Bab 6 : Rindu

1146 Words
Sepulang sekolah, Adi tidak langsung ke rumah milik nya, melainkan ke mansion besar milik keluarga pamungkas yang saat ini ditempati oleh sang kakek bersama dengan Tante, paman dan sepupunya. Hanya mereka berempat lah yang menempati mansion sebesar itu, sedangkan saudara ayahnya yang lain telah memisahkan diri sibuk mengurus bisnis masing-masing. Sesampainya di mansion, ia hanya menemukan kesunyian dan hanya beberapa pekerja yang terlihat hilir mudik mengerjakan sesuatu, sedangkan anggota keluarga nya sama sekali tidak terlihat, terlebih sepupunya yang memang tinggal di sini. "Wah, tiba-tiba si cupu pulang ke mari, ada apa?" Adi tersentak kaget langsung menatap ke arah orang yang baru saja berteriak dari pintu masuk. Ia juga terkejut melihat jejeran anak sekolah yang sedang menatap nya dengan remeh seolah dirinya adalah sampah. "Tante Ke mana, Bang?" Tanya Adi dengan sopan, ia ingin berbicara dengan kakeknya mencari petunjuk satu persatu. "Gak tau, dan gue gak mau tahu ke mana tua bangka itu." Jawab sepupunya dengan acuh, sepupunya dari pihak adik ayahnya ini berbeda sekolah dengannya, tapi tak jarang saat kumpul keluarga mereka akan bertemu dan sepupunya ini akan mengeluarkan kalimat-kalimat kasar yang ditunjukkan untuknya. "Tua bangka ini juga kakek kamu, Vin." Celetuk seseorang dari arah belakang Kevin dan membuat semuanya terperenjat kaget, terlebih kevin yang sudah cengegesan menatap tetua keluarga Pamungkas itu. "Hehehe..." "Hahehae, belum pernah kakek iket bibir kamu itu yah, durhaka ngatain kakeknya sendiri tua bangka." Pamungkas menatap ke arah cucunya yang sangat jarang sekali datang ke mansion ini, bahkan dalam sebulan bisa dihitung jari cucu pertamanya ini datang. "Woah... Cucu kakek datang, ada apa gerangan? itu luka kamu kenapa lagi tadi?" Tanya Pamungkas yang tadinya sudah mengetahui luka di siku cucunya hanya saja ia merasa heran dari mana Adi dapatkan semua luka yang bahkan dalam beberapa hari berturut-turut Adi dapatkan, padahal di antara semua cucunya yang paling baik budi hanya Adi dan yang paling tidak neko-neko. Adi melirik sikunya begitu juga dengan Kevin yang tampak terkejut, dengan cepat Kevin menghampiri sepupunya itu dan meneliti semua luka yang baru ia sadari. "Kenapa ini? lo jadi berandalan sekarang? ngapain elah, udah bagus lu jadi anak rumah aja jangan jadi berandalan cukup gue aja yang punya banyak musuh, lu jangan." ujar Kevin yang sebenarnya mengandung makna perhatian jika Adi lebih resapi kata-katanya. "Jawab gue, malah diem sambil senyum lagi lu, gak laku senyuman lu." "Gak papa, kemarin gue di begal, hari ini gue di serempet angkot." Jawab Adi dengan senyuman yang mengembang, inilah yang membuatnya ragu jika mimpi itu bermaksud mengatakan jika keluarganya terlibat dalam kematian kedua orang tuanya, sebab perlakuan keluarga yang sangat baik bahkan sangat menjaganya. "g****k! gitu aja bisa keserempet, lagian lu di mana kena begal, perasaan jalan dari sekolah ke rumah lu jalanan ramai 24 jam. Jangan nipu lo yah, ayo bilang lu lagi ada masalah sama geng motor mana?" Adi menggeleng, kenapa ia melupakan jika sepupunya ini tergabung dalam geng motor, sudah tentunya memiliki kenalan geng motor lainnya. "Gue gak inget, itu kejadiannya malam waktu gue mau beli makan." "Kan, udah gue biang elu tinggal di sini aja dari pada di rumah sebesar itu tapi sendirian. Yah kan Kek?" Tanya Kevin meminta persetujuan dari sang kakek atas penyataannya. Pamungkas yang mendnegar itu sontak mendnegus pelan. " Baru inget kakek kamu, dari tadi nyerocos terus. kalau Adi kenapa-kenapa baru perhatian, tapi kalau jumpa mulutnya pedes banget." "Yah kan itu mah bentuk kasih sayang Kevin, Kek. dah lah mulai besok gue tinggal di rumah lu, Di. Nemeni elu." Adi tidak mengangguk tidak pulak menggeleng, kalau ada kevin di rumah itu mungkin ia akan lebih tenang sebab ada teman dan mungkin saja mimpi aneh itu tidak akan terjadi lagi. pada akhirnya Adi mengangguk menerima saran Kevin. Kevin tersenyum puas, sedangkan Pamungkas berdecak kesal ketika niat nya yang ingin mengajak Adi untuk tinggal bersama di mansion miliknya ini, tapi cucu sialannya itu malah mendahuluinya. "Oh ya, Adi kenapa nyari kakek, ada apa?" "Adi mau bicara sama kakek, BERDUA!" Tekan Adi begitu melihat Kevin hendak menyela seakan ingin ikut serta dalam obrolannya, padahal pemuda itu tengah membawa teman-temannya kenapa malah tidak pergi-pergi. Pamungkas sendiri sudah terkekeh geli melihat interaksi kedua cucunya, sebuah pemandangan yang langka terjadi di dalam rumah ini. Semoga saja sesuatu tidak merusak semua yang sudah ia bangun sejauh ini. Tanpa mengatakan apa pun, pamungkas segera merangkul Adi membawa pemuda itu menuju ruang kerjanya. Sedangkan Adi sendiri sebenarnya cukup terkejut, ia berusaha melepaskan rangkulan itu tapi rasanya sangat tidak sopan, demi apa pun ia merasa tidak nyaman, padahal sebelumnya ia bisa saja. Dan juga mansion ini entah kenapa malah terasa mencekam dan sedikit tidak bersahabat baginya. "Ada apa? Wajah kamu kok tegang gitu?" Adi gelagapan, ia tidak ingin sang kakek tersinggung. "Gak papa, Kek. Mungkin karena luka ini." Pamungkas mengangguk, menunggu cucunya sendiri yang membuka topik pembicaraan siang hari menjelang sore seperti ini. "Em... Kek, Adi ijin bertanya, Adi membutuhkan ini untuk menepis praduga itu." "Praduga apa?" Adi menggeleng. "Kek, bisa tunjukin berkas hasil investigasi polisi atas kecelakaan ayah dan bunda? Adi mau lihat." Pamungkas tampak terdiam menatap Adi dengan sendu. Ia tidak menyangka jika cucunya ini akan membicarakan perihal yang sudah ia kubur dalam-dalam. Adi yang menyadari jika sang kakek tengah menahan kesedihan seketika merasa bersalah telah mengungkit hal ini, akan tetapi ia membutuhkan bukti yang konkret atas kecelakaan orang tuanya. "Kenapa kamu bahas ini? Kamu rindu mereka? Ayo kakek antar ke pemakaman nya, tapi janji kamu jangan ungkit hal ini lagi, kakek gak mau liat kamu sedih." "Kek, maaf kalau Adi sudah mengungkit hal ini setelah bertahun-tahun kita tutup lembaran. Tapi ada yang ingin Adi ketahui, demi apa pun Adi tidak papa, Kek. Sedih pasti ada, apalagi rindu, hanya saja Adi tidak bisa berbuat apa-apa." Pamungkas mengangguk, ia yang seorang ayah kehilangan anaknya sesakit ini, bagaimana dengan sang cucu yang kehilangan ayah dan bundanya sekaligus, bahkan tepat bersamanya saat itu. "Kenapa kamu ingin tahu berkas itu?" Tanya pamungkas heran. Sebenarnya tidak mengherankan sih, wajar jika cucunya ini ingin mencari tahu sebab ketika kejadian nahas itu terjadi Adi masih lah sangat kecil sehingga tidak mengerti apa yang sebenarnya ia alami. Dan saat beranjak dewasa seperti sekarang rasanya sangat wajar jika Adi mempertanyakan hal demikian setelah bungkam bertahun-tahun. Dengan pelan pamungkas bangkit dari duduknya menuju rak kedua dan menekan sebuah tombol yang terletak di antara buku itu. Seketika rak yang berisi buku terbuka seperti pintu menuju sebuah ruangan gelap yang baru Adi ketahui. Adi ikut berjalan menghampiri sang kakek dan melihat pria paruh baya itu mengusap sebuah map berwarna merah lengkap dengan foto-foto yang ada di sana. "Sini, kamu mau tahu ini kan?" Adi mengangguk lalu mengambil posisi dudu di sebelah pamungkas. Di berkas itu terdapat foto ayah dan bundanya yang terlihat tampan dan juga sangat cantik. mata Adi memanas seketika. Ia merasa sangat rindu dengan keduanya, hidup sendiri di rumah yang cukup besar terkadang membuat Adi kerap merasa kesepian yang bahkan sampai membuatnya berpikir untuk menyusul kedua orang tuanya. "Ayah, bunda. Adi rindu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD