Bab 30: Terluka di markas

2410 Words
Kedatangan Adi tentunya membuat suasana markas terasa semakin ramai, apalagi sebagian anak masih kepo tentang Adi dan ingin lebih dekat, mereka tidak habis-habisnya mengajak pemuda itu untuk melakukan hal-hal yang menjerumuskan Adi kepada kesesatan. Seperti saat ini, dengan segala kejahilan dan pikiran setannya. Natha yang sudah pulang dari sesi belanja memberikan pertanyaan menjebak untuk Adi yang kalah setelah main kartu. "Di, lu udah pernah ekhem belum?" Tanya Natha yang langsung dihadiahi lemparan Sukro oleh Kevin. Ia tidak terima sepupu b**o nya ini di kotorin pikirannya. "Pertanyaan lu kambing! Jangan buat sepupu gue ternodai." "Yah apa salah nya nanya, secara Adi ganteng, muka blasteran, masa gak ada yang suka." Balas Natha sembari mengusap wajahnya yang tadi terkena lemparan Sukro, bahkan kulit kuaci yang basah oleh air liur. "Jawab elah, " sambung nya yang geram karena Adi tidak kunjung menjawab. "Ekhem itu apa?" Tanya Adi kelewat polos yang membuat Natha menepuk jidatnya. Sedangkan Arthur, aksara, Kevin sudah terkekeh geli. "Itu loh Nana nina," ujar Natha dengan menggunakan bahas kiasan lainnya berharap Adi dapat mengerti. "Nina Bobo? Pernah lah, waktu bayi dinyanyiin bunda." Jawab Adi dan berhasil mengundang gelak tawa temannya yang lain, Arthur yang melihat Adi kebingungan pada akhirnya membawa pemuda itu menuju dapur. "Tadi nyusun belanjaan belum siap, mari kita lanjut. Lagian lu mau masak rendang, jadi sekarang kita masak." Adi mau tidak mau mengangguk, sedangkan Natha yang ditinggal tanpa ada jawaban pun hanya mendesah pasrah, jika Arthur sudah berkata maka ia hanya bisa dia pasrah. "Lu nyusun itu, gue mau masak rendang dulu, mana daging nya?" Arthur menunjuk ke arah plastik hitam yang besar dan benar saja begitu dibuka Adi isi nya adalah daging yang sangat banyak. Bahkan Adi bingung ini bagaimana cara memasak nya. "Daging nya bagi dua aja lah yah, kebanyakan banget kalau di rendang semua." "Terserah Elu, kan Elu yang masak." Adi mengangguk, lalu mulai kegiatan masak rendangnya. Selagi adi fokus dengan masakannya, Arthur memilih menyusun belanjaan yang tadinya sempat terhenti lantaran ia mengobrol dengan Adi. Hingga beberapa jam kemudian, keduanya baru selesai dari area dapur saat keadaan sudah gelap. Bahkan markas sudah sepi lantaran beberapa anggota sudah pulang dan akan kembali lagi nanti. "Di, mau pulang atau mandi di sini sekalian?" Adi melihat ke arah Kevin yang ternyata sudah berganti pakaian, ia sendiri masih mengenakan pakaian ketika pulang dari makam kedua orang tua nya. "Gak ada baju gue." "Baju gue ada banyak di sini, pake aja." Adi tampak berpikir sejenak. Menyadari ada keraguan dalam diri Adi. Kevin menghela nafas pelan lalu menarik sepupunya menuju kamar yang berada di dekat pintu masuk. "Pake aja, gue gak ada penyakit menular." "Gue gak mikir gitu, cuma gue orang baru masa masuk kamar orang sembarangan." "Halah, ini kamar Arthur sama gue kalau gak pulang, bentar lagi juga jadi kamar lu." "Ya kali, udah Sono lu keluar, gue mau ganti dulu. Sekalian deh telpon orang rumah bilang gue gak balik, males balik gue." Kevin mengangguk, lalu keluar dari kamar bergabung dengan anggota yang lain nya, namun sebelum itu ia menelpon orang rumah sesuai titah Baginda Adi. Begitu sambungan telpon terhubung, lebih sedikit menjauh dari teman-temannya yang tengah bermain gitar dan bernyanyi bersama. "Kek, kita gak balik malam ini, nginap di markas." "Adi sudah makan? Kamu?" "Udah tadi, ini sebentar lagi makan malam bareng-bareng. Yaudah, Kevin tutup dulu." Kevin masuk kembali dan melihat Adi yang tengah duduk di antara teman nya yang lain. Melihat kedatangan Kevin, Adi sedikit mendongak menatap sepupunya dengan penuh tanya. "Udah, kata kakek jaga diri." Cibirnya pelan saat tahu sepupunya itu menanyakan hasil obrolan dirinya dengan sang kakek. Adi mengangguk lalu kembali larut dengan suasana menyenangkan yang jarang ia rasakan selama ini. Terlebih ketika dirinya memilih untuk tinggal sendiri di rumah peninggalan kedua orang tuanya. "Adi, rendang gue udah masak belum?" Adi sedikit memundurkan wajahnya agar bisa melihat siapa yang sedang berbicara di antara beberapa teman nya. "Udah tuh, di belakang," ucap Adi sembari menunjuk area dapur. Aksara yang tadinya fokus bermain game di ponsel nya langsung melemparkan benda itu seolah itu adalah benda tidak ada harganya. Ia hendak berlari menuju dapur sebelum sebuah tangan mencegah niatnya dan menatap nya tajam. "Tunggu yang lain," ujar Arthur tegas. Jangan salah, Arthur meskipun terlihat slengekan pada saat-saat tertentu akan berubah menjadi sosok yang tegas dan menyeramkan seperti saat ini, aksara langsung mundur teratur bagai anak ayam yang sedang diusir oleh majikannya. "Mampus." Aksara mendelik melihat Natha yang mengejeknya dengan suara pelan, bahkan nyaris tidak terdengar, hanya ia saja yang bisa membaca gerakan bibir tebal itu. Adi sendiri hanya menahan senyumnya lantaran melihat dua orang itu terlibat saling ejek. Tak lama terdengar deru motor dari arah luar yang sepertinya beberapa anggota yang tadinya pulang kembali lagi ke markas. "Woah, rame nih." "Rame, ada rendang soalnya." Celetuk Natha yang membuat aksara langsung menendang b****g pemuda itu sampai nyungsep dari sofa yang sedang di duduki. "Anjim! Sakit banget muncung gue." Ringis Natha yang langsung bangkit dari jatuhnya. Aksara yang menjadi penyebab itu hanya menatap nya santai tidak merasa bersalah sama sekali. "Kenapa sih Ra? Kok kesel banget kayaknya." "Yah jangan bilang-bilang dong, nanti rendang gue habis." Arthur menggeleng heran dengan sifat dua temannya yang memang memiliki sifat seperti tom and Jerry, tapi kalau salah satunya tidak ada pasti saling cari. "Gue masak banyak kok, bakal cukup buat kita," ucap Adi menengahi pertikaian antara aksara dengan Natha. Seketika Natha langsung memberikan cibiran dan ejekannya kepada Aksara. " Rakus yah gitu." "Mau gue tendang sekali lagi?" "Males, kaki lu bau kurap!" "Anak anjim! Bikin emosi aja kerjaan lu." "Dari pada ribut terus, bagus lu pada angkatin tuh piring mumpung udah ngumpul semua." Titah Kevin yang jengah melihat perdebatan yang tidak ada habisnya. "Cuma ini orang nya? Yang lain mana?" "Aksa, Reno, sama Ari gak bisa ikut, lagi ada acar katanya." "Acara apaan? Sok sibuk amat," sahut Natha dari arah belakang yang ternyata telinga nya masih ketinggalan di ruang tengah. Adi datang membawa wadah besar berisi rendang yang telah ia masak tadi. Kevin yang melihat sepupunya kesusahan langsung berinisiatif membantu nya sembari mencuri satu potong daging tanpa sepengetahuan yang lain, tapi aksi Kevin itu bisa terdeteksi aksara yang sedari tadi memantau rendang miliknya. "Buka mulut lu." Paksa aksara yang mau tidak mau langsung dituruti Kevin. "Rendang gue gak ada harga dirinya banget dah, paket sendok Napa lu ambil nya markonah." Kevin terkekeh pelan seraya meletakkan wadah itu dengan mulut yang mengunyah daging. Selepas makan malam, Adi yang memang sudah lelah dan mengantuk ijin masuk ke dalam kamar yang tadi ia gunakan untuk mengganti pakaian. Begitu merebahkan diri di atas ranjang yang berukuran besar, Adi langsung menguap merasakan jika matanya semakin memberat karena mengantuk. BRAK! Adi langsung terbangun dengan wajah yang amat sangat kaget. Ia mencari cari asal suara tersebut dan langsung terkejut begitu melihat ia tengah berada di atas ranjang yang berbeda. Adi jadi mengingat tingkah sang kakek saat di pemakaman tadi, apa alasan kakeknya itu mengatakan jika semua orang menyayanginya? Ia tidak merasa sedang disayangi selama belasan tahun. Pusing memikirkan hal ini, Adi memutuskan untuk mengisi perutnya yang kebetulan sudah meronta minta di isi. Begitu membuka tudung saji, Adi hanya menemukan roti tawar dan selai nanas kesukaannya. Merasa jika roti itu tidak bisa menghilangkan rasa laparnya. Adi memutuskan untuk memasak mie rebus saja, hanya memerlukan waktu yang singkat dan tidak membuatnya repot. Sembari menunggu air mendidih, Adi kembali memikirkan perkataan pamungkas yang awal nya ia anggap sebagai bualan semata, tapi bisa jadi itu adalah kenyataan nya. Selama belasan tahun ini dia lah yang memilih menepi padahal pamungkas sudah mengajak nya untuk tinggal bersama, bahkan di saat umurnya masih belia ia memutuskan untuk ikut paman Rendy nya yang dalam artian tinggal bersama Kevin. Keduanya memang tumbuh bersama, tapi begitu masuk sekolah menengah pertama Adi memutuskan untuk tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya. Adi tersadar dengan air nya yang sudah mendidih karena merasakan uap yang panas. Dengan cepat ia memasukkan mie instannya beserta bumbu dan memberikan irisan cabai rawit agar ada sensasi pedas. Pemuda itu makan dengan raut tenang tanpa orang lain tahu jika sebenarnya ia tengah memikirkan banyak hal. Rencana nya hari ini ia akan datang dan tinggal di mansion itu, guna mencari bukti yang perlahan akan menghancurkan keluarga pamungkas sampai ke akar-akarnya. "Di, jadi pindah gak?" Adi langsung melihat ke arah pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, ternyata di sana sudah ada Kevin sepupunya yang entah sejak kapan bisa masuk tanpa memerlukan pintu dari nya. Menjawab pertanyaan Kevin hanya dengan anggukan. Adi menyimpan wadah bekas makan nya lalu naik masuk ke kamar pribadi dan mengambil koper yang memang sudah ia susun perlengkapan selama tinggal di sana. "Gue juga bakal tinggal di sana." Adi terlihat kaget mendengar ucapan Kevin yang malah ikut tinggal bersama nya. Padahal ia tidak meminta hal ini. "Yah, pengen aja liat peperangan antara Adi si kulkas dan Jefri si ember bocor," ujar Kevin sambil terkekeh geli begitu membayangkan Adi yang dingin harus berhadapan dengan Jefri sepupu yang memiliki mulut seribu dan selalu memancing keributan. Adi hanya mendengus tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dan Kevin sudah biasa diperlakukan seperti itu. Keduanya memilih diam selama di perjalanan menuju mansion. Memang rencana kepindahan ini sudah diketahui sang kakek dan disambut dengan riang, sehingga kemungkinan besar Kevin datang menjemputnya pun atas perintah tetua pamungkas itu. Begitu sampai di mansion, Adi dengan gaya yang dibuat sedatar mungkin keluar dari dalam mobil dan masuk tanpa mengetuk pintu meninggalkan Kevin yang berdecak kesal lantaran harus membawa koper Adi yang cukup berat. Adi membuka pintu mansion dengan lebar, seakan memposisikan diri sebagai hadiah yang membuat orang terkejut, benar saja. Adi bisa melihat keterkejutan dari masing-masing binar mata keluarga besar nya. Ia tersenyum sinis begitu melihat respon keluarga tersebut, baginya ini adalah sebuah keberhasilan yang nantinya akan membuat kesengsaraan. "Adi, akhirnya kamu datang juga. Terima kasih sudah mau kembali tinggal di sini." Sambut pamungkas yang langsung merangkul pundak cucunya dengan kedua tangan yang meremas kuat pundak Adi. Akh! Adi tahu ini merupakan kode tersendiri untuk nya. Jadi pria tua Bangka di depannya ini tengah mengajak ia untuk bermain drama. "Akh, iya kakek ku sayang. Akhirnya kita satu naungan neraka juga." Seketika raut wajah pamungkas yang tadinya terlihat sumringah langsung berubah menjadi datar. Ia menatap Adi dengan sorot mata berbeda dari caranya menyambut tadi. Kevin yang kebetulan baru masuk tentunya bisa melihat perubahan itu dan menyadari jika sesuatu yang tidak beres baru saja terjadi. "Neraka? Kamu akan segera meralat itu ketika menikmati indahnya rumah kita ini." "Yah yah yah, silahkan nikmati." Adi menatap ke arah Kevin lalu mengarahkan tangan nya meminta koper yang masih berada pada sepupu nya itu.. "Terima kasih atas penyambutan nya, tapi saya mau istirahat." Menapaki tangga yang baru saja kemarin ia tinggalkan, Adi menatap sebuah bingkai besar yang terpasang di ruang utama dengan formasi lengkap minus kedua orang tuanya. Seketika pegangan tangannya pada Koper menguat, melampiaskan rasa amarahnya karena melihat senyum sumringah itu. Memandang atau persatu orang yang ada di foto tersebut, Adi meyakinkan diri jika ia bisa membuat senyum mereka pudar dan hilang dalam waktu dekat. Sesampainya di depan pintu kamar, Adi langsung membuka akses yang hanya dirinya saja yang tahu, sebab pintu kamar nya ini sudah ia desain khusus sejak dulu dan memiliki dua keamanan yang hanya dirinya saja yang bisa masuk. Merebahkan diri di atas kasur luas miliknya. Ia menatap ke arah bingkai foto pernikahan milik ayah dan bundanya. "Adi akan tinggal di sini sampai semua terbalaskan. Maaf bunda. Tapi kali ini anakmu yang baik hati akan berubah menjadi iblis yang akan menjelma sebagai malaikat di hadapan mereka. " Sinisnya. Yang tentu saja hanya dirinya yang tahu akan rencana ini. "Adi, dipanggil ke bawah mau makan malam." Adi yang mendengar panggilan itu segera mengganti bajunya dan berjalan menuju meja makan, di sana sudah ada beberapa orang yang sudah menunggu nya. Ia melihat saja dari lantai atas seakan memantau dan memang sengaja membuat mereka menunggu dan menjadikan dirinya seolah tuan besar di mansion ini. Lihat saja raut wajah kesal para Tante dan om nya, ia sangat menikmati itu. Merasa sudah cukup menunggu, Adi pada akhirnya turun dengan santai menapaki tangga demi anak tangga. Begitu sampai ia langsung menarik kursi yang berada tepat di sebelah pamungkas yang sebenarnya itu merupakan kursi milik paman tetua nya. Melihat hal ini, pamungkas hanya menghela nafas pelan meredam kekesalannya atas tingkah sang cucu. "Baik, berhubung Adi sudah tiba di sini, mari kita makan dengan di awali doa masing-masing." Adi menatap semua keluarga yang tampak menunduk dengan khidmat. Cuih, sedang berperan menjadi hamba yang taat? Hemm. Suasana meja makan terlihat tenang, Adi yang tengah menikmati makanannya tersentak kaget begitu kursi yang ia duduki ditarik dari belakang sehingga mengakibatkan dirinya hampir saja terjengkang jika tidak gesit langsung berdiri. Menatap sang pelaku, Adi berusaha tetap tenang meski rasa ingin memberikan luka di wajah orang itu hampir menguasai dirinya. "Apa hak Lo duduk di kursi bokap gue?" Teriak orang itu yang tak lain adalah Jefri. Adi tidak merespon, bahkan dengan santai nya ia meminum air di gelasnya dan mengambil ayam bakar yang masih tersisa. "Childish." Cibirnya. Lalu berjalan hendak meninggalkan ruang makan. Tapi tarikan pada lengan nya membuat ia mengurungkan niat itu. "Kenapa? Takut?" "Waras?" Tanya Adi dengan alis terangkat satu. Jefri yang mendengar itu sontak tidak terima dan langsung memberikan Bogeman ke arah wajah Adi yang mengakibatkan pipi pemuda itu menjadi sasaran empuk. Mengusap pelan bekas Bogeman Jefri. Adi menatap orang yang sedang kesetanan itu dengan tenang. "Lumayan juga, tapi masih menang preman komplek sih." "b*****t! Anak yatim piatu gak tau diri." Bugh! Jefri langsung terpental jatuh ke lantai dengan darah segar yang mengalir dari hidung nya. Tanpa memperdulikan keadaan Jefri, Adi beranjak dari sana dan berjalan menuju kamarnya dengan daging ayam yang masih berada di tangan kirinya. Memilih memejamkan matanya karena merasa ngantuk, Adi tidak peduli dengan keadaan yang mungkin sedang panik di bawah sana. Masa bodo dengan b*****h itu yang jelas ia tidak menyesalinya. "ADI, ADI!" Adi yang sudah tertidur tersentak kaget begitu lengannya di goyang seseorang, merasa terusik, ia pada akhirnya membuka mata secara perlahan dan dapat melihat Kevin menatap dirinya dengan khawatir. "Loh, kev. Kok ada di sini?" Tanya nya dengan wajah datar, Kevin sedikit tersentak, lalu menepuk pelan pundak Adi begitu menyadari sesuatu. "Lo serem njir kalau datar gitu, masuk mimpi itu lagi?" Adi langsung tersadar dan terkekeh pelan meski masih tampak kebingungan di mata Kevin. "Luka lagi?" Adi mengangguk. "Gak papa, gak sakit juga." Kevin hanya mengangguk lalu ikut berbaring di samping Adi. "Semoga semua yang kita rencanakan berjalan yah, Di. Gue juga gak mungkin biarin elu ngalamin hal ini terus." "Thank you, Vin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD