Setelah Hasan dan Adam berangkat menuju bengkel pembuatan furniture dan semua hiasan yang terbuat dari marmer. Keysa berangkat menuju toko bunganya bersama Hawa. Dan kini sudah berada di sana.
Di dalam kios, memang dibuatkan tempat peristirahatan juga sebuah televisi untuk Hawa agar tidak bosan dan jenuh jika ia ikut menemani ibunya.
Keysa mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Wajahnya merenung, terlihat bosan. Setelah beberapa pesanan telah dirangkai dan tidak ada pekerjaan lagi tiba-tiba kepingan memori yang telah hilang muncul perlahan. Di mana tawa kebahagiaan ketika ia dan Adam masih bersama. Namun selain tawa bahagia bersama, Keysa pun teringat saat harga dirinya terinjak-injak oleh tuduhan Adam yang mengatakan jika pengakuan kehamilannya hanya alasan semata agar tetap bisa bersama.
Rasa sakit yang telah empat tahun berlalu itu kini lagi-lagi muncul ke permukaan. Menoreh luka dan sebabkan perih.
"Kling!" Suara bel pintu kios ketika dibuka terdengar. Membuyarkan lamunan Keysa yang sedang berjalan mundur ke belakang.
"Permisi ...," kata seorang wanita berparas cantik dan berpakaian staylist.
"Selamat datang." Keysa menyahut. Suara konsumen yang datang terdengar familiar. Tidak asing.
Keysa terkejut ketika ia melihat ke arah pintu yang terbuat dari kaca tebal, tembus pandang. "Dewi ...," ucapnya lirih dengan kedua mata membulat. Tidak lama mimik muka terkejut itu berubah menjadi rasa bahagia.
Keysa berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan memutari meja menghampiri Dewi, sahabatnya ketika saat SMP.
"Kamu kembali ke Kota kecil ini?" tanya Keysa dengan sorot mata penuh semangat.
Dewi tersenyum lebar. Ia menganggukkan kepalanya. Sesaat mereka saling menatap dan kemudian berpelukan. Melepas kerinduan dua sahabat yang sudah sangat lama tidak bertemu lagi.
"Kamu masih sama seperti dulu. Masih cantik dan langsing," ucap Dewi memuji dan mengamati penampilan Keysa dari atas hingga ujung kaki. "Harusnya kamu menjadi model."
Keysa terlihat malu. Kedua pipinya merona. "Ah, bisa saja kamu. Bukannya kamu sudah sukes di Kota besar? Menjadi seorang desainer terkenal. Kenapa kembali ke mari?"
Wajah berbinar Dewi berangsur berubah. Raut kesedihan terhias di sana. "Aku lari dari kenyataan," jawabnya lirih.
Keysa mengerutkan dahinya dan kemudian menoleh ke arah tempat Keysa yang sedang tidur siang dengan televisi yang menyala. "Memang ada masalah apa?" tanyanya pada Dewi.
Keysa merasa pasti ada sesuatu yang membuat sahabat di jaman SMP nya itu tiba-tiba memutuskan kembali ke kampung halaman. "Apa di kota besar membuatmu tertekan?"
Dewi tersenyum tipis. Menutupi kekecewaan hatinya. "Kampung halaman memang tempat yang pas untuk kembali. Aku telah salah mengambil keputusan Key."
Keysa menghela nafas panjang. "Ya, memang. Seakan tidak ada lagi tempat untuk kembali selain pulang ke kampung halaman," ucap Keysa dengan wajah sayu. Alasan sama yang di ambilnya ketika kaki tidak bisa melangkah lagi.
"Hei, kenapa kamu jadi ikut sedih?" tanya Dewi sambil tersenyum dan mencolek dagu Keysa. "Mana bidadari kecilmu? Aku belum melihatnya sejak dia lahir. Maafkan aku baru menemui kalian setelah empat tahun lamanya."
"Tidak apa. Tidak usah dipikirkan. Memang kamu orang sibuk. Maklum disainer kondang." Keysa menggoda sambil tertawa.
"Empat tahun yang lalu, aku heran padamu. Saat aku ingin pergi dari kota kecil ini, kamu justru datang kembali ke mari. Padahal aku saja ingin meninggalkan tempat ini," kata Dewi sambil mengangkat kedua alisnya ke atas.
"Hanya Tuhan yang tahu mengapa kamu pergi dan aku datang," timpal Keysa asal. "Kita duduk di sofa yuk. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu, aku ingin bercerita banyak denganmu!" Keysa dan Dewi saling bergandengan tangan sambil tertawa kecil.
***
"Jadi kamu juga setuju dengan ini?" tanya Hasan pada Adam.
Adam menganggukkan kepalanya sambil mengusap hasil finishing kerajinan marmer yang akan siap di kirim ke luar negeri. Bebatuan marmer yang disulap menjadi bentuk ikan koi besar untuk hiasan rumah. "Ini sungguh luar biasa. Aku pasti mau menginvestasikan semua uangku untuk kemajuan kerja sama perusahaan kita."
Hasan senang mendengarnya. Ia melipat kedua tangan di depan dadanya sambil menatap ke arah Adam. Baginya Adam adalah sosok penolong untuk bisnisnya yang sedang membutuhkan suntikan dana besar.
"Kamu sangat mencintai bisnismu Hasan?" tanya Adam sambil kembali berjalan mendekat dan memasukan telapak tangannya ke saku celananya.
"Tentu saja. Aku sangat mencintai bisnisku. Tanpa bisnis ini aku terasa hampa dan bukan apa-apa," jawab Hasan.
"Dan kamu lebih mencintai bisnis ini dari pada keluargamu?" tanya Adam lagi.
Hasan mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti mengapa Adam menanyakan hal seperti itu. "Maksudnya?"
"Maaf," sahut Adam ketika merasa Hasan tidak menyukai pertanyaannya. Dari mimik muka Hasan, tersirat jika ia tidak nyaman. "Aku hanya ingin tahu kenapa kamu mengijinkan Keysa mengelola kios Bunganya padahal kamu mampu memberikan biaya hidup untuk seluruh anggota keluarga?"
"Karena Keysa menginginkannya," jawab Hasan lugas. "Aku menghargai setiap keinginannya dan apa yang dia suarakan. Aku bukan tipe suami yang keras kepala. Memaksakan kehendaku tanpa mendengarkan apa isi hatinya."
Adam tersenyum mendengarnya. Mengatupkan bibirnya dan mengangkat kedua alisnya ke atas. "Aku menyukai pemikiran mu."
"Setelah dari sini apa kamu mau mampir ke kios bunganya Keysa? Lokasinya tidak jauh dari sini," kata Hasan sambil berjalan sejajar dengan Adam menuju pintu keluar gudang.
Adam terkejut senang mendengar ajakan Hasan. Tapi sirat kebahagiaannya itu buru-buru di sembunyikannya. "Tentu. Aku ingin melihat bunga apa saja yang dijual oleh Keysa," jawabnya lirih.
"Banyak bunga yang dijualnya, tapi dia tidak pernah menjual bunga Dahlia," kata Hasan sambil tersenyum tipis. "Keysa membenci bunga Dahlia hingga tidak mau bunga itu ada di dalam kiosnya."
Adam mengerutkan dahinya. Merasa aneh mengapa Keysa membenci bunga Dahlia, padahal itu adalah bunga kesukaannya. Bunga yang selalu ia berikan untuk Keysa.
Masih terbayang diingatan Adam saat Keysa tersenyum menerima buket bunga darinya. Menghirup aroma harum bunga lily, mawar dan dahlia yang dihias menjadi satu.
'Di antara bunga-bunga ini aku paling menyukai bunga Dahlia.' Suara Keysa kembali berdengung di telinga Adam.
***
Setelah mengendari mobil selama sepuluh menit dari bengkel pembuatan furniture kayu jati dan marmer, akhirnya Adam dan Hasan telah sampai di kios bunga milik Keysa.
Hasan turun dari mobilnya dan diikuti Adam.
Hasan berjalan seperti biasa. Namun berbeda dengan Adam. Ia bertanya-tanya seperti apa kios bunga milik Keysa. Apakah banyak terhias bunga mawar merah dan juga bunga Lily?, tanyanya di dalam hati.
"Pasti Keysa terkejut melihat kita datang tiba-tiba tanpa memberitahu," kata Hasan sambil mendorong pintu kios yang terbuat dari kaca tebal seperti di pintu masuk mini market.
Seperti apa yang dikatakan oleh Hasan, Keysa memang terkejut melihat mereka datang ke mari. Kedua matanya melihat ke arah pintu. Membuat Dewi yang ada dihadapannya, mengikuti bola mata Keysa memandang.
Dewi menoleh ke belakang. Melihat Hasan dan Adam berjalan masuk ke dalam kios.
Kini justru Hasan yang terkejut melihat siapa tamu yang sedang berbincang dengan Keysa. Hembusan angin dari Air Conditioner yang ada di dalam ruangan, menghembus ke wajahnya. Terasa dingin.
Kedua mata Dewi pun membulat. Bibirnya sedikit terbuka. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali mantan tunangannya di sini. "Hasan ...," gumannya lirih.
bersambung