Pukul setengah enam. Aku melihat Nyai membawa sesuatu dari dapur. Kebetulan malam ini adalah malam jum'at, dingin menyeruak lebih hebat dari malam-malam biasanya. Aku menghangatkan diri dengan teh buatan Nyai yang kali ini terasa manis, mungkin karena Nia sudah menuangkan gula di dalamnya. Sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Aku sudah mandi, tidak lagi menentang dan bertanya-tanya mengapa kami tidak boleh mandi malam-malam. Aku ingin membasuh wajahku dan membasahi kepala, untuk menyegarkan pikiran setelah apa yang terjadi denganku dan Nia tadi.
Setelah memarahi kami yang bermain di sungai hijau, Nyai melirik kalender yang terpampang di dinding kayu. Hari Kamis, hari yang sebelumnya kupikir sama saja dengan hari-hari yang lain. Tidak ada yang berbeda. Menurutku semua hari sama saja, kecuali hari senin. Karena aku harus memulai lagi aktivitas yang menyebalkan namun tetap harus aku jalani, dulu.
Teh di gelasku sudah kosong. Aku hendak mengambilnya di meja dekat ranjang Nyai yang juga dekat dengan tempat Nyai membawa nampan dan belum terlihat keluar lagi dari sana. Aku menuangkan teh pada gelas dan mulai meneguk kembali sampai tak bersisa. Sementara, aku mendengar bisikan bisikan yang berasal dari kamar kecil tempat Nyai membawa nampan tadi. Penasaran lagi-lagi tak dapat aku kalahkan. Maka, aku melangkahkan kaki, mengintip Nyai dari celah pintu yang sedikit terbuka. Ruangan itu terletak berhadap-hadapan dengan ranjang tua Nyai. Tepatnya bersebelahan dengan lemari kayu tempat aku dan Nia menaruh pakaian.
Di sana, dalam ruangan yang tadi kau sebutkan itu, terlihat sebuah tong yang terbuat dari tanah liat. Tong yang bulat dan agak pendek. Ukurannya lumayan besar, tingginya sekitar sepinggangku kurang lebih. Untuk lebarnya, cukup lebar. Aku tidak berpikir kalau tanganku bisa memeluk tong yang bulat itu. Tidak hanya satu, tapi ada dua. Eh, tidak. Ada satu lagi yang lebih kecil ukurannya. Lalu, di depannya, kulihat nampan yang dibawa Nyai tadi. Berisikan dua gelas teh kecil dan dua gelas kopi kecil. Entah apa yang membedakan antara keduanya. Satu lagi, ada gelas kecil dengan air putih dan mangkuk yang berisi bunga tujuh rupa. Entah tujuh atau pun berapa. Tapi, biasanya memang disebut tujuh rupa.
Seakan merasakan kehadiranku, Nyai seketika menoleh dan membuatku terlonjak kaget. Dengan cepat, ia menutup pintu dengan kasar, lalu kembali terdengar bisikan-bisikan yang tidak kumengerti itu dari mulutnya lagi.
“Gis!”
Nia yang tiba-tiba muncul, melambaikan tangannya dari ranjang Nyai yang memang tidak berkamar. Hanya terletak di ujung ruangan, selurusan dengan tempat di mana aku mengintip Nyai saat ini. Hanya sebuah ranjang berkelambu yyangdi sebelahnya ada meja, kemudian lemari baju kami. Di sebelah ranjang, ada sebuah pintu yang biasa kami gunakan untuk berjalan ke dapur, atau biasa kami sebut sebagai pintu belakang.
Aku melangkahkan kakiku, mendekati Nia yang masih duduk di sana. Nia melambai-lambaikan tangannya padaku.
“Sini, jangan ganggu Nyai, Gis!” katanya sekali lagi. Tidak terlalu keras, bahkan bisa dibilang sedikit berbisik padaku.
Aku menurut, meskipun di dalam kepala masih dipenuhi rasa penasaran. Apa yang sedang Nyai lakukan sebenarnya?
“Emang, Nyai lagi ngapain sih, Nia?”
Begitulah, aku langsung menanyakan hal itu pada Nia karena aku teramat penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Nyai. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat hal-hal seperti itu.
“Lagi nyuguh. Malam jum’at kan sekarang teh.”
Bahasa baru lagi. Tidak, sepertinya bukan baru. Aku pernah mendengar ini sebelumnya. Tapi, bapak dan ibu tidak pernah melakukan hal yang sama dengan Nyai. Mungkin karena kami tinggal di kota. Dulu, Nenek lah yang pernah melakukan hal ini ketika kami pulang ke kampung. Sepertinya Nyai masih mewarisi adat yang dilakukan nenek.
Ah, benar juga. Aku belum bercerita tentang alat telekomunikasi di kampung ini. Jarang kulihat orang-orang memegang ponsel. Sama seperti aku setelah dua hari tinggal di sini. Awalnya, aku tidak pernah bisa ketinggalan benda kotak itu sama sekali. Ketika baterainya habis, aku akan menjadi kurang kerjaan. Bengong tak jelas karena tidak ada pegangan sama sekali. Suntuk. Tapi, begitu masuk ke dalam perkampungan ini, seketika berubah. Benar memang, rasanya masih begitu suntuk, tapi terobati dengan melihat banyaknya hal yang tak kutemui di Kota dulu. Ponsel nampaknya bukan sebuah kebutuhan lagi begitu aku menginjakkan kaki di kampung ini. Bahkan Nia, yang notabene adalah seorang remaja muda seperti aku, tidak terlihat memainkan ponsel sama sekali, sejak aku datang ke mari. Anak-anak di sini pun lebih sering bermain mainan tradisional. Entah itu petak umpet, soldah, gobak sodor atau kadang aku melihat mereka sedang bermain kelereng. Berbeda dengan anak-anak yang seringkali kutemui di kota, di mana mereka bermain dengan ponsel di tangan-tangan mereka. Main bareng sih, tapi dengan cara yang tak sama.
Aku juga memang membawa ponsel ke mari. Niatnya, akan kugunakan selama berlibur di sini, akan kuabadikan momen ketika aku menghabiskan waktu di pedalaman. Kugunakan juga untuk membunuh waktu suntukku dengan menonton drama kesukaan seharian. Toh, aku pun tidak sedang belajar di sini. Nyai juga belum mendaftarkan aku kembali ke sekolah. Lagi pula, aku juga pasti rindu kedua temanku. Sayang beribu sayang, tidak ada sinyal sama sekali. Inilah alasan mengapa akhirnya Aku melupakan segala keinginanku dan harapanku dengan membawa ponsel ke tempat ini. Pupus sudah. Aku sudah berguling di atas kasur, naik naik ke atas kursi, menangacung-acungkan ponsel tinggi-tinggi hingga tanganku pegal, sampai mengelilingi rumah Nyai, tapi hasilnya nihil. Tetap, tidak terkoneksi ke internet terus menerus. Sepertinya aku memang harus menyerah akan hal yang satu ini.
Alhasil, kubiarkan ponselku tergeletak saking malas dan tak bergunanya. Bahkan, aku sampai lupa untuk menchargenya berhari-hari. Benar-benar ajaib.
“Ngapain sih nyuguh itu, Nia?”
Kembali pada rasa penasaranku akan apa yang dilakukan Nyai saat itu, aku kembali bertanya pada Nia.
“Nolak Bala, Gis!”
Aku menoleh tajam. Mana ada hal seperti itu dijadikan untuk penolak bala?
“Sungguh, Gis. Malam jum’at biasanya adalah malam yang ‘mereka' pilih.”
Mereka? Malam yang dipilih? Apa maksudnya? Mereka siapa lagi?
“Lalu yang di dalam kendi besar itu?”
“Pandaringan? Beras. Padi hasil panen. Semua orang di kampung ini percaya kalau dewi yang menjadi penjaga beras itu akan membantu ketika ‘mereka' mulai menyusupi rumah-rumah. Maka dari itu, Nyai selalu melakukan nyuguh agar tidak terjadi bencana yang tidak diinginkan. “
Begitulah penjelasan Nia. Aku memang pernah mendengar mitos kalau ada penjaga di setiap beras-beras yang bertumpuk banyak. Katanya, ada dewi padi yang entahlah aku lupa namanya. Dulu, ibu sepertinya pernah bercerita. Ya, seperti dongeng. Anggap saja begitu.
“Ah, jadi itu tempat penyimpanan beras.”
Sebentar aku menjeda omonganku. Kemudian teringat akan sesuatu. Tadi, Nyai memegang nampan di tangannya.
“Aku tadi lihat, Nyai bawa nampan masuk ke dalam ruangan itu. Aku melihat dua gelas kopi dan dua gelas teh.”
Aku membeberkannya pada Nia. Dengan harapan ia akan memberi penjelasan yang lebih mendetail lagi tentang apa yang terjadi di sana.
“Iya, nyuguh. Malam jum’at, Nyai memang sering bikin gitu, Agis. Nyuguh itu kaya kalau kamu lagi ada tamu di rumah. Menyajikan minum gampangna mah, gitu. Anggap begini, Dewi Padi itu tamu di rumah ini, pan kudu disuguhi meureun?”
Aku hanya mengangguk. Entah, untuk apa juga menaruh nampan berisikan teh dan lain sebagainya, untuk dewi padi. Jelas-jelas, tidak akan ada yang meminumnya.
***
Aku mengendap-endap setelah mendengar suara bisikan-bisikan itu lagi. Jikalau saja rasa penasaran tidak pada puncaknya, mungkin aku memilih diam. Dasar memang anak muda. Katanya, di umurku yang segini memang sedang banyak ingin tahu.
Sudah pukul sebelas malam. Kupikir Nyai sudah tertidur dan berlarian dalam mimpinya. Karena kulihat beliau di ranjang, tengah tertidur pulas. Kesempatan untuk aku yang selalu dipenuhi rasa penasaran untuk segera berlari ke dalam ruangan kecil itu, untuk memastikan apa yang terjadi di dalam sana. Mengapa bisikan-bisikan itu masih terdengar padahal Nyai sudah tertidur pulas. Lalu, siapa yang berbisik-bisik itu jika bukan Nyai?
Benar. Rupanya aku tidak salah lihat. Di atas nampan memang berisikan lima gelas yang sekarang tinggal setengah, air di gelas tersebut sudah sedikit berkurang. Terlihat dari garis bekas yang sebelumnya mungkin terisi penuh. Begitu juga dengan air dan kembang tujuh rupa. Nyai benar-benar tak main-main. Setelah itu, tidak ada hal lain yang mencurigakan. Lebih tepatnya sih, aku belum menemukan hal yang mencurigakan, karena belum sempat aku melihat-lihat tempat ini dengan puas, Abah yang entah bagaimana caranya sudah berdiri di ambang pintu memperhatikan aku. Rupanya lelaki tua itu sudah kembali dari makan bagja. Di jam seperti ini, muncul secara tiba-tiba layaknya makhluk gaib yang mengejutkanku. Dia tidak banyak bicara, hanya saja, aku merasa tertangkap basah. Kemudian, dengan segera, aku berlari ke kamar depan, menyebabkan kelambu di ranjang tempat Nia sudah menyulam mimpinya.
Pelan-pelan, aku menaikkan kaki ke atas ranjang yang memang sering kali berbunyi jikalau kami yang berada di atasnya bergerak-gerak. Sementara itu, aku tidak tahu lagi, apa yang dilakukan Abah. Lebih tepatnya aku tidak mau tahu. Tak lama, aku merasakan hawa dingin mulai menusuk tulang. Padahal, jelas-jelas di kamar kami tidak ada satu buah pun kipas angin, entah itu yang di gantung di atas, kipas angin kecil yang seringkali di taruh di meja, apalagi kipas angin besar yang berdiri kokoh seperti yang ibu punya dahulu. Aku menghadap ke arah Nia. Kemudian mencoba memejam pejamkan mata. Sementara, aku merasa seseorang masih mengintai pergerakanku dari luar kamar. Lelaki tua itu, pasti bertanya-tanya kenapa aku mengendap endap ke ruangan tersebut. Entahlah, yang jelas, aku harus cepat tertidur. Sebelum ia bertanya lebih banyak hal lagi, meskipun aku tidak yakin, Abah akan banyak bertanya.
Malam ini, malam jum’at. Malam yang biasa bagiku di Kota. Tapi tidak di tempat ini. Karena ini adalah awal dari tiap kejanggalan-kejanggalan yang terjadi.