Bab 4: Dua Wajah

1578 Words
Adi menyusuri jalan yang sedikit lenggang siang harinya, ia yang masih mengenakan pakaian pasien rumah sakit berjalan menuju rumah peninggalan kedua orang tuanya. Ia hanya akan mengganti bajunya saja dan akan segera pergi sebelum para b*****h datang. Begitu membuka pintu, ia langsung merasakan kekosongan dan dingin secara bersamaan, kenangan bersama kedua orang tuanya yang hanya sedikit sekali tersisa dalam memori otaknya. Ia hanya bisa tersenyum getir menatap satu bingkai foto yang cukup besar dengan dirinya yang berada di gendongan sang ibu. “Bu, dunia ini jahat yah? Kok ibu ninggalin Adi sendirian?” Lirihnya pelan yang tanpa ia sadari matanya sudah mengembun, sadar atas keterbatasan waktu, Adi akhirnya memilih menyudahi aksi galaunya dan berlalu menuju kamar yang paling pojok sendiri. Sebuah ruangan bernuansa monocrom dengan dinding abu-abu campur hitam, jangan lupakan deretan senjata yang tersusun rapi dilemari khusus miliknya. “Yah, Adi pasti membalas semua sebab kecelakaan hari itu.” Ia membuka lemarinya dan mengambil setelan serba hitam yang menjadi ciri khasnya seorang Adi Widyo Pamungkas. Malam ini ia akan ikut sebuah balapan liar melawan musuh bebuyutannya, selain untuk ajang balas dendam, balap liar juga ia gunakan untuk mencari pundi-pundi rupiah, keungannya sudah menipis lantaran harus membayar semua perawatanya di rumah sakit, jangan pernah berpikir keluarga pamungkas akan dengan senang hati membayar semua pengobatannya, keluarga b*****t itu hanya datang sekedar menunjukkan ke hadapan publik seberapa harmonisnya keluarga pamungkas yang sering dijadikan sebagai future family banyak orang. Drtt… Drtt… Drtt.. Ponsel milik Adi bergetar di atas nakas sebelah ranjang miliknya, di sana sudah tertera salah satu rekan balapannya yang mungkin menginfokan perihal balapan malam ini. Tanpa mengangkat panggilan itu, Adi langsung menyimpannya di saku celana dan menyambar jaket jeans miliknya lalu keluar dari kamar. Akan tetapi begitu keluar, ia dikejutkan dengan kedatangan polisi yang sudah berjejer rapi, dan matanya menatap kehadiran salah seorang musuh dan juga kakeknya tetua Pamungkas. Cuih, komplotan ternyata. “Kamu yang bernama Adi?” Tanya seorang polisi dengan menatap tajam Adi. Bukannya merasa takut, Adi malah terkesan santai dengan hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Kami diperintahkan untuk menggeledah rumah ini dan juga memeriksa saudara Adi Widyo Pamung...”Ucapan polisi itu langsung terhenti begitu melihat tangan Adi yang terangkat. “Saya bukan bagian dari keluarga itu,” ujarnya dingin. Tentunya ucapan Adi mengundang emosi dari Pamungkas yang merasa cucunya telah mempermalukan harkat dan martabat keluarganya sendiri. “Baik, apa boleh kami melakukan pemeriksaan?” “Silahkan!” Titahnya yang bahkan tanpa beban sama sekali mengatakan hal itu, seolah itu adalah hal biasa yang sering ia alami. Para polisi melakukan tugasnya, sedangkan Adi dengan santainya duduk di sofa yang ada di ruang tamu tanpa mempersilahan kakek serta mantan sahabatnya yang masih setia berdiri. Dengan mata tajam namun terlihat tenang secara bersamaan itu, Adi terkekeh sinis karena sadar ini hanya permaianan daru dua mansuai iblis yang sok suci di hadapannya. Menyadari jika dirinya tengah diperhatikan oleh sang cucu, pamungkas memilih duduk tepat di hadapan cucu laki-laki satu-satunya itu dengan membalas tatapannya tak kalah tajam. “Sudah puas bermainnya, Pak tua?” Adi terkekeh pelan melihat respon sang kakek yang sangat menggemaskan dan ingin Adi bunuh rasanya sangking menggemaskannya. “Kalau belum, silahkan bermain sepuasnya, sebelum saya yang bermain,” ujarnya tajam membuat kedua orang yang tadinya menatap ia dengan berani langsung menciut sebelum menampilkan wajah sok beraninya. Tak lama beberapa anggota polisi yang tadinya memeriksa seisi rumah sudah kembali dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun yang dalam artianya rumah Adi bersih, lagian dirinya tidak akan setega itu membawa barang haram ke rumah yang ayahnya dirikan dengan susah payah. “Tidak ada sesuatu yang haram di rumah ini.” Celetuk Adi dengan sangat berani. Sontak mendengar ucapannya, kedua orang yang berada di hadapannya berdiri dan menatapnya dengan tajam. Terlebih Pamungkas yang merasa tengah dipermalukan “Cari lagi, Pak. Saya yakin barang itu ada di sekitar sini.” Titah Pamungkas yang merasa tidak puas dengan hasil yang ia dapatkan. “Kenapa begitu yakin? Atau jangan-jangan..... semua ini disengaja?” Tanya Adi dengan memberikan semirk andalannya. Tampak Pamungkas dengan musuh nya itu panik dan saling tatap sebelum kemudian tersentak kaget mendengar suara tawa milik Adi. “HAHAHAHA... kenapa? Kaget? Atau takut?” Adi berjalan mendekati sang kakek dengan memancarkan aura penuh kebencian. “Dengar ini baik-baik kakek tua... jangan pernah temui saya lagi dengan alas an apa pun. Saya tidak selemah itu hanya karena hal kekanakan seperti ini, silahkan keluar!” Pamungkas mengepalkan tangannya lalu tersenyum lebar memulai sebuah sandiwara dan Adi sudah mengetahui hal ini. “Ternyata cucu saya bersih, kau lihat hah? Cucu saya tidak menggunakan n*****a seperti kamu.” Marah Pamungkas kepada musuhnya yang terlihat kebingungan. “Loh, Kek. Kenapa saya?” “Yah kamu, tangkap dia. Dia sudah mencemarkan nama salah satu keluarga Pamungkas.” Adi terkekeh geli melihat bagaimana Pamungkas menunjukkan kelicikannya secara langsung. Pria tua bau tanah ini menumbalkan sekutunya sendiri hanya untuk menutupi kebusukannya, sangat licik dan rakus. Dirinya saja tidak percaya bisa terlahir dengan darah seorang Pamungkas di tubuhnya.Melihat para polisi itu telah pergi, Adi kembali duduk tenang sembari menanti hal apa lagi yang akan dilakukan kakeknya itu. Dan benar saja, Pamungkas secara mengejutkan tertawa keras seolah tidak ada rasa bersalah sedikitpun telah menjebloskan anak orang lain yang tidak bersalah ke dalam penjara. Gila memang! “Adi, kamu lihat kan? Seberapa kuatnya saya? Saya harap kamu berubah pikiran dan mau tinggal Bersama kami lagi.” Yah, sebenarnya permasalahan yang membuat pamungkas segitu ngototnya adalah mengajak Adi untuk tinggal Bersama di rumah nya. Dan Adi yang bukan orang bodoh langsung menyadari alas an di balik itu semua tanpa perlu repot-repot mencari tahu ataupun menyelidikinya. “Saya salut dengan kegigihan kamu untuk tetap bertahan di rumah ini bahkan tanpa kami beri uang sepeser pun.” Adi yang semula memainkan ponselnya langsung mendongak begitu telinganya mendengar sindiran kakek tua di hadapannya. “Saya juga salut kepada anda yang dengan gigihnya mengajak saya untuk tinggal Bersama. Apa anda sudah kehabisan cara sampai meminta bantuan kepada musuh saya?” balas Adi dengan wajah super songongnya. Pamungkas menggeram marah lalu melangkah pergi keluar dari rumah tanpa mengatakan apa pun. Hal ini tentunya dianggap Adi sebagai kemenangan nya atas sang kakek yang tanpa mereka berdua sadari memiliki kesamaan satu sama lain, yaitu sama-sama keras kepala, tidak mau mengalah, terlalu kaku dan mementingkan ego sendiri. Kepergian sang kakek tentunya membuat Adi tertawa geli, ia sudah tahu dari awal jika kakeknya memiliki rencana jahat untuknya, dari mana ia bisa tahu? Tentunya kemampuan ia dalam memata-matai seseorang tidak bisa diragukan lagi. “Tua bangka bau tanah.” Sepanjang perjalanan menuju arena balap, Adi terus memikirkan semua permasalahan yang terjadi di dalam keluarganya, awal mula kebencian yang ia rasakan. Kematian kedua orang tuanya memberikan dampak luar biasa bagi keluarga pamungkas. Adi yang merasa janggal dengan kematian itu merasa adanya konspirasi yang direncanakan keluarganya. Tapi sampai detik ini sama sekali tidak menemukan titik temu. Terkadang ia juga merindukan kehangatan keluarga yang dulunya sangat ia banggakan kepada teman-temannya, tapi entah mengapa semua berubah, Adi menatap benci semua keluarga yang ia duga terlibat dalam kejadian nahas itu. “Adi, The King jalanan,” ujar seorang rekannya yang menjadi kawan akrabnya yang menjadi saksi dari kehidupan seorang Adi Widyo Pamungkas. “Mana?” Tanya Adi. Aksara menunjuk ke arah jalanan yang telah berjejer rapi. Adi mengangguk pelan lalu mensejajarkan motornya bersiap mengikuti balapan. Hingga seorang perempuan dengan penampilan seksi berjalan ke tengah dan membawa bendera putih. Seketika deruman motor yang memekakkan telinga memenuhi arena. Sampai ketika bendera putih itu dijatuhkan, balapan langsung dimulai dengan Adi yang berada di urutan pertama, ia dengan lihai melewati tikungan demi tikungan mendahului delapan pengendara di belakangnya, beginilah aktivitas Adi setiap malam, kebut-kebutan yang terkadang hanya untuk menghilangkan rasa sepinya, kadang pula menjadi penghasil pundi-pundi rupiahnya. Teriakan heboh menyambut kedatangan Adi yang menjadi juara kembali di mala mini, akan tetapi ada yang aneh, rem motornya tidak berfungsi membuat ia yang sudah sampai d garis finis tidak bisa menghentikan laju kendaraannya, hingga pada akhirnya ia memilih melepaskan motornya lalu jatuh terguling di atas aspal yang menyebabkan ia menerima luka-luka yang cukup serius. “Anjing! Belum sembuh yang kemarin udah luka baru lagi.” Setelah mengatakan itu, mata Adi tertutup rapat yang membuat semua orang panik tidak karuan. Hingga tak lama mata itu terbuka, namun di tempat yang berbeda, Aji kembali dibuat bingung dengan mimpinya yang terasa nyata, terlebih ketika luka yang ia dapatkan di alam mimpi nyatanya ada di saat ia sadar seperti ini, bahkan dirinya masih mengenakan seragam sekolah, bukan kebut-kebutan yang menyebabkan ia mendapatkan luka seperti ini? Pikirannya semakin tidak tenang, ia harus bisa memcahkan masalah ini, apa benar ia masuk ke dalam dunia lain? Tapi tidak mungkin, mana ada dunia seperti itu. Apalagi di zaman serba canggih seperti ini. Dengan pelan Adi menyentuh lukanya yang sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit itu, yang pada akhirnya Adi memutuskan untuk kembali ke kelasnya karena sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir, namun setiap siswa yang ia temui akan memekik kaget melihat luka menganga yang ada di lengan dan juga jidatnya. “Adi, kamu kenapa lagi?” Teriak sang kakek yang ternyata tengah melintas di Lorong yang sama dengannya. Entah karena apa, tapi Adi menjadi takut dan menatap kakeknya dengan tajam, ia masih mengingat jelas semua yang ada di alam bawah sadarnya, meskipun sampai detik ini ia masih belum mempercayai 100%, akan tetapi berjaga-jaga saja, takut jika memang benar sang kakek terlibat dalam kecelakaan kedua orang tuanya. Meskipun kebenaran dalam mimpi itu masih fifty-fifty tapi tidak menutup kemungkinan mimpi itu mengandung maksud lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD