Bab 23: Jefri Anak Dajjal

1007 Words
Selepas makan tadi, Adi dengan Kevin memutuskan untuk berdiskusi terlebih dahulu di kamar milik Adi. Keduanya tampak menyusun strategi untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga yang nantinya bisa mengacaukan semua rencana miliknya. "Ruang kerja itu masih diposisi yang sama kata bokap gue," ujar Kevin yang tadinya sudah masuk ke dalam ruang kerja itu dan memotret kondisi ruangan tersebut lalu dikirim kepada ayahnya di negeri Jiran. Adi mengangguk mengerti "Berarti kita gak susah karena posisi semuanya masih sama." "Yaudah, ayo masuk ke sana. Gak usah terburu-buru. Waktu kita masih banyak." "Punya waktu banyak bukan berarti ada kesempatan yang serupa kan?" Sahut Adi sambil berjalan keluar kamar membawa buku paket pelajaran menuju ruang kerja yang sudah menjadi milik mereka. Kevin sendiri terkekeh geli, lalu mengikuti langkah Adi menuju ruangan itu, kali ini mereka hanya memantau keadaan ruangan secara intens saja. Sebab, mereka masih kurang terlalu memahami tata letak di ruang ini yang nantinya akan menjadi sebuah kendala untuk rencana mereka. Sesampainya mereka di dalam ruangan itu, Adi yang untuk pertama kalinya masuk ke sini takjub luar biasa kelihatan jika ruangan ini sangat luas. Terdapat beberapa rak berkas dan ada banyak tak buku yang berjejer rapi mengelilingi ruangan, di tengah ruangan ini ada meja dan kursi yang kemungkinan besar adalah meja kerja milik kakeknya dulu. Belum lagi lampu hias yang besar nan mewah tergantung di tengah ruangan. Menambah kesan elegan ruangan yang sangat jauh dari khayalan Adi tadi. Kevin yang melihat keterkejutan sepupunya itu terkekeh geli, respon Adi Persib seperti responnya tadi begitu masuk ke dalam sini. Ia tidak menyangka jika ruang kerja yang tidak terpakai itu merupakan ruang kerja mewah. Seberapa kaya sebenarnya keluarganya ini? "Gila, ruang kerjanya bikin gue geleng kepala." Takjub Adi menatap Kevin yang terkekeh geli sedari tadi. "Gila kan, sekaya apa keluarga kita ini? Sampe ruangan mewah gini gak digunakan lagi. Lampunya aja udah berapa ratus juta itu." "Dalam otak gue ruang kerjanya kecil dan banyak tumpukan berkas. Eh malah ada lemarinya dan ada petunjuknya lagi." "Hahahah... Bagus lah, mempermudah kita. " Adi menggeleng pelan. "Kata om Rendy, kalau keliatan mudah belum tentu mudah, bisa aja ini hanya berkas biasa berkas penting ada di tempat lain?" "Iya juga sih, mudah-mudahan aja ada di sini deh." Adi mengangguk pelan, selanjutnya mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing, di mana Adi tengah memutari ruangan menjelajah sebelum besok menjajah nya seisi ruangan. BRAK! Pintu terbuka dengan suara nyaring yang mengejutkan kedua pemuda itu. Tampak kevin yang tengah berbalas pesan dengan teman sekelasnya langsung menjatuhkan ponsel miliknya lantaran kaget. Sedangkan Adi sendiri hanya mengurut d**a seraya menghembuskan nafasnya pelan begitu melihat siapa dalang di balik pintu tadi. "Rajin bener, mau caper?" Tanya orang itu dengan wajah mengejek berniat untuk memancing emosi keduanya.. Tapi baik Adi maupun Kevin, keduanya sama-sama tiram memperdulikan kehadiran orang itu yang gak lain dan tak bukan adalah Jefri. Kedatangan Jefri tentunya menjadi ancaman besar nantinya untuk rencana mereka. Dan beruntung bukan hari ini mereka memulai rencana itu, paling tidak Jefri hanya melihat mereka membawa buku pelajaran. "Ngapain Lo?" Tanya Kevin sinis. Ia tidak bisa seperti Adi yang menunjukkan sisi kebencian dengan tenang. Jefri tidak menjawab melainkan berjalan menuju kursi belajar yang berada di sudut ruangan. "Kevin dan Adi, dua sepupu yang tidak pernah dekat sebelumnya mendadak menjadi akrab, ada apa sebenarnya?" Tanya Jefri dengan mimik wajah yang curiga. Kevin berdecih pelan. "Kenapa? Iri?" "Iri?" Jefri geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan dari kevin. "Gue? Iri sama kalian? Mimpi, dude!" "Terus kalau gak iri, apalagi dong? Orang yang pengen tahu banget urusan orang lain." Balas Kevin yang semakin membuat keadaan memanas. Sedangkan Adi sendiri memilih diam sedari tadi. Bukan karena tidak bisa, melainkan malas meladeni Jefri yang memiliki tabiat tidak senang melihat orang damai. "Cuih... Gue gak iri! Cuma heran aja yah kan, kayak ada tujuan tertentu kalian balik lagi ke sini." "Mau kita balik atau enggak itu urusan kita sebenarnya, dan lu gak ada urusannya di sini." Jefri langsung menatap Adi yang tiba-tiba bersuara. "Woah, anak yatim piatu akhirnya buka mulut dong." Adi memejamkan matanya menahan emosi yang tiba-tiba naik begitu statusnya sebagai anak yang tidak lagi punya orang tua lagi. "Diem? Atau jangan-jangan lu yah yang buat bokap nyokap lu mati? Tapi bagus sih dia mati, paling tidak hartanya nyiprat ke gue. " "Yakin banget lu bakal kecipratan. Setau gue anak tiri gak ada tuh bagian dapat harta warisan," sahut Adi sarkas. Kevin tersenyum miring mendengarnya. Terlebih ketika melihat Jefri yang terdiam dengan kedua tangan yang terkepal erat. "See, lu gak bisa ngomong kan? Lagian anak tiri aja belagu kayak anak kandung." Cibir Kevin yang semakin membuat Adi semakin marah. "b*****t memang kalian dua. Btw, gua kasih tau yah, apa yang kalian cari gak ada di sini, jadi jangan seneng dulu udah berhasil masuk ke ruang utama mansion ini." Jefri meninggalkan ruang kerja itu tanpa memperdulikan dua orang yang terkejut mendengar pernyataan dari pemuda itu yang seolah-olah Jefri sudah mengetahui apa yang menjadi tujuan mereka datang kembali ke mansion ini. Kevin menatap Adi begitu juga sebaliknya. Mereka seolah tengah berbicara lewat tatapan mata yang membuat keadaan hening seketika. "Jefri tahu tujuan kita?" Tanya Kevin sarat akan kekhawatiran. Adi menggeleng tidak tau. "Biarin aja dia tahu. " Kevin melotot kaget mendengar ucapan Adi. "Kalau dia tahu gawat dong!" "Gawat kenapa?" "Yah gawat, dia bakal ngasih tau semua orang." Adi kembali menggeleng. "Dia tahu kita ada tujuan ke sini, tapi dia gak tau apa tujuan kita." Kevin menggeleng tidak mengerti. " Terus? Kan sama aja dia jadi tau." "Ibaratnya beli buah, dia cuma tau kulit nya tapi gak tau di dalam nya gimana. Jadi dia hanya tahu kita ada tujuan, tapi gak tau apa tujuan nya itu." "Akh, iya paham. Tapi bisa aja Jefri denger apa yang kita bicarakan." "Kamar kita berdua itu kedap suara. Dan ruang kerja ini juga. Kalau gak percaya coba aja. " Adi kembali membuka bukunya, melanjutkan bacaan yang sempat tertunda tadi. "Jafri anak Dajjal memang, buat orang panik aja kerjanya. " gerutu Kevin yang membuat Adi terkekeh geli. jika Adi tenang menghadapi gertakan lawan, maka berbeda dengan Kevin yang panik dan akan ketakutan tidak tentu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD