11. Gempa Hati

2343 Words
“Bu Anna, Bu Anna!” Seseorang memanggilku, dan ternyata dia adalah Bu Santi. Dia sedang berjalan cepat ke arahku, sepertinya baru saja datang. Terlihat dari tangan kirinya yang masih memegang kunci mobil. “Ada apa, Bu?” “Udah cek grup atau belum?” tanyanya begitu kami sudah berdiri bersebelahan. Napas Bu Santi agak ngos-ngosan, dia sampai harus menunduk sejenak untuk menetralkan napas. “Habis lari, kah, Bu? Kok napasnya ngos-ngosan?” tanyaku kemudian. “Enggak. Sebenarnya saya lagi enggak enak badan, jadi jalan cepet dikit langsung ngos-ngosan.” “Ah ... harusnya istirahat di rumah aja, Bu.” “Enggak bisa, hari ini saya ada janji sama mahasiswa. Kasihan kalau batal.” Aku mengangguk. “Oh, iya-iya. Tadi gimana, Bu?” “Itu, Bu Anna udah cek grup atau belum?” “Belum. Memangnya kenapa?” “Pantesan belum nimbrung. Cepet, Bu, buka. Selamat, ya!” Mataku menyipit, bingung. “Kok selamat?” “Coba buka dulu grupnya. Biar Bu Anna tahu.” Bu Santi tersenyum lebar. Akhirnya, aku dan Bu Santi duduk di salah satu kursi panjang yang ada di lab. Ngomong-ngomong, aku baru saja dari lantai tiga memberi arahan pada mahasiswa yang hendak ujian praktikum. Aku tidak berjaga karena itu tugas para asdos. “Selamat, ya, Bu. Sama Pak Al juga.” Aku masih bingung karena belum paham konteks kalimat Bu Santi. Kenapa selamat untukku, tetapi harus bawa-bawa Mas Al? Sebelum membuka grup, lebih dulu aku membuka chat dari Pak Fadli. Sepertinya chat dari beliau jauh lebih penting. Kemungkinan besar juga, chat beliau ada kaitannya dengan grup yang mendadak ramai. Aku lihat ada kisaran enam puluhan chat yang belum terbaca. “Lho?” Mataku seketika melebar kaget, sampai-sampai tanganku pun refleks menutup mulut. Aku menoleh ke arah Bu Santi. “Bu, ini—“ “Keren kalian. Emang enggak salah jurusan pilih dosen muda buat delegasi workshop kemarin.” “Wah, saya sama sekali enggak nyangka bakal dikasih peringkat kaya gini.” Aku membaca lagi dan lagi chat yang dikirim Pak Fadli. “Saya sama Pak Al enggak tahu lho, Bu, kalau karya tulis after workshop kemarin itu dikasih nilai, bahkan diperingkat begini.” “Karena ternyata workshop kemarin itu termasuk dalam salah satu proyek BRIN. BRIN bekerja sama dengan universitas sebelah. Gitu, kalau enggak salah. Ada yang nyinggung tentang kementrian juga, tapi ini saya enggak paham. Takut miss-kom. Yang jelas Pak Fadli bilang dari awal infonya kurang lengkap.” “Bener tahu, Bu, infonya itu datang dikit-dikit.” “Makanya, kan? Pak Fadli juga agak gimana gitu karena info dari sananya nyicil. Tapi ya terlepas dari itu, pokoknya selamat. Pak Al dan Bu Anna keren!” Bu Santi menepuk pelan pundakku. Aku tersenyum. “Terima kasih banyak, Bu Santi.” “Sama-sama. Jangan lupa balas chat grup. Nanti dikira sombong sama yang lain.” “Siap!” Bu Santi akhirnya pamit naik, sementara aku segera kembali ke ruang dosen di fakultas. Sesampainya di sana, aku segera membalas seluruh chat yang masuk. Termasuk itu dari Mas Al. Bicara Mas Al, sejak malam itu dia pulang dari rumah, esok harinya dia kembali bersikap seperti Pak Al. Bahasa kami kembali formal, juga obrolan kami sangat minim. Kami bicara hanya jika ada bahasan yang penting saja. Aku masih sibuk membalas chat ketika tiba-tiba aku merasa ada yang mendekat. Begitu mendongak, ternyata Mas Al datang. Dia menarik salah satu kursi, lalu duduk di sebelahku. “Ada apa, Pak Al?” tanyaku pelan. Ngomong-ngomong, ruang dosen sedang kosong. Benar-benar hanya ada kami berdua di ruangan ini. “Saya tidak pernah berekspektasi kalau karya tulis kita akan diberi peringkat seperti itu.” “Saya apalagi. Kenapa, ya, mereka sampai sejauh itu? Maksud saya, workshop kemarin itu kelihatannya biasa-biasa aja. Memang, sih, materinya menarik. Cuma kan ini jatuhnya kaya lomba karena dikasih peringkat segala.” “Pak Fadli belum kasih tahu?” Kali ini aku menoleh. “Kasih tahu apa? Kalau info peringkat, udah.” “Bukan. Bukan itu.” “Lalu?” “Katanya, backing-an workshop kemarin itu enggak main-main. Ada BRIN sama kementrian. Saya juga kurang tahu detailnya gimana sampai univ sebelah punya link sejauh itu. Tapi yang jelas Pak Fadli bilang salah satu tujuan workshop kemarin memang untuk menambah bahan penelitian untuk mahasiswa, terutama konsentrasi analaisis. Bu Anna pasti tahu, literatur tentang analisis di Indonesia masih sangat terbatas. Menariknya, satu-satunya delegasi yang kurang info hanya kita. Saya lihat judul-judul dari delegasi univ lain semua ada kaitannya dengan analisis. Bayangkan kalau waktu itu kita condong ke terapan, sepertinya hanya kita satu-satunya yang berbeda.” “Pantesan Bu Santi bilang Pak Fadli agak gimana gitu karena dapat infonya nyicil.” Mas Al mengangguk. “Iya, Pak Fadli agak marah karena univ sebelah enggak lengkap kasih info ke kita.” “Andai tahu akan begini, pasti saya enggak dipilih.” Aku meringis. “Pasti yang dipilih dosen lain yang konsentrasi analisis. Saya sudah terapan, masih baru pula.” Mas Al manggut-manggut. “Mungkin iya. Tapi kalau bukan Bu Anna yang dipilih, belum tentu perwakilan univ kita jadi nomor satu.” Mendengar itu, senyumku seketika mengembang lebar. “Terimakasih banyak, Pak Al. Saya anggap itu pujian.” Mas Al tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Ehm!” aku berjengit kaget ketika mendengar deheman yang cukup keras. Ternyata Bu Nur. Dia datang membawa banyak kertas di tangannya. Sepertinya dia baru saja dari kelas. “Ngagetin aja, Bu.” “Maaf, tenggorokan saya gatel, Bu An.” Aku tahu, itu hanya alibi. Tatapan Bu Nur padaku kini penuh maksud. Jujur, aku heran dengan Bu Nur. Dia sudah tahu kalau Mas Al punya calon, tetapi dia terlihat mendukung aku dan Mas Al kembali. Dia selalu mengeluarkan kata-kata ajaibnya tentang ‘selagi janur kuning belum melengkung’ tiap kali aku bilang kami sudah selesai. “Mau saya beliin adem sari, Bu?” “Beliin tiket bulan madu aja, Bu An. Ke Bali enggak papa, yang deket.” Aku mencibir pelan. “Yang mau nikah pamer mulu dari kemarin.” “Makanya nyusul, Bu. Biar bisa ikutan pamer.” Aku tertawa pelan. “Semoga segera.” “Wah! Mau duluin Pak Al kayaknya?” Mas Al hanya melirik Bu Nur sekilas. “Bu Anna dulu saja enggak papa.” “Apa barengan, Pak?” balas Bu Nur. Aku mendelik, lalu menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Bu Nur berhenti. “Maksudnya berdekatan, gitu.” Bu Nur buru-buru meralat. Dia juga meringis. “Saya dulu kayaknya. Enggak papa ya, Pak?” Aku mencoba mengimbangi candaan Bu Nur agar tidak terlalu garing. Mas Al kini menatapku dengan mata menyipit. “Silakan.” “Siap!” Siap kataku? Sungguh ironi! Calon saja tidak ada. Tiba-tiba, Mas Al duduk menyerong padaku. Itu membuatku reflek bergeser tanpa sadar. “Oh iya, Bu Anna. Pesan intinya malah hampir lupa saya katakan.” “Kenapa, Pak?” “Ini belum pasti, ya, tapi kata Pak Fadli bisa jadi saat libur semester kita diminta ke Jakarta bersama peringkat dua dan tiga.” “Ah ...” aku mengangguk. “Siap, siap.” “Untuk lebih tepatnya, nanti biar Pak Fadli saja yang ngasih tahu.” Aku mengangguk. “Oke, Pak.” Mas Al akhirnya pergi, meninggalkan samar-samar wangi parfumnya yang masih tertinggal. Berselang beberapa detik, Bu Nur bergegas ke mejaku. “Cie, mau ke Jakarta sama Mas Mant—“ “Apa, Bu? Jangan mulai.” Bu Nur terkekeh pelan. “Enggak, enggak, bercanda aja. Saya ke sini mau ngajak Bu Anna makan siang. Mau?” *** “Jadi ini saja yang harus saya cari tahu detailnya, Pak?” tanyaku pada Mas Al sore itu ketika kami berdiskusi membahas tentang kelanjutkan karya tulis kami yang mendapat peringkat satu. Sebetulnya ini agak lucu, bagaimana mungkin ada sistem peringkat di acara seperti kemarin. Namun, mau bagaimana lagi. Nyatanya, pihak penyelenggara mengumumkan tiga karya tulis terbaik beserta peringkatnya. Bicara karya tulis, ini agak membingungkanku. Penyebutan karya tulis rasanya masih terlalu general. Harusnya aku bisa menyebutnya lebih spesifik lagi. Ya, anggap saja ini adalah jurnal ilmiah yang belum dipublikasi karena syaratnya belum terpenuhi. “Iya, itu saja. Sisanya biar saya.” “Tapi sebetulnya saya enggak papa, lho, Pak, kalau mau dilimpahkan tugas lebih. Maksudnya, saya juga ingin tahu lebih banyak tentang bagian analisisnya.” “Ya sudah, poin empat dan lima Bu Anna yang cari.” “Siap!” Aku segera mencatat ulang apa-apa yang harus kucari, lalu merapikan kertas-kertas di meja yang agak berserakan. Di saat yang sama, ponselku yang tergeletak di meja tiba-tiba menyala. Aku mendelik ketika muncul foto Mas Fathan di layar. Aku segera meraih ponselku, lalu menatap Mas Al. “Saya izin angkat telepon dulu, Pak—“ “Angkat di sini saja. Saya tidak akan menguping.” “Lah?” Mas Al memutar kursinya memunggungi setelah sebelumnya dia meraih salah satu buku yang kami gunakan untuk literatur utama karya tulis kami. Barangkali sembari menungguku mengangkat telepon, dia akan membaca kembali materi yang tadi. “Hallo, Mas?” sapaku pelan setelah panggilan terhubung. “Iya, hallo, An. Selamat, ya. Karya tulismu kepilih, nomor satu pula.” “Hehe, makasih banyak, Mas.” “Kayaknya nanti ujungnya kamu ikut workshop lanjutan di Jakarta. Aku dengar infonya begitu. Coba nanti kamu tunggu info susulan.” “Iya, Mas, siap. Aku mah ikut aja, soalnya aku baru banget terjun kaya ginian. Masih serba ikut, tapi tetap terus belajar buat berkembang.” “Ini awal yang bagus buat karir kamu, An. Serius. Belum ada satu semester udah diberi kesempatan ikut workshop bergengsi, ditambah langsung dilirik juga karya tulismu itu.” “Karya tulis berdua itu, Mas. Enggak bisa kalau aku ngakuin punyaku sendiri.” Hening sejenak. Ada sepuluh detikan, Mas Fathan hanya diam. “Mas? Mas Fathan” “Iya, bener. Berdua. Kapan-kapan kita harus bisa, An. Collab berdua. Itu kalau memungkinkan.” Mas Fathan tertawa pelan di seberang sana. Sudah jelas, tawanya itu justru menunjukkan kalau dia juga ragu dengan kalimatnya. “Kayaknya kok sulit, hampir enggak mungkin. Tapi ya enggak ada yang tahu, sih.” “Yes! Ngomong-ngomong, nanti malam mau kuajak keluar, enggak?” “Keluar ke mana? Tapi sebelumnya aku enggak mau kalau ditraktir lagi. Gantian.” “Itu bisa diatur.” “Memangnya mau ke mana—“ “Ehm!” Tiba-tiba Mas Al berdehem. “Ke Taman Budaya—“ “Mas, kayaknya sambung nanti aja, ya. Ini aku masih ada urusan.” “Ah, oke-oke. Nanti kabari aku kalau udah selesai.” “Iya, siap!” Aku segera memutus sambungan, lalu menegakkan badan. “Maaf, Pak. Ini sudah selesai.” Mas Al memutar kembali kursinya dan kembali menghadapku. Dia merapikan kertas yang tersisa, lalu menatanya di rak berkas yang ada di sudut meja. “Sementara itu dulu, Bu. Selebihnya bahas lain kali.” Lho? Kalau memang sudah selesai, kenapa tadi dia tidak menyuruhku langsung keluar sekalian? Kenapa pula aku patuh-patuh saja?” “Baik, Pak.” Akhirnya aku mengangguk agar urusan cepat selesai. Mau protes pun rasanya percuma, hanya menghambur-hamburkan tenaga. “Saya harap Bu Anna sudah menyelesaikan itu maksimal dua minggu. Syukur-syukur satu minggu sudah selesai. Pak Fadli minta akhir bulan ini kalau bisa sudah fix.” “Siap, Pak. Sebetulnya ini hanya dicari poin-poin yang kemarin masih terlalu umum, kan?” “Ya, betul. Sebetulnya kita tidak perlu mengubah isi karya tulis dengan yang lebih detail karena nanti jatuhnya tidak efisien. Yang kemarin sudah cukup, proporsinya pas. Cuma kita perlu buat yang versi mendetail untuk kita simpan sendiri. Ini atas saran Pak Fadli, dan beliau nanti akan ikut mengecek. Jadi suatu saat ketika diminta untuk menjelaskan, kita bisa membaca itu untuk mengingat.” Aku mengangguk setuju. Itu akan membantu sekali kalau suatu saat kami lupa. Bagaimanapun, berjaga-jaga itu tidak ada salahnya. “Ya sudah, pak. kalau begitu saya permisi.” “Ya.” Baru saja aku berdiri dan mengambil tas, tiba-tiba aku merasakan sebuah guncangan. Di saat yang sama, aku juga mendengar jendela ruangan ini berbunyi. Aku dan Mas Al kompak saling pandang dengan mata melebar. “Gempa!“ Ketika aku hendak keluar, Mas Al malah menahanku. “Jangan keluar! Sembunyi di sini dulu! Keluar sekarang terlalu berbahaya!” Aku yang panik hanya bisa patuh. Aku dan Mas Al kompak masuk ke kolong meja yang terbuat dari kayu. Aku tidak menghitung berapa detik lamanya sampai gempa ini berhenti. Yang jelas, gempanya terasa sangat jelas. Aku sampai gemetaran di buatnya. Sepertinya ini gempa terbesar yang pernah kurasakan. “Sudah berhenti?” Mas Al melongok keluar meja dan aku pun mengikutinya. Kami akhirnya berdiri lalu menghampiri jendela untuk melihat keadaan luar. Di bawah sana tampak ramai. “Berapa richter gempa barusan? Dan di mana pusatnya?” tanyaku pelan, suaraku agak bergetar. “Kita cari tahu nanti. Sekarang kita harus segera keluar. Takutnya ada gempa susulan.” “Iya.” Tiba-tiba, aku dan Mas Al kompak berhenti ketika menyadari sesuatu. Detik itu juga, kami kompak menepis tangan satu sama lain. Serius, aku bahkan tidak sadar kalau kami baru saja berpegangan tangan seerat itu. Jemari kami saling bertaut erat, seolah tidak ingin lepas satu sama lain. “S-saya keluar sekarang aja, Mas—eh, Pak!” kali ini aku langsung keluar, bahkan sebelum Mas Al menjawab. Aku berlari keluar lorong, lalu turun menuju lantai satu. Sepanjang turun, aku terus memegangi d**a kiriku. Tidak ada yang menatapku aneh karena semua orang masih terlihat panik. Beberapa orang bahkan juga memegangi dadanya sepertiku. “Bu Anna!” terlihat Bu Nur melambaikan tangan padaku. “Kenapa, Bu? Kenapa dadanya? Barusan Bu Anna di mana?” Aku menggeleng. Belum kuasa menjawab. Berikutnya, aku jongkok dengan tangan masih memegangi d**a kiri. Detak ini benar-benar menggila. Rasa-rasanya persis sama dengan saat-saat pertama kali aku bertemu Mas Al lagi setelah sekian tahun kami berpisah. Atau bisa jadi yang sekarang ini malah lebih parah. Padahal hanya pegangan tangan erat, tetapi efeknya sampai seperti ini. Sejujurnya, sayup-sayup aku merasakan djavu. Genggaman tangan itu entah kenapa masih terasa sama. Terasa hangat, aman, dan menenangkan. “Bu, An? Dadanya masih sakit?” Bukannya menjawab, aku malah mendongak menatap jendela lab lantai dua. Aku menatap jendela itu cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk. “Iya, Bu. d**a saya sakit sekali.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD