Malam selanjutnya. Setelah kejadian yang cukup menggemparkan itu terjadi.
Selama lima hari ini, aku tidak pernah keluar rumah ketika langit sudah mulai gelap. Larangan Nyai yang katanya tentang walilat itu, membuat aku akhirnya menurut-nurut saja, lagi pula aku kan memang menumpang. Meskipun teka-teki tentang nyuguh kemarin juga belum aku mengerti untuk apa kegunaannya, aku hanya menganggapnya sebagai adat yang masih dilestarikan dan dipegang teguh di tempat ini. Yah, anggap saja begitu. Daripada harus menerima konsekwensi yang cukup beresiko.
Tapi, malam ini rasanya aku akan mengalami hal yang besar. Selama malam-malam sebelumnya, aku hanya berdiam diri di kamar bila menjelang malam, bersama Nia, bercerita dan bercengkerama. Kemarin malam, Abah sudah pulang dari makam Bagja dan memergokiku yang sedang mengendap-endap masuk ke dalam ruangan yang mereka sebut pendaringan. Tempat yang katanya hanya untuk menyimpan beras, yang bagiku tidak hanya digunakan untuk itu saja. Aku tidak hanya melihat beras beras di sana. Sama seperti Nyai, bahkan lebih parah, lelaki tua itu jarang sekali bicara. Dingin. Bahkan untuk hanya sekedar berbada basi. Ia tak pintar bicara. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, inilah kali pertama aku bertatapan langsung dengannya. Seharusnya, sebagai seorang tuan rumah yang kini ditumpangi oleh anak dari adik istrinya, bukankah setidaknya ia harus berbasa-basi padaku? Entah hanya mengucapkan selamat datang, menyambut kehadiranku di tempat baru ini, atau mungkin sekadar menanyakan kabar karena aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku. Tapi, tidak. Kenyataannya, lelaki tua itu hanya diam saja. Entah kenapa di sini tidak ada yang normal, menurutku. Atau mungkin, memang kebiasaan di sini tidak banyak bercengkerama mungkin. Yang jelas, aku masih punya Nia yang bisa diajak berbicara, karena kami tidak jauh beda rentang usianya, maka aku rasa, kami cocok cocok saja. Yang aku tak habis pikir, bagaimana mungkin Nia selama ini kuat, tinggal di dalam rumah yang bahkan untuk berinteraksi saja terasa begitu jarang? Padahal, pada kenyataannya Nia adalah anak yang cerewet. Bagaimana mungkin ia tahan untuk diam saja selama aku belum pindah ke mari? Ah, membayangkan nya saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.
Ah iya, perlu diketahui, kampung ini benar-benar di pedalaman. Dalam sekali. Listrik saja katanya masuk ke dalam perkampunagan ya belum lama lama ini. Sementara, jalan dari pemukiman warga di sini bensr-henar harus bersabar. Untuk ke kota, memakan waktu berjam-jam. Selain harus melewati hutan penelitian dan kebun bambu, dari pintu masuk perkampungan itu, aku masih harus menaikki ojeg yang biasanya mengetem di sebuah warung kopi. Begitu tutur Nia, aku sih, saat itu masih menggunakan mobil. Aku belum ke luar kampung lagi, sejak aku tiba di sini. Karena kampung yang ada di pedalaman ini pula yang membuat aku sekarang ini tidak memegang ponsel sama sekali. Bukan karena Nyai melarangku seperti ketika tinggal di asrama dengan peraturan yang ketat, melainkan karena, ya tidak berfungsi juga. Di sini, ponselku benar-benar tidak berguna. Begitu kami memasuki Kebon Tembang yang di penuhi dengan pohon-pohon yang berjajar rapi itu, seketika papan sinyal yang tadinya penuh menjadi tanda silang. Hilang. Tidak ada sinyal. Sama sekali. Pantas saja, selama berada di sini, aku tidak melihat Nia bermain handphone untuk sekedar bertukar pesan dengan teman-teman sekolahnya, atau janjian, seperti aku dan teman-teman ku semasa tinggal di kota dulu.
Telepon juga tidak sering kujumpai, mungkin karena memang sudah ketinggalan jaman. Sekarang kan sudah musimnya ponsel, berhubung di sini ponsel tidak berguna, bukanlah wajar saja kalau aku berpikir setidaknya harus ada telepon untuk alat berkomunikasi. Tapi, aku salah. Tak kutemui telepon-telepon yang kupikir bisa digunakan untuk alat komunikasi antar pribadi. Di rumah Nyai ini salah satunya. Aku tak melihat ada telepon. Katanya, kalau ada perlu ya tinggal datangi rumahnya saja. Toh, rumahnya tidak begitu berjauhan. Sekalian olah raga, dapat manfaat informasi ditambah sehat. Ya, meskipun menurutku tidak praktis. Biasalah, anak muda.
Para warga di sini masih menggunakan kentongan untuk menyebar informasi, jika memang dirasa penting. Ibaratnya, sebagai pengganti ponsel yang jelas tidak berguna begitu masuk ke dalam wilayah ini. Bedanya, jika ponsel bisa mengirim pesan secara berbalas dan pribadi, kentongan tidak, ia bersifat satu arah saja. Seperti pesan broadcast, satu pesan yang disiarkan untuk semuanya. Nia juga pernah menceritakan padaku tentang cara membaca bunyi kentongan. Kata Nia, jika kentongan itu berbunyi satu kali lalu berjarak agak panjang, setelahnya diketuk sekali lagi, berati ada kabar duka. Biasanya akan diikuti oleh speaker masjid yang mengumumkan tentang kematian seseorang. Yang ini, aku belum mendengarnya. Tapi, Nia bilang, nanti juga aku bisa mendengar itu. Sementara, bila kentongan itu berbunyi dua kali secara berulang, tandanya ada maling. Begitulah kira-kira. Tapi, pernah suatu hari, entah hari ke tiga atau ke dua aku di sini, suara kentongan itu terdengar. Berbunyi empat kali dengan begitu cepat. Begitu kugoyangkan tubuh Nia, gadis itu malah terkekeh geli.
“Itu tukang bakso, Gis!”
Huh, ngeselin.
Hari ini, Nia tidak pulang ke rumah. Ia meninggalkanku seorang diri di dalam rumah yang jarang interaksi ini. Katanya, ia akan menginap di rumah temannya di kota karena tidak ada angkutan umum bila malam sudah tiba, apalagi akses ke dalam perkampungan yang harus melewati hutan tanpa penerangan. Sementara, Kang Entis tidak bisa menjemput Nia karena ia baru saja pulang ke kampung halaman istrinya di Jawa Timur. Jadi, hari ini aku akan tidur sendirian. Di bawah kelambu, di atas ranjang usang. Dipayungi oleh sinar remang-remang dari lampu bohlam berwarna merah. Berkali-kali kuhela napas. Tapi, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin juga kan, aku tega menyuruh Nia pulang melewati hutan yang gelap gulita itu sendirian?
Waktu terasa berputar lebih cepat. Sayangnya, karena terbiasa ada Nia di sebelahku, aku jadi tidak bisa tidur. Tidak ada yang bercerita tentang ini dan itu sebelum akhirnya aku merasa ngantuk. Sudah kucoba untuk memejamkan mata, tapi nihil. Aku tetap saja terjaga. Sampai waktu mungkin sudah hampir lewat tengah malam. Kebetulan, seperti yang aku ceritakan kemarin, kalau kamar ini tidak berpintu. Hanya ditutupi oleh gorden yang bisa memantulkan bayang dari ruang tengah, bila ruang tengah tidak dimatikan lampunya. Sementara itu, kamar kami lebih gelap dengan lampu remang kemerahan, bukan led putih seperti yang sekarang ini banyak digunakan. Aku melihat sepintas bayangan yang berlalu melewati kamarku. Bertubuh tinggi besar, tapi berjalan begitu cepat. Seperti berlari, tapi halus, tidak terlihat grasak grusuk. Pergerakannya tidak menimbulkan gaduh. Sepertinya itu adalah Abah. Tapi, untuk apa Abah berjalan keluar semalam ini?
Aku mengerti sekarang. Larangan untuk keluar malam-malam, rupanya hanya berlaku untuk anak-anak seperti aku dan Nia. Mungkin, hanya sebagai tameng agar kami tidak senang kelayapan seperti anak-anak di kota saja. Padahal, kalaupun aku memang pulang malam, bukan karena usai berpesta atau berfoya-foya. Aku sering kali pulang malam karena harus menjalani les setelah pulang sekolah. Meskipun kami diperintah untuk tidak keluar malam, kenyataannya, Abah maupun Nyai, bisa bisa saja keluar rumah begitu gelap sudah memayungi langit di kampung ini. Seperti barusan, mungkin Abah ingin menghirup udara segar. Nyai hanya membuat-buat alasan. Beberapa waktu yang lalu pun terdengar suara Abah yang menegur warga yang sepertinya sedang berkumpul tak jauh dari rumah, sesaat sebelum Nyai terdengar menyelot pintu rumah. Aku sebenarnya mengintip dari celah jendela, mereka memang sedang berkumpul di rumah seberang. Rumah yang di belakangnya ada kandang ayam milik Nyai. Rumah dengan wanita tua berdaster yang terus saja memandangiku dengan tatapan aneh, saat aku mencoba untuk memasukkan anak-anak ayam itu ke dalam kandangnya.
Sengaja aku belum memejam mata kembali. Kebetulan, tadi Nyai sudah menyelot pintu dan suara deritan pintu kayu itu lumayan berisik. Aku ingin dengar, jika benar Abah keluar malam ini, suara deritan pintu itu pasti terdengar. Tapi, dugaanku salah. Tidak ada suara derit pintu setelah sekian lama aku menunggu. Tidak ada suara sengkelot yang dibuka. Jika memang benar Abah yang tadi melintas di ruang tengah, untuk apa berjalan ke pintu tapi tak keluar rumah? Apakah Abah melakukan hal yang sama denganku? Hanya mengintip dari celah-celah jendela?
Aku masih menunggu, sambil memandang ke gorden yang menghalangi kamarku dan ruang tengah. Lampu di ruang tengah masih menyala seperti tadi. Kalau-kalau memang Abah tidak jadi keluar, seharusnya aku dapat melihat bayangannya melintas untuk kembali ke ranjang Nyai di belakang.
Waktu berlalu. Tidak kulihat bayangan yang melesat itu kembali ke belakang. Tidak juga kudengar suara selotan pintu yang dibuka. Lalu, apakah aku yang salah lihat? Bayangan siapa yang tadi melintas di depan kamarku kalau begitu?
Tak lama setelahnya, tercium bau kemenyan. Untuk pertama kalinya, aku mencium aroma ini, terlebih aromanya begitu kuat. Seolah seseorang sedang membakar kemenyan di dalam rumah. Dari atap yang tak memiliki langit-langit, terlihat bola lampu sedikit bergoyang. Padahal, malam itu tidak ada angin. Aku merasa sangat panas dan kegerahan meskipun kipas sudah kupasang tepat di depanku, hanya terhalang oleh kelambu tipis. Kupejamkan mata demi menghilangkan rasa takut. Namun, setelahnya aku malah mendengar sesuatu. Seperti sesuatu yang jatuh dari atas. Terdengar berat. Layaknya durian besar yang jatuh dari tangkainya. Sontak, aku membuka mata, takut-takut kalau benar ada yang jatuh, entah Abah ataupun Nyai. Mengingat hanya kami bertiga yang ada di rumah ini sekarang. Tapi, suara cicit ayam yang terdengar begitu dekat dengan kamarku membuatku urung untuk bangkit dari kasur. Seketika, bulu kudukku meremang. Aku merinding. Hawa dingin menusuk tulang. Lampu yang menggantung di atas, bergoyang begitu cepat seolah baru terkena gempa, aku jadi ingat dengan perkataan seorang teman saat aku tinggal di kota dulu. Ia juga memiliki keluarga di perkampungan yang masih kental dengan adat istiadat dan segala macam masalah perghaiban. Katanya, suara anak ayam yang bercicit adalah jelmaan dari sesosok kuntilanak. Nia, kuharap kau pulang sekarang juga!