mengantar, tidak tahu milik siapa yang tidak ada seledrinya. Kali ini kami makan dalam diam. Benar-benar tidak ngobrol sedikit pun. Aku benci suasana hening begini, tetapi apa boleh buat. Sotoku baru habis separuh ketika tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata Mama menelepon. Mas Al menoleh. “Dari Mama,” kataku sembari menunjukkan layar ponsel. Jujur, ini gerak reflek karena dulu sering begini. “Angkat saja.” Aku mengangguk. “Oke.” “Hallo, Ma?” aku menyapa pelan, takut mengganggu pelanggan yang lain. “Hallo, An? Di mana, kamu? Kok jam segini belum pulang? Enggak kejebak ujan, kan?” Seperti inilah Mama. Beliau selalu khawatir tiap kali aku pulang kesorean. Terlebih ketika sebelumnya aku tidak mengabari akan pulang telat. “Aku lagi di Parangtritis, Ma.” “Lho? Ngapain ke sana? Sendiri? Atau sama siapa?” “Aku sendiri.” Mas Al melirikku. “Tadinya datang sendiri, kalau sekarang udah enggak.” Aku buru-buru meralat. “Gimana, maksudnya? Dapat kenalan orang baru atau gimana? Atau malah ketemu teman?” Aku diam selama beberapa saat, bingung apakah harus jujur atau tidak. Baik jujur atau bohong, alasan keduanya cukup kuat. “Ehm!” Mas Al tiba-tiba berdehem keras. Dia terlihat sengaja melakukan itu. “Kok suara cowok? Kamu lagi sama cowok, An?” Aku melirik Mas Al lagi, dan dia masih santai melanjutkan makan sotonya yang hampir habis. Ekspresinya kini sudah melunak, tidak lagi terlihat seperti orang hendak marah-marah. Dia terlihat lebih santai. “Lagi sama Mas Al, Ma.” “He? Kamu lagi sama Al? Mana, Al? Sini, Mama mau ngomong sama dia!” Aku memejamkan mata, mendadak menyesal sudah jujur. Harusnya aku bohong saja kalau begini. Sudah pasti, urusan setelah ini tidak akan selesai begitu saja. Paling tidak, besok-besok aku harus siap kalau Mama mulai bertanya kembali tentang Mas Al. “Mas, Mama mau ngomong.” Mas Al menerima ponselku, lalu menempelkan benda itu di telinganya. Aku benar-benar pasrah dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Jujur, rasanya serba salah. Di satu sisi aku ingin bohong agar tidak panjang urusan. Namun, di sisi lain aku ingat kalimat Mas Al tadi ketika di pantai. Rasa bersalahku mendadak mengakar ketika dia membahas tentang hubungannya dengan kedua orang tuaku. Tanpa kusadari, tindakanku dulu menjauhkan mereka. “Sehat, Tante. Tante Umi gimana? Ah, alhamdulillah kalau begitu. Bukan, Tante. Iya, di sini hujan, tapi kami ada di warung. Iya, Tante. Aman. Enggak, enggak papa. Kapan-kapan diusahakan main. Iya, Tante. Saya minta maaf. Enggak, enggak. ....” Mas Al bicara dengan Mama cukup lama. Aku melihat tidak ada kecanggungan di sana. Lagi-lagi, aku merasa sangat bersalah ketika ingat kata-katanya tadi. Aku memang keterlaluan. Dulu tak seharusnya aku terlalu menghindar. Mas Al datang ke rumahku tak melulu karena aku. Namun, aku yang terus menghindar membuatnya terlihat buruk. Itu pasti, karena seolah-olah dia punya salah yang begitu besar sampai aku tidak sudi menemuinya. “Ini.” Mas Al mengembalikan ponselku. Panggilan dari Mama sudah usai. “Cepat habiskan sotomu, setelah ini langsung pulang.” Aku menatap luar. “Masih hujan. Agak deras pula.” “Terus mau tetap di sini?” ekspresi Mas Al kini sudah kembali seperti tadi. Dia yang begitu membuatku agak takut. “Jawab, Anna.” Aku menggeleng. “Kamu naik apa ke sini?” “Motor.” “Ada jas hujan?” Aku mengangguk. “Ada.” “Jas hujannya dimanfaatkan. Kalau menunggu hujan benar-benar reda, kamu bisa bermalam di sini.” “Iya, sih.” “Ya sudah. Yang penting sekarang habiskan dulu makananmu.” Aku kembali mengangguk. “Ya.” *** “Bisa atau enggak?” tanya Mas Al ketika aku kesusahan menyangga motor. Sejak tadi entah kenapa wajahnya belum juga ramah. Rasa-rasanya, aku nafas saja salah di matanya. “Bisa, kok—eeeh!” Brak! Motorku ambruk, tetapi aku tidak. Mas Al lebih dulu berhasil menahan badanku. “Ngeyelan kamu ini!” “Kenapa sih, dari tadi marah-marah terus?” akhirnya aku tidak bisa kalau hanya pasrah saja diperlakukan seperti itu. “Kan ngomongnya bisa baik-baik. Telingaku masih normal. Aku bisa dengar jelas tanpa harus ninggiin suara.” “Soalnya kamu ngeyel.” “Ya orang aku enggak mau ngrepotin!” Mas Al menghela napas pelan, lalu membantuku kembali duduk di bangku kayu. Setelah itu, dia mengangkat motorku agar kembali tegak. “Tunggu sini.” Mas Al masuk ke warung, entah mau apa. Ah, ternyata dia mengajak bicara Ibu pemilik warung. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tetapi itu terlihat serius. Mood-ku sekarang agak buruk karena dari tadi kena marah Mas Al terus. Sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit salah. Seingatku, Mas Al itu tidak mudah marah. Kalaupun harus marah, paling dia hanya diam. Saat kami bersama dulu, dua kali aku membuatnya marah yang benar-benar marah. Itu pun, dia masih bisa bicara baik padaku. Kenapa sekarang dia begini? Padahal dari tadi aku banyak diamnya. Apa yang sebenarnya membuat dia jadi seperti itu? Oh iya, kebetulan Mas Al juga bawa motor. Sepertinya itu motor baru, atau paling tidak dia beli setelah kami putus karena aku baru melihatnya hari ini. “Kamu ikut aku pulangnya,” ujarnya begitu berdiri di depanku. “Terus motorku gimana, Mas?” “Biar diantar anaknya Bu Wati.” Mas Al menunjuk remaja yang berdiri di sebelah Ibu pemilik warung. Aku menatap Mas Al, mengisyaratkan agar dia sedikit mendekat. “Mas yakin?” “Aku pegang KTP Bu wati sebagai jaminan. Anak beliau nanti kuberi upah.” “Lalu balik ke sininya?” “Aku pesankan ojek.” “Ah, iya.” Aku mengangguk. Itu ide yang bagus. “Karena yang diantar motorku, aku aja yang kasih upah. Nanti aku juga yang pesenin ojek.” “Ya. Terserah.” Akhirnya, anak Bu Wati— namanya Adi, mengambil alih motorku. Hujan sudah betul-betul reda, tetapi jalanan masih sangat basah. Memang sangat riskan kalau aku nekat naik motor sendiri dengan kondisi kaki keseleo begini. Bisa-bisa aku kecelakaan tunggal, atau lebih parahnya melibatkan pengendara lain yang kebetulan lewat. “Bisa naik atau enggak?” tanya Mas Al ketika aku hendak naik di jok belakang motornya. “Bisa.” “Jangan dipaksain.” “Orang bisa—aduh!” “Ck!” Mas Al berdecak pelan. “Hati-hati!” “Iyaaa, ih!” “Mas, jangan galak-galak gitu sama pacarnya.” Bu Wati berkomentar. “Eh, pacar atau malah udah suami istri? Tadi saya lihat Masnya gendong Mbaknya.” “Dia teman saya, Bu.” Mas Al membalas cepat. Teman, ya? Ya, memang kami hanya sebatas teman. “Oh, kirain. Maaf, kalau begitu. Saya kira kalian pasangan.” Bicara motor, motor Mas Al ini agak susah kalau untuk boncengan. Tahu, kan, tipe motor gede yang jok belakangnya lebih tinggi? Begitulah kira-kira. Aku susah mendeskripsikannya. “Helmnya dikaitin.” Mas Al mengingatkan. “Iya.” Akus segera mengaitkan helmku. “Udah.” “Naiknya dari kanan kalau kaki kirimu susah untuk pijakan.” “Ya.” “Hati-hati kena knalpot” “Iya.” Hanya naik motor saja, dramanya panjang sekali. Begitu aku berhasil naik, Adi langsung menaiki motorku. “Makasih, ya, Dek,” ucapku pada Adi. “Sama-sama, Mbak.” Aku tersenyum pada Bu Wati. “Terimakasih banyak, ya, Bu. Maaf, ini, saya malah ngerepotin.” “Santai saja, Mbak. Selagi saya bisa bantu, pasti tak bantu. Yang penting, nanti Adi dipesankan ojek buat pulang.” “Siap, Bu. Itu pasti.” Akhirnya, motor Mas Al mulai jalan. Demi menjaga jarak, aku berpegangan pada bagian belakang. Orang yang melihatku pasti akan menertawakan ini. Posisiku saat ini benar-benar aneh. Awalnya aku merasa baik-baik saja, sampai ketika aku seperti akan jatuh ketika Mas Al melewati tikungan tajam. Kalau peganganku tidak kuat, kemungkinan aku bisa terpental. “Mas, kalau aku pegangan sini boleh enggak, ya?” kuberanikan diri bertanya sembari mengetuk kedua sisi kaosnya. “Soalnya pegangan belakang kaya mau jatuh.” “Hm.” “Boleh enggak?” “Ya.” Kedua tanganku perlahan memegang kedua sisi pinggangnya. Aku merasakan Mas Al seperti berjengit kaget. Dia memang orangnya agak gelian, makanya aku izin dulu agar dia siap-siap. “Aku mau ngebut.” “Iya.” Mas Al kini menambah kecepatan. Kondisi jalan sangat sepi, jadi tidak ada alasan untuk jalan lambat. Sesekali aku menoleh belakang, memastikan Adi masih mengekor di balakang kami. Dari belakang begini, aku bisa merasakan wangi khas Mas Al menusuk indra penciumanku. Aku mendadak ingat masa-masa kami masih bersama dulu. Kalau tidak salah ingat, tiga kali Mas Al mengantarku berangkat ke Semarang naik motor. Selebihnya naik mobil. Saat itu, aku merasa bahagia sekali karena kami terus ngobrol sepanjang perjalanan. Kalau lelah, kami akan istirahat sejenak di sembarang warung pinggir jalan. Sedangkan kali ini, sepanjang jalan yang kudengar hanyalah bunyi kendaraan. Tidak ada obrolan yang berulang khas orang naik motor. Suara kami kali ini bukan teredam kebisingan, melainkan ditelan kecanggungan. Aku tersenyum getir. “Jangan tidur.” Terdengar suara Mas Al dari depan. “Enggak.” “Adi masih di belakang?” Aku menoleh sejenak. “Iya, masih.” Hening lagi. “Mas ...” “Hm?” “Mbak Kiran marah enggak, ya, ini?” mendadak aku ingat Mbak Kiran. Apa dia baik-baik saja kalau tahu calon suaminya mengantar pulang perempuan lain? “Kenapa marah? Dia tidak kekanakan sampai harus marah hanya karena aku menolong teman. Dia cukup pengertian dalam banyak hal. Dia jauh dari kata egois.” Sungguh sindiran yang dahsyat! Bahkan di saat posisi raga kami sedekat ini, nyatanya posisi hati kami justru sebaliknya. Aku harus selalu ingat, bahwa Mas Al sudah jadi milik orang lain. “Semoga sampai ke pelaminan, ya, Mas. Aku bantu doa—“ Ciiiit! Mas Al mengerem mendadak, membuat badanku refleks terdorong ke depan. Ini termasuk tanganku yang juga refleks melingkar kuat di bagian bawah dadanya. Inginku protes karena tindakannya yang membahayakan, tetapi aku malah salah fokus pada detak jantungnya yang terasa begitu cepat. “M-mas—“ “Singkirkan tanganmu, dan jaga bicaramu!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD