Drtt ... Drtt ....
Ponsel Feiza yang ia taruh di nakas samping ranjangnya berdering. Ia yang memang belum bisa tidur langsung meraih ponselnya dan menemukan nama Fahmi sebagai orang yang tengah menghubunginya.
Feiza melirik Furqon yang tampak sudah terlelap lalu turun dari atas ranjang dan berjalan ke luar, menuju balkon kamar Furqon untuk mengangkat telepon dari teman satu kelasnya itu.
"Assalamu'alaikum, gimana, Mi?" kata Feiza.
"Wa'alaikumussalam, Fe." Suara berat Fahmi mengalun dari seberang sana. "Kamu udah sampe mana, Fe? Jadi kujemput kan?" tanya laki-laki itu.
"Eh?" Feiza sedikit terkejut. Ia lupa kalau semula ia akan kembali ke kota rantauan dengan menaiki kereta api seperti bagaimana ia pulang ke Jombang sebelumnya. Dan Fahmi, laki-laki itu yang berjanji akan menjemput Feiza begitu tiba di stasiun. Karena sebelumnya, laki-laki itu pula yang memaksa mengantar Feiza ke stasiun saat berangkat pulang ke rumahnya.
Pukul 22.00 WIB, sekarang seharusnya Feiza masih ada di dalam kereta menuju kota rantauannya dan beberapa menit lagi sampai di stasiun yang akan menjadi tempat pemberhentiannya. Jika menurut pada jadwal di tiket pulang pergi yang pertama kali dibelinya, sebelum kabar pernikahan disampaikan ibunya, dan sebelum Furqon datang sebagai suaminya.
"Halo? Feiza?!" Suara Fahmi mengalun lagi. "Halooo."
"Eh, iya, Mi." Feiza baru menyahut.
"Sampai mana? Jadi kujemput kan?" Fahmi mengulang pertanyaannya.
"Em ... maaf, Mi. Aku nggak jadi balik malam ini," ungkap Feiza.
"Hah? Kenapa?" Fahmi terdengar terkejut di seberang sana. "Ada apa, Fe?" tanya laki-laki itu.
"Masih ada sedikit urusan, Mi. Jadi aku nggak jadi pulang hari ini."
"Urusan apa, Fe? Terus sekarang kamu di mana?" Fahmi kembali melempar tanya.
"Aku masih ada di ... rumah." Feiza terpaksa berbohong. Rumah Gus Furqon, lanjutnya di dalam hati.
"Oke. Tapi, kamu nggak pa-pa kan di rumah?" Fahmi terdengar khawatir. "Nggak ada masalah kan?"
Feiza dibuat sedikit mengulas senyum mendengar pertanyaan Fahmi. "Iya, aku nggak pa-pa, Mi. Nggak ada masalah."
"Alhamdulillah kalau gitu." Feiza bisa mendengar embusan napas Fahmi di seberang, seolah menunjukkan kelegaannya. "Terus besok kamu gimana, Fe? Ada kelas jam sepuluh lho."
"Em, insyaallah besok aku tetep masuk, Mi."
"Iya. Terus balik kamu naik apa? Kamu kan nggak bawa motor kemarin. Mau kujemput?"
"Heh?!" Feiza langsung menghardik. "Jangan aneh-aneh deh! Ngerepotin diri sendiri itu namanya."
Fahmi terdengar tertawa. "Nggak sama sekali kalau itu kamu, Fe."
Feiza terdiam sebentar kemudian mencibir. "Dasar modus." Ia ikut tertawa.
Fahmi juga masih tertawa di seberang sana.
"Feiza," panggil Fahmi.
"Iya, Mi?"
"Bener nggak mau kujemput aja?"
"Nggak usahh. Aku bisa balik sendiri."
"Iya, tapi naik apa dulu?"
"Mungkin ... naik bus." Maaf, aku bohong lagi, Mi. Feiza membatin.
"Yakin?"
"Iya."
"Bus umum baunya nggak enak lho. Apalagi kalau desak-desakan. Kamu kuat?"
"Fahmiii." Feiza tertawa. "Kamu kira aku cewek apaan naik bus aja nggak kuat? Jangan lebay deh."
"Ha ha ha ha. Iya, iya, maaf. Makanya, kujemput aja, ya?!"
"Kubilang nggak usah, Mi." Feiza menekan kata-katanya.
"Iya, iya." Fahmi akhirnya menyerah. "Oh, ya. Gimana? Udah dapet restu kan?"
"Restu apa?" tanya Feiza sempat diam karena kebingungan.
"Ya, restu pernikahan kita lah, Nurul Faizah."
"Hah??!"
"Ha ha ha ha."
"Kamu jangan bercanda, Mi!"
"Ha ha ha. Maaf. Maksudku, restu buat mencalonkan diri jadi ketum HMJ, Fe. Udah dapat restu kan?"
"Ah, itu." Feiza bisa sedikit menghela napasnya lega.
Ia sampai lupa kalau tujuan awalnya pulang kemarin adalah meminta izin dan restu kedua orang tuanya untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum himpunan mahasiswa di jurusannya, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Namun, belum Feiza mengutarakan niatnya, orang tuanya malah terlebih dulu memberikan kejutan besar dalam hidupnya dan mengurungkan niat Feiza untuk mengutarakan tujuan awalnya.
"Gimana, Fe? Berkasku buat nyalon jadi wakil kamu udah siap lho ini," ucap Fahmi.
"Masih kuusahakan ya, Mi," lirih Feiza. "Misal nggak dapet, kamu ya, yang maju. Aku janji akan dukung kamu sebagai anggota yang baik."
"Lho? Kok omongan kamu gitu, Fe? Kenapa jadi skeptis? Yang jelas-jelas dapet dukungan semua orang itu kamu, Feiza!"
Feiza tertawa. "Nggak usah merendah! Kamu juga dapet banyak dukungan, Mi, buat maju."
"Iya. Sebagai wakil kamu, Fe," ujar Fahmi. "Bukan sebagai ketum," lanjutnya. "Pokoknya kutunggu kabar baiknya, ya! Pendaftaran calonnya masih ada waktu semingguan lagi."
"Iya, kuusahain." Tapi nggak janji. Karena keaadanku udah nggak sama lagi. Lagi-lagi Feiza membantin. "Kalau gitu, udah ya, Mi? Kututup dulu teleponnya," pinta Feiza.
"Hem. Iya, Fe."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Feiza."
Feiza menghela napasnya kemudian menatap pemandangan yang bisa ia lihat dari balkon kamar itu.
Gelap. Langit tampak murung dengan rembulan yang disembunyikan oleh awan dan kabut hitam. Bintang-bintang pun tidak ada yang menampakkan diri sama sekali.
Sama seperti hati Feiza, langit malam itu juga tampak sedang gulana.
Gadis itu kembali menghela napasnya kemudian berbalik dan melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar.
Baru mengayunkan tungkai kakinya selangkah masuk ke dalam ruangan kamar, sosok jangkung yang berdiri di depannya langsung mengejutkan Feiza.
"Gus Furqon?" Ia benar-benar terkejut. "Apa yang njenengan lakukan di sini?" Feiza melempar tanya.
Furqon yang tampak bersedekap d**a langsung mengangkat sebelah alisnya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu," balasnya bernada dingin. "Apa yang kamu lakukan di luar malam-malam begini, Feiza?"
Feiza langsung membelalakkan matanya kemudian menghindari tatapan tajam Furqon dengan menatap ke arah lain.
"Fe?!" Furqon masih menunggu jawaban Feiza. "Apa yang kamu lakukan di balkon?"
Feiza kembali menatap Furqon lagi. "Mencari udara segar, Gus," jawabnya.
"Bukannya teleponan sama seseorang?"
Feiza langsung menggigit bibir bawahnya. "Itu juga," akunya pada akhirnya.
"Siapa?" tanya Furqon lagi.
"Temanku, Gus," jawab Feiza.
"Semalam ini?"
"I-iya. Ada hal penting yang perlu kami bahas," tutur Feiza. "Dia teman sekelasku," tambahnya.
"Hm." Faruq kemudian hanya menggumam. "Oke," lanjutnya. "Kalau ada apa-apa jangan lupa memberi tahuku, Feiza."
"I-iya, Gus." Feiza mengangguk.
"Kalau begitu ayo tidur lagi. Besok pagi kita harus kembali ke Plosojati."
"Iya, Gus." Feiza kembali mengangguk.
Gadis itu berjalan melewati Furqon kembali ke ranjang tempat tidur lalu merebahkan tubuhnya.
Drtt ... Drtt ....
Saat itu ponsel yang masih ada di genggaman tangan Feiza berdering lagi. Ada sebuah pesan masuk.
Pesan dari Fahmi. Sebuah voice note alias pesan suara.
Feiza membuka roomchat mereka lalu mengetik pesan balasan untuk laki-laki itu.
Feiza: Jangan vn Fahmi. Aku lagi gabisa muter vn kamu.
"Ayo tidur, Feiza!"
Feiza langsung menoleh cepat ke sisi kanannya mendengar Furqon yang kembali bicara dengan suara beratnya.
Tanpa sepengetahuan Feiza laki-laki itu tiba-tiba sudah kembali berbaring di sampingnya.
Feiza langsung meringis. "Iya, Gus," lirihnya.
"Biasa tidur dengan lampu menyala atau mati, Fe?" tanya Furqon.
"Lampu dimatikan, Gus. Tapi, aku nggak masalah juga kalau lampunya menyala," jawab Feiza.
"Oke. Kalau gitu lampunya kumatikan," balas Furqon.
"Iya."
Tak berselang lama, ruangan itu langsung menjadi gelap karena pencahayaannya dimatikan oleh Furqon dengan tombol lampu otomatis yang ada di nakas sebelahnya. Lampu di kamarnya memang bisa diatur dengan dua macam tombol. Pertama, tombol lampu yang ada di saklar dinding. Kedua, remot yang ada di nakasnya.
Drtt ... Drtt ....
Ponsel Feiza berdering lagi menandakan ada pesan masuk lagi dari Fahmi.
Gadis itu akan kembali membuka roomchat mereka. Namun, suara bernada perintah Furqon kembali mencegahnya.
"Habis ini tidur, Fe!"
Feiza langsung mengangguk tanpa suara. Ia mematikan ponselnya setelah menggantinya dalam mode silent dan meletakkannya kembali ke atas nakas.
Bermenit-menit setelahnya, Feiza berusaha memejamkan mata meski alam mimpi tidak segera menyambutnya karena merasa was-was ada seorang laki-laki yang berbaring di sampingnya.
Tbc.