Bab 5 : Isyarat Jefri

1132 Words
Adi berjalan menjauhi kakeknya tanpa memperdulikan tatapan sang kakek yang kebingungan, entah dorongan dari mana yang jelas ia merasa harus menjauhi pria paruh baya itu. Di tengah kekhawatiran nya, Adi berfikir ia harus segera mencari tahu penyebab ini semua. Sambil berjalan santai, Adi mencoba menutupi luka yang ka terima di sikunya, sedangkan untuk di lutut masih bisa di sembunyikan karena celana sekolahnya tidak robek. "Adi, Kenapa malah pergi? Itu lukanya kenapa lagi? Kamu dibegal lagi?" "Gak, Kek. Adi ke UKS dulu," jawabnya tanpa melihat kakeknya lagi. Ia berjalan dengan cepat tanpa ringisan menghindari tatapan siswa lain yang selalu kepo dengan apa yang terjadi tanpa kau membantu. Sesampainya ia di UKS, dirinya sama sekali tidak menemukan satu pun petugas kesehatan yang berjaga, sedikit ada rasa lega namun juga kebingungan untuk mengobati luka di sikunya yang sangat sulit dijangkau karena terluka dua-duanya. "Kok petugas gak ada semua? Ini sekolah UKS nya kagak bener." Tak lama setelah mengatakan itu seorang siswa dengan seragam khas Angkota UKS datang dengan wajah penuh sesalnya. "Maaf, bang. Tadi saya dari toilet." Adi tak menjawab dan hanya mengangguk, ia membairkaj siswa yang ia duga merupakan adik kelas itu asyik mengobatinya, sedangkan dirinya sendiri masih terus berfikir tentang yang terjadi padanya beberapa waktu ini, mimpi itu seakan menjadi petunjuk akan hal sesuatu, tapi entah apa. Ia masih menebak-nebak keterkaitan mimpi itu dengan tragedi yang menimpa kedua orang tuanya, tapi yang ada di ingatan nya mereka meninggal lantaran kecelakaan tunggal di jalan tol ketika hendak pulang setelah merayakan ulang tahun pernikahan. Tapi di mimpi itu seolah menceritakan sebuah kisah tragedi yang berbeda dari yang ia ingat sekarang, di mimpi seolah ia menyalahkan dan menuduh keluarganya sebagai dalang dari kematian itu dan itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, itu menjadi mimpi yang berulang seperti sebuah cerita yang memiliki alur nya, ia malah merasa hidup di dua alam. Sebentar, dua alam? Maksudnya? Dimensi yang berbeda gitu? Apa mungkin ada kehidupan seperti itu. Ia harus segera mencari tahu semua nya sebelum semakin terlambat. Lamunan Adi buyar ketika lengannya disentuh oleh siswi yang tadi mengobati lukanya, ia melihat ke arah luka yang sudah diobati lalu menatap gadis itu dalam diam, membuat sang gadis yang ia ketahui bernama Tya dari name tag nya merasa malu. "Nanti lukanya dibersihkan rutin biar gak infeksi, sama perbannya juga diganti." Adi mengangguk, sebenarnya tanpa di perban juga tidak masalah, ia sama sekali tidak merasakan sakit yang berlebihan mengingat luka yang ia dapatkan sangat lebar dan terlihat sangat menyakitkan, hanya saja yang ia rasakan sekarang hanyalah rasa perih sedikit dan selebihnya tidak ada lagi. Adi semakin yakin jika dunia dua dimensi itu memang benar adanya, buktinya dengan luka yang terjadi di tubuhnya,.sangat tidak mungkin jika sebuah mimpi bisa menghantarkan luka secara nyata seperti di mimpi itu. Merasa tidak ada gunanya berada di UKS lagi, Adi memutuskan untuk keluar dari sana menuju ruang kelas yang ternyata sudah memulai jam pembelajaran, Adi melirik jam tangannya sejenak dan langsung berjalan cepat begitu menyadari jika dia sudah telah hampir setengah jam "s**t! Yang ngajar pak munar lagi," rutuknya begitu mengintip dari celah jendela kaca dan melihat salah satu guru killer lah yang masuk di kelasnya. "Adi! Ngapain ngintip?" Adi langsung terperenjat kaget begitu mendengar suara milik pak Munar yang tiba-tiba memergokinya sedang mengintip dari luar, mau tidak mau yah dia terpaksa masuk dan tidak bisa mengelak lagi. "Ngapain?" Tanya pak Munar to the point. Adi menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, sembari menatap teman-teman nya yang sama sekali tidak peduli terhadap dirinya dan itu sudah biasa ia terima, sangat berbeda dengan teman nya yang ada di dalam mimpi itu, di sini ia tidak memiliki teman satu pun. "Emm... Sa-saya baru dari UKS, Pak." Pak Munar tampak meneliti penampilan nya dan terkejut begitu menyadari jika siku nya sudah terbalut perban. "Itu kenapa kamu? Habis jatuh dari mana?" "Tadi pagi ketabrak angkot, Pak." Lagi lagi Adi harus menyiapkan sebuah kebohongan untuk menutupi apa yang telah terjadi sebenarnya. Bercerita pun ia tidak akan yang percaya terhadap ceritanya, karena bagi orang yang tidak pernah mengalami ini hanya sebuah cerita bohong yang sengaja ia karang. "Adi, Adi. Silahkan duduk kamu." Adi menunduk lalu berjalan setelah mengucapkan terima kasih, akan tetapi belum sempat ia mencapai bangkunya, ucapan seorang siswa yang berada paling depan membuat ia mengurungkan niat itu. "Wow, ternyata bener yah, kalau kekuatan orang dalam itu luar biasa, kalau dia yang terlambat selama apa pun itu yah biasa aja." Celetuk nya tanpa takut dengan pak Munar yang sedang menatapnya dengan tajam. Adi menghela nafas pelan, selalu saja begini. Di satu sisi ia merasa tidak enak, sedangkan di lain sisi ini adalah keberuntungannya yang tidak bisa ia pilih sewaktu dilahirkan sebagai salah satu anggota pamungkas. "Udah jangan bising, Adi silahkan duduk. Lagian alasan dia jelas, bapak gak pernah bedakan mana cucu pemilik yayasan, mana anak donatur,. Semua sama! Dan Adi bapak suruh duduk karena kasian luka dia itu. " "Halah paling akal-akalan dia itu," sahut siswa itu lagi yang seakan tidak pernah puas jika melihat jalan Adi dipermudah. "Lu ada masalah apa sebenarnya sama gue?" Tanya Adi yang sudah tidak tahan lagi melihat kebencian teman sekelasnya itu. "Masalah gue? Gue gak suka lu bagian dari pamungkas! " "Terus elu gitu?" Tanya Adi dengan wajah yang tenang seolah tengah mengatur strategi bagaimana cara menjatuhkan siswa yang selalu mencari gara-gara dengannya. Siswa itu tampak berdiri dengan pongah menatap Adi dengan remeh. "Iya, harusnya gue! Kenapa? Gak terima?" Bukannya menjawab Adi malah tertawa keras seolah yang disampaikan siswa itu bukanlah sebuah ucapan serius, melainkan hanya sebuah candaan. "Hahahaha lucu, anak hasil hubungan gelap minta hak. Yakin lu punya hak? Yang emak lu ganggu juga cuma anak angkat, so! Di dalam diri lu gak ada darah pamungkas mengalir, jadi jangan sok-sok an mau jadi bagian keluarga gue! Sadar lu, Jef. Jangan kebanyakan ngigo!" Balas Adi santai namun membuka sebuah rahasia gelap keluarga pamungkas secara tidak sadar, banyak siswa yang menatap Jefri dengan terkejut dan tercengang tidak menyangka. Well, selama ini Adi membiarkan Jefri mengusiknya, tapi kali ini tidak! Ia harua membalas perbuatan Jefri yang tak lain adalah sepupunya dari anak angkat sang kakek. "Anak pelakor ternyata, well Jefri terlalu ngarep sih. " "Ya kirain beneran mengalir darah pamungkas." "Adi berdamage kalau lagi marah yah, tenang tapi kata-kata nya nyelekit." Dan semua bisikan itu membuat darah Jefri terasa mendidih, dengan segala emosi yang ada di benaknya, Jefri menatap Adi dengan tajam seolah menyiratkan sesuatu. Sambil tersenyum remeh Jefri menatap Adi yang masih tampak tenang di sampingnya. "Lu bisa dengan bangga ngakuin Pamungkas sebagai keluarga lu, tapi liat nanti ketika kebenaran terbongkar, lu akan tahu apa arti keluarga uang sebenarnya dan apa arti musuh dalam selimut." Adi tertegun, ia menatap ke arah Jefri yang keluar dari dalam kelas tanpa memperdulikan teguran pak Munar. Adi merasa perkataan Jefri mengandung maksud lain yang berhubungan dengan keluarga pamungkas. Tapi apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD