Hari Berduka
Bendera kuning berkibar di depan gang rumah kami. Orang-orang berkumpul dan berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka memasang wajah yang dipenuhi dengan air mata dan rasa kehilangan. Sebenarnya, aku tidak berharap bahwa mereka mengerumuni rumahku. Tidak, semua orang mungkin tidak menginginkannya.
Dua orang yang aku cintai sepanjang hidup terbujur kaku dengan luka yang tersebar di tubuh. Raga yang sejak tadi kupandangi itu sudah tidak bernyawa lagi. Aku bahkan sudah kehabisan kata-kata. Tidak lagi berteriak, menentang kehendak Tuhan yang rupanya lebih mencintai mereka. Tapi, kepalaku terus bertanya-tanya. Mengapa harus sekarang? Mengapa tidak beberapa belas tahun lagi ketika aku merasa sudah siap akan hal ini? Tapi Tuhan tidak pernah salah. Ia akan mengambil kembali, apa yang menjadi milikNya. Kapan pun, di mana pun.
Wajah-wajah yang bahkan lama tak kujumpai, kini terlihat di pelupuk mata. Sayangnya, kami bertemu dengan luka dan penyesalan. Kematian mendadak yang menimpa kedua orang tuaku, membuat kami merasa bahwa ini adalah sebuah mimpi buruk yang akan hilang begitu terbangun. Namun, sekeras kucoba untuk terjaga, aku memang sudah melakukannya.
Dua orang teman yang baru saja menghabiskan waktu bersamaku, turut dirundung duka. Kami bertiga tidak pernah tahu, kalau setelah kami kembali banyak pasang mata yang menyambut kami. Pagi itu, aku memutuskan untuk pergi jogging ketika Dila dan Jani berdiri di depan rumah dengan pakaian olahraga mereka. Aku yang tak pernah berpikir hal seperti ini akan terjadi, menyambutnya dengan senang hati. Lalu kami, menghabiskan waktu untuk berlari, berbicara, dan membiarkan matahari memayungi kulit-kulit kami. Sampai ketika kembali, tangisan sudah memenuhi seisi rumah.
Andai aku tahu, Bapak dan Ibu akan pergi dari dunia ini, aku lebih memilih untuk itu bersama mereka. Dengan siapa aku akan hidup ke depannya, Bu? Akankah aku sanggup melewati ini semua?
Dengan tatapan yang masih tak percaya bahwa tubuh-tubuh itu tergolek tak bernyawa, para pelayat mulai berdatangan menghampiriku secara bergantian. Kebanyakan dari mereka berkata bahwa hidup tidak akan berakhir karena sebuah kehilangan. Aku kurang setuju. Hidup memang belum berakhir tapi duniaku telah demikian. Mereka memelukku, mengatakan bahwa ikhlas adalah satu-satunya jalan terbaik untuk menggiring ke pergian kedua orang tuaku ke alam lain.
Tiba-tiba seorang kerabat orang tuaku datang dengan air mata yang juga membanjiri pipinya. Seorang perempuan yang lebih muda dariku. Ia adalah sepupu dari ibu. Tanpa kata-kata, ia hanya histeris setelah melihat kedua tubuh itu. Sama seperti aku, ketika tiba dan melihat bendera kuning yang berkibar kujumpai lagi terikat di tiang rumah.
Setelah lama kami berbagi air mata dan rasa kehilangan, Bi Lilis -begitulah namanya, memegang kedua pundakku. Ia menanyakan bagaimana aku akan hidup setelahnya. Apakah aku sanggup tinggal di rumah besar ini sendirian dengan penuh kenangan di setiap sudut? Membayangkan nya saja sudah membuatku gila. Haruskah aku menyusul mereka saja?
Namun setelahnya, seorang perempuan lagi menghampiri kami. Ia lebih tua, mengenakan baju berwarna hitam sebagai tanda bela sungkawa yang dalam. Keriput sudah terlihat di lekukan wajahnya. Aku tahu perempuan itu. Pernah sesekali kuhabiskan waktu liburanku untuk mengunjunginya di sebuah desa yang masih asri.
“Sebaiknya kamu tinggal sama Nyai saja, Neng,” katanya selepas kami berpelukan.
Bapak memiliki dua orang kakak, yang tertua yang kini duduk di tepat di depanku dan kupanggil Nyai, satu lagi seorang laki-laki yang sudah lama merantau ke pulau Kalimantan. Mungkin ia akan sedikit terlambat, mengingat perjalanan jauh yang ditempuh tak mungkin hanya butuh beberapa menit saja.
“Biar nanti tidur dengan Nia. Kamu tidak sendirian, masih ada kami. Kamu masih memiliki keluarga,” tambahnya.
Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan. Selera untuk ber kata-kata seperti lenyap ditelan kematian bapak dan ibu yang sudah menemaniku sejak lahir. Bukan hal yang mudah untuk melanjutkan hidup dan mempercayai orang lain akan merawatku seperti yang bapak dan ibu lakukan.
Tapi, jika harus memilih ikut Nyai atau Wak Ending, lebih baik aku ikut Nyai. Aku tidak begitu dekat dengan kakak lelaki dari bapak. Ada rasa canggung di antara kami.
Beberapa jam telah berlalu. Tubuh kedua orang tuaku sudah ditimbun tanah. Akau terduduk di antara kedua gundukan tanah yang telah ditaburi bunga itu. Apa kalian senang dengan rumah baru kalian, Bu, Pak? Apakah rumah kami tidak lebih baik dari tempat tinggal kalian yang baru? Mata yang sembab masih menjadi pemandangan siapa pun yang melihat ke arah wajahku. Mereka memakluminya. Aku hanya seorang anak semata wayang yang kini ditinggal pergi bapak ibunya. Tidak menjadi gila saja sudah banyak-banyak syukur.
Nyai merangkul tubuhku begitu kami berniat meninggalkan pemakaman, setelah yang lain membubarkan diri beberapa waktu yang lalu. Aku merasa begitu berat melangkahkan kaki meninggalkan mereka yang kesepian di dalam tanah dengan mata yang sudah tertutup rapat. Mengapa kecelakaan itu dengan jahatnya merenggut mereka dariku?
Nyai sekali lagi menarik tanganku setelah aku terdiam beberapa jenak memandangi dua patok kayu yang bertuliskan nama kedua orang tuaku. Sejak hari ini, esok, lusa, hingga hari seterusnya, aku tidak yakin bahwa senyuman akan kembali hinggap di wajahku.
Kuturuti perempuan tua itu untuk kembali ke rumah. Orang-orang yang sejak tadi berkerumun, berkurang. Tidak sebanyak saat tubuh bapak dan ibu masih ditutup kain samping dengan surah Yaasin yang menjadi pengantar kepergian mereka. Beberapa orang sibuk berdiskusi tentang acara tahlil yang memang selalu dilakukan ketika seseorang telah meninggal dunia.
“Seminggu, Nyai akan bermalam di sini. Sampai acara tahlil selesai. Setelah itu, kamu ikut ke rumah Nyai. Tinggal saja di sana, Neng.”
Aku mengangguk begitu mendengar perkataan perempuan tua yang duduk di depanku. Ikut bagaimana baiknya saja.
Hari sudah gelap, orang-orang sudah kembali ke rumah mereka masing-masing untuk beristirahat. Setelah melakukan tahlil hari pertama di rumah kami, hanya tersisa aku, Nyai dan Bi Lilis juga suaminya di rumah ini. Itu pun tak lama lagi karena Bi Lilis harus segera pulang. Karena jarak rumahnya dengan rumahku tidak begitu jauh, ia berkata akan mengunjungiku setiap hari. Perempuan itu masih memiliki bayi kecil yang harus ia urus di rumahnya.
Akhirnya, sepasang suami istri itu berpamitan padaku dan juga Nyai setelah waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kini yang tersisa hanya aku dengan perempuan tua yang nantinya akan kutemui setiap hari.
“Yang kuat ya, Geulis,” ujar Bi Lilis sebelum pergi. Aku hanya mengangguk, tanpa tahu akankah aku kuat menghadapi semua ini.
Setelah beberapa waktu berlalu, aku baru merasakan lagi sakit hati. Sebelumnya, Orang-orang memenuhi rumah kami sampai tidak cukup untuk menampung mereka. Dan kini, hanya ada aku dengan Nyai. Terasa sepi merayap di dinding-dinding rumah. Malam ini, adalah malam paling mengerikan yang aku miliki. Sampai tiba-tiba, terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu rumah dengan begitu keras.