Bab 15

1234 Words
Feiza masuk ke dalam kamar Furqon dengan perasaan gamang. Gadis itu bahkan meremas ujung jari-jarinya karena perasaan gugup dan was-wasnya. Tidak jauh dari Feiza, Furqon yang sudah ada di dalam kamar terlebih dulu terlihat berbaring di atas ranjang sembari memainkan ponsel. Mereka baru saja selesai makan malam beberapa waktu lalu setelah salat Isya dan Feiza kembali diajak ngobrol berdua dengan Bu Nyai Farah. Tidak lama karena ibu dari Furqon itu kemudian menyuruh Feiza segera kembali ke kamar putranya untuk beristirahat, mengingat besok pagi-pagi sekali, Feiza dan Furqon akan kembali ke Plosojati. Jikalau boleh jujur, Feiza lebih memilih bercakap-cakap dengan Bu Nyai Farah saja sepanjang malam daripada kembali masuk ke kamar Furqon. Ia takut. Gadis itu juga sudah berusaha mengulur waktu berlama-lama dengan ibu mertuanya, tapi sayangnya usahanya sia-sia karena Bu Nyai Farah cepat mengakhiri konversasi mereka dan menyuruh Feiza segera tidur saja. Membuatnya mau tidak mau kembali menaiki tangga lantai dua dan masuk kembali ke dalam kamar Furqon. Padahal harapannya, dengan sedikit berlama-lama saat ia kembali ke kamar Furqon, setidaknya laki-laki itu sudah tidur. Feiza menutup pintu kamar Furqon dengan sangat pelan dan hati-hati lalu berjalan ke tempat tidur dengan langkah yang sangat pelan juga. Tanpa menimbulkan suara. Gadis itu berkali-kali merapal doa semoga tidak terjadi apa-apa sembari mendudukkan dirinya di sisi ranjang sebelah kiri yang kosong, sebab Furqon sudah menempatkan diri di sisi ranjang sebelah kanannya. "Kamu dari mana?" Feiza langsung berjengit mendengar pertanyaan Furqon yang tiba-tiba. Kedua kaki Feiza masih menapak lantai dengan posisi badan membelakangi laki-laki yang sudah sah secara agama menjadi suaminya itu. "Kamu dari mana, Feiza?" Furqon mengulang lagi pertanyaannya. Kali ini sembari menyebut nama Feiza. Feiza menelan salivanya gugup. "Dari ruang tengah, Gus," jawabnya setelah beberapa lama. "Habis ngobrol dengan Umi," lanjutnya setelah merasa berhasil mengendalikan diri. "Oh. Oke," balas Furqon. Setelah itu hening. Hanya terdengar suara khas AC menyala yang berdesing. Cukup lama menyadari Feiza yang sama sekali tidak bergerak di posisinya, masih duduk membelakangi dirinya dengan kedua kaki yang masih menapak di lantai, Furqon kembali buka suara. "Kamu tidak tidur, Fe?" tanyanya. "Eh?" Feiza kembali terkejut. "Ti-tidur, Gus." Kali ini gadis itu terdengar jelas tengah gugup ketika menjawabnya. Dahi Furqon mengernyit. "Kalau gitu kenapa masih duduk?" gumamnya melempar tanya. "Ayo tidur, Feiza! Besok pagi kita harus kembali ke Plosojati." "I-iya, Gus." Feiza tidak bisa mengendalikan rasa gugupnya lagi. Furqon jadi menyeringai karenanya. Ia memperhatikan Feiza yang perlahan mulai berbaring di ranjang sampingnya. Wajah pucatnya tampak menggemaskan di mata Furqon. "Njenengan mau apa?" tanya Feiza melihat Furqon yang tiba-tiba mengganti posisi berbaringnya dengan duduk. "Gus Furqon?" lanjut gadis itu was-was mendapati Furqon yang hanya diam dan kini tampak meletakkan ponsel yang semula ada di genggaman tangannya ke atas nakas sebelah ranjang kemudian beringsut mendekat ke arahnya. Feiza menjadi takut luar biasa. Ia bahkan menyilangkan kedua tangannya ke atas d**a karena itu. "Jangan macam-macam, Gus," cicitnya melihat Furqon yang semakin dekat. Furqon langsung terkekeh melihat tingkah Feiza. "Kamu takut aku macam-macam?" tanyanya sembari tersenyum manis. Feiza mengangguk. Furqon kembali tertawa lantas semakin menggeser tubuhnya mendekat pada Feiza. Saat sudah berada tepat di sampingnya, laki-laki itu menunduk. "Aaaaaaaaaa!" Feiza refleks berteriak kencang. Furqon langsung membulatkan matanya lalu membekap mulut Feiza dengan tangannya. "Kenapa berteriak?" tanyanya. "Orang pasti akan berpikir macam-macam jika mendengar teriakanmu," lanjut Furqon. "Emm emm em!" Feiza tidak bisa bicara karena Furqon masih menutup mulutnya. Ia meminta Furqon melepaskannya lewat tatapan mata. Namun, karena Furqon yang tidak kunjung melepaskan tangannya, Feiza pun mengambil inisiatif menggigit tangan Furqon sampai Furqon sendiri yang melepaskan tangannya itu. "A a a~ Arghhh." Furqon berteriak mengaduh tidak kalah kencangnya ketika Feiza menggigitnya. Setelah Furqon melepaskan bekapannya, Feiza langsung duduk dan mendorong Furqon menjauh. "Astaghfirullah, Zahraa," keluh Furqon memegangi tangan kanannya yang Feiza gigit. Ada bekas gigitan yang kentara di tangan yang kini tampak memerah itu. "Sekarang orang-orang, terlebih Abah dan Umi yang kamarnya tepat ada di bawah kamar ini bisa jadi sudah berpikir aku telah berbuat macam-macam karena mendengar teriakan kita," lanjutnya. "Ya, memang njenengan mau macam-macam kan tadi?!" Feiza yang kini memeluk dirinya sendiri angkat suara. Kedua netranya menatap Furqon dengan pelototan. Furqon langsung menghela napas keras. "Astaghfirullah. Nggak, Feiza. Aku tadi mau membantu menyelimutimu!" "Bohong!" Feiza menggelengkan kepala tidak percaya. "Wallahi." Furqon bersumpah sembari menatap tajam kepada Feiza. "Kamu lihat selimut yang ada di bawah itu?! Aku benar-benar hanya mau menyelimutimu." Ia menunjuk selimut yang ada di bagian bawah ranjang tempat Feiza lalu kembali menghela napasnya. Feiza langsung terdiam mendengarnya. Ia masih tidak percaya tapi mendengar Furqon yang sampai berani bersumpah seperti tadi membuatnya merasa sedikit tidak enak. Bagaimana kalau Furqon benar? Bagaimana kalau dirinya hanya salah paham kepada Furqon? Mau dibawa ke mana mukanya kalau benar ia sudah terlalu percaya diri mengira Furqon mau berbuat macam-macam kepadanya tadi? Sungguh, Feiza sangat malu sekali. "Gigitan kamu benar-benar sangat luar biasa, Feiza." Furqon kembali berkata sembari memegangi tangannya yang baru digigit Feiza. Entah, itu sindiran, cemoohan atau bagaimana, Feiza tidak bisa membedakannya. "Maaf," cicit gadis itu tak berapa lama dengan wajah cemberut. Ia tentu tidak mau disalahkan, karena menurutnya, apa yang Feiza lakukan kepada Furqon bukan sepenuhnya salahnya. Kalau Furqon tidak melakukan gelagat aneh seperti tadi, Feiza tidak mungkin salah paham sehingga berakhir seperti ini. Ia tidak mau disalahkan seorang diri. "Hn." Furqon akhirnya menanggapi permintaan maaf Feiza. "Kumaafkan," lanjutnya. "Jangan diulangi!" tambah Furqon lagi. "Njenengan juga, Gus," balas Feiza dengan ekspresi tidak terimanya. "Kalau Gus Furqon tadi nggak deket-deket dengan gelagat aneh, aku juga ndak akan kepikiran kalau njenengan akan macam-macam," lanjutnya. Furqon terdiam sebentar kemudian memecahkan tawa menyadari kesalahannya. "Iya. Kalau begitu aku juga minta maaf," ungkapnya. "Dimaafin, ya?" tanyanya ketika tidak mendengar sahutan dari Feiza. "Iya. Tak maafin," jawab Feiza akhirnya meski dengan suara yang terdengar tidak ikhlas. Furqon kembali tersenyum. "Ngomong-ngomong, Fe. Karena Abah dan Umi mungkin sudah berpikir macam-macam karena mendengar suara kita, bagaimana kalau aku macam-macam beneran?" Feiza langsung mendelikkan matanya. Furqon yang mendapat tatapan tajam Feiza langsung memecahkan tawa. "Ha ha ha ha. Tenang. Aku cuma bercanda, Feiza," ungkapnya kemudian, lalu tertawa lagi. Wajah Feiza sudah seperti mau memangis saat ini. "Gus, jangan begini," cicit gadis itu. "Aku nggak mauu," lanjutnya dengan nada setengah merengek. Furqon yang sebelumnya masih tertawa langsung menghentikan tawanya dan ganti menatap lembut ke arah Feiza. "Kenapa, Fe?" tanyanya. "Kamu kan istriku." Kepala Feiza menggeleng. "Pokoknya nggak mau." "Takut?" tanya Furqon dengan senyumnya. Feiza hanya diam tidak membalasnya. "Kenapa takut? Aku kan suamimu, Feiza." "Iya, tapi cuma nikah siri," balas Feiza lirih yang Furqon masih bisa mendengarnya. "Jadi karena itu?" kata Furqon. "Kupikir karena hal lain. Syukurlah kalau karena itu." Ia kembali tersenyum. "Kita sekarang memang masih menikah secara agama saja, Feiza. Tapi aku janji akan segera meresmikan pernikahan kita kalau kamu lulus kuliah. Seperti yang sudah aku janjikan ke Ayah dan Ibu. Atau, kalau kamu yang menginginkan pernikahan kita cepat didaftarkan di negara sebelum lulus. Aku akan dengan senang hati melakukan itu." Feiza hanya bergeming. "Meski pernikahan kita belum terdaftar, aku dan Ayah sudah membuat perjanjian pernikahan yang akan menjamin dan melindungi hak-hak kamu sebagai istriku, Feiza. Ayah dan Ibu tidak mungkin mau menikahkan kamu denganku kalau perjanjian itu tidak dibuat. Jadi kamu jangan takut. Kamu adalah tanggung jawabku sepenuhnya." Feiza cukup terkejut mendengar fakta yang baru diketahuinya. Ternyata kedua orang tuanya tidak setega itu hanya menikahkannya dengan Furqon secara agama. Mereka rupanya membuat perjanjian hitam di atas putih dengan Furqon untuk pernikahannya. "Ya sudah. Ayo tidur! Besok pagi kita harus kembali ke Plosojati." Furqon mengulas senyum lagi. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD