Feiza tidak tahu bagaimana akhirnya ia bisa tertidur. Namun, ketika dirinya bangun, gadis itu merasa langsung diliputi canggung. Bagaimana tidak? Feiza sangat yakin jika posisinya saat mencoba terlelap adalah berbaring terlentang. Bagaimana bisa ketika bangun dirinya dan Furqon saling berhadapan?
Baiklah. Mereka berdua memang tidak saling berpelukan. Tapi posisi itu masih begitu memalukan bagi Feiza karena selain membuka mata dengan posisi tidur saling berhadapan, jaraknya dengan Furqon sangat dekat dan tangan mereka saling bertautan.
Feiza merasa malu luar biasa karenanya. Terlebih ketika dirinya dan Furqon sarapan pada pukul 05.00. Begitu lebih awal daripada biasanya karena keduanya berencana kembali ke Plosojati pukul 06.00 pagi. Bu Nyai Farah, umi dari Furqon yang tak lain adalah ibu mertuanya menggodanya.
"Jadi sudah sampai mana progres cucu Umi? Semalam Umi dengar ribut sekali."
Uhuk uhuk uhuk!
Feiza langsung melebarkan kedua mata mongoloidnya. Sedangkan Furqon yang ada di sampingnya, laki-laki itu sudah terbatuk hingga Feiza mengangsurkan segelas air untuk diminumnya.
Bu Nyai Farah dan Kiai Hamid hanya tertawa-tawa.
"Gus, ada yang mau aku bicarakan dengan njenengan," ucap Feiza memecah kebisuan yang sejak bangun menyelimuti dirinya dan Furqon.
Pukul 05.32. Keduanya sedang berada di kamar Furqon saat ini, bersiap-siap hendak kembali ke Plosojati.
Furqon menoleh ke Feiza dengan sebelah alis menukiknya. "Apa, Feiza?" tanya laki-laki itu.
Feiza menggigit pipi bagian dalamnya.
Melihat Feiza yang tidak segera bersuara, Furqon menepuk bagian kosong ranjang di sampingnya, memberi isyarat agar Feiza yang masih berdiri duduk di sebelahnya.
Feiza diam tampak berpikir sebentar kemudian menurut, ia duduk di samping Furqon. Namun, tidak tepat di permukaan kasur yang sebelumnya laki-laki tepuk. Feiza mengambil jarak setengah meter dari suaminya.
Furqon mengernyitkan dahinya. "Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya kemudian.
Feiza menghela napasnya pelan. "Aku bingung mau memulainya dari mana, Gus," lirihnya.
"Bicara saja, Fe! Pelan-pelan. Kita masih punya cukup waktu," kata Furqon sembari melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Feiza berdeham kecil untuk membersihkan tenggorokannya. "Gus Furqon," lirihnya. "Di Plosojati nanti, kita akan tinggal di mana?" tanyanya.
Furqon tersenyum. "Tentu saja di tempatku."
Kedua netra Feiza langsung melebar.
"Kenapa?" Furqon balik bertanya.
"Kalau aku ingin njenengan menyembunyikan pernikahan kita, njenengan bisa kan?" balas Feiza masih lirih, kembali melempar tanyanya.
Kedua alis Furqon langsung menukik tajam menatap Feiza.
"Aku tidak ingin kehilangan beasiswaku, Gus," jelas Feiza.
"Karena itu? Bukannya aku sudah bilang, kamu sepenuhnya tanggung jawabku, Fe?! Aku bisa membiayai kamu kuliah sampai lulus."
Mata Feiza berpendar ke arah lain. "Aku tahu, Gus," balas Feiza. Ia kemudian menundukkan kepala. "Tapi aku yakin njenengan masih ingat percakapan terakhir kita di rumahku, saat Ayah dan Ibu ke pasar." Jeda. "Aku belum siap dengan pernikahan ini. Aku tidak siap dengan status kita." Tanpa sadar Feiza meneteskan air matanya.
Furqon langsung terhenyak melihat Feiza yang tiba-tiba sudah menangis. Ia cepat meraih kotak tisu yang ada di meja nakas lalu menyerahkannya kepada Feiza. "Jangan nangis, Fe," pintanya.
Feiza menerima kotak tisu itu, sedikit mengolok-olok Furqon di dalam hati karena alih-alih memberinya beberapa lembar tisu seperti lumrahnya orang peduli lainnya, laki-laki itu memberikannya tisu sekotak-kotaknya.
Feiza menyesatkan air matanya dengan beberapa lembar tisu yang diambilnya dari kotak tisu pemberian Furqon. Ia mengatur pernapasannya, berusaha tidak menangis lagi lalu menatap laki-laki itu. "Njenengan bisa kan?" tanyanya lagi meminta jawaban Furqon.
"Huft. Baiklah. Aku bisa." Furqon akhirnya mengiyakan keinginan Feiza.
Gadis itu langsung mengulas senyumnya. "Terima kasih."
"Hn." Furqon mengangguk. "Tapi maaf. Aku nggak bisa menyembunyikan pernikahan kita dari semua orang," lanjutnya.
Feiza langsung terkejut mendengarnya. Matanya membola. "Kenapa, Gus?"
"Ada satu orang di kampus kita yang sudah terlanjur tahu."
"S-siapa?" Mata Feiza semakin membola mendengarnya, seolah akan melompat keluar.
"Salim," jawab Furqon. "Santri Abah yang menjadi khodamku."
"Kak Salim ... PAI?" tanya Feiza.
"Iya, selain sejurusan denganku di PAI, dia teman sekelasku juga."
Feiza ingin kembali menangis saja mendengarnya.
Salim. Feiza tentu tahu laki-laki itu. Di kampus, ia selalu melihatnya berada di sekitar Furqon, di mana pun itu saat Feiza tidak sengaja melihat, berpapasan, atau bertemu dengan mereka. Sekarang terjawab sudah alasannya. Rupanya laki-laki berambut gondrong dengan wajah sangar itu adalah khodam Furqon. Pantas saja Feiza selalu melihatnya di samping Furqon. Terlebih saat mengikuti acara organisasi eksternal di kampus mereka. Sebab sekali lagi, PAI yang menjadi jurusan Furqon dan PGMI jurusan Feiza memiliki muara organisasi mahasiswa eksternal kampus yang sama pula.
Lalu masalahnya, sedikit banyak Feiza tahu seperti apa Salim itu. Ia seorang senior yang mudah bergaul dengan siapa saja dan tampak selalu up to date dengan berita bahkan gosip dan kabar burung yang ada di fakultas juga kampus mereka. Bagaimana kalau Salim sudah membeberkan pernikahan Feiza dengan Furqon kepada yang lain? Apalagi, mengingat akad nikah mereka yang menurut cerita ibunya sudah berlangsung sebulan yang lalu. Mati Feiza kalau beritanya sampai kepada dosen-dosennya. Sangat bisa dipastikan, Feiza akan segera kehilangan beasiswa yang susah payah diperolehnya.
Tbc.