"Kenapa kamu seperti ingin menangis lagi, Fe?" tanya Furqon. "Tenang. Salim bisa dipercaya." Furqon tertawa.
"Njenengan yakin?" sambar Feiza.
"Iya. Meski aku tidak memintanya langsung untuk itu, aku tahu Salim tidak akan menceritakan pernikahan kita kepada siapa pun tanpa seizinku."
Feiza langsung menghela napasnya lalu mengusap air mata yang ada di ujung pelupuk matanya dengan tisu.
"Sudah, kan?" tanya Furqon sembari melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 05.47.
"Ada yang ingin kukatakan lagi, Gus," balas Feiza.
"Nggak nanti saja saat di Plosojati?"
"Ndak." Feiza menggeleng. "Aku ingin bilang sekarang."
"Baiklah. Soal apa?" tanya Furqon.
"Soal pemilwa, pemilihan mahasiswa." Feiza tidak langsung berterus-terang, menunggu tanggapan Furqon. Namun, laki-laki itu hanya diam hingga Feiza pun memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya. "Aku didapuk untuk menjadi ketua umum HMJ PGMI," lanjutnya. "Aku harap, njenengan tidak masalah dengan itu, karena aku sendiri ingin maju dan mengelola himpunan mahasiswa di jurusanku."
Furqon mengulas senyumnya. "Kukira apa," katanya. "Iya, aku sudah dengar, Fe. Tentu, kamu bisa mencalonkan diri. Aku tahu kamu mahasiswa yang potensial untuk menjabat sebagai ketua hima."
"Njenengan ... sudah tahu?" tanya Feiza heran.
"Tentu saja, Satria bercerita padaku."
Feiza mengangguk mendengar nama salah satu senior di jurusannya disebutkan Furqon yang memang teman laki-laki itu.
"Jadi mau mencalonkan diri dengan siapa? Anak kiai Blitar itu? Gus siapa namanya ...." Furqon tampak mengingat-ingat sebuah nama.
"Fahmi," lirih, sambung Feiza.
"Ah, iya. Gus Fahmi." Furqon mengangguk. "Jadi maju dengannya?" tanyanya.
"I-iya, Gus," lirih balas Feiza. "Jadi, njenengan ndak masalah ... aku ikut pemilwa?"
"Nggak sama sekali." Furqon menggeleng dengan senyuman. "Sudah kubilang kan, aku tidak akan membatasi pergerakanmu, Feiza?! Lakukan apa pun yang kamu inginkan, kejar yang kamu cita-citakan, aku akan mendukungmu semampu yang kubisa."
Feiza dibuat terdiam mendengarnya. Rupa-rupanya ketakutannya tidak terbukti. Furqon ... laki-laki yang sudah menikahinya itu mau memberinya lampu hijau.
"Mungkin kamu juga sudah dengar, di pemilwa aku juga akan mencalonkan diri untuk kursi presma fakultas," ucap Furqon.
"Ah, iya, Gus." Feiza mengangguk.
Hening.
Tidak lama, Furqon kemudian melirik waktu yang ditunjukkan jam di pergelangan tangannya. Pukul 05.58. "Sekarang bagaimana kalau kita berangkat, Fe?" ajaknya.
"Sebentar, Gus," ucap Feiza.
"Kenapa?" Furqon bertanya lagi.
"Aku punya permintaan lagi ke njenengan."
"Hm. Apa?" Furqon kembali menatap penuh perhatian kepada Feiza.
Feiza menguatkan hatinya sebelum bicara. Ini adalah salah satu hal yang paling diinginkannya. "Aku ... ingin tetap tinggal di kos yang sebelumnya kutempati."
Yang diajak bicara langsung melotot. "Apa?" Furqon tampak terkejut. "Lalu rumah yang sudah lama kukontrak untuk apa, Fe?" tanyanya. "Salim bahkan sampai kusuruh mencari tempat tinggal sendiri belum lama ini supaya kita bisa tinggal berdua."
Feiza berusaha tidak gentar mendengar Furqon yang seperti tengah bertanya sarkas kepadanya. Ia juga membentengi hatinya supaya tidak merasa bersalah.
"Njenengan kan sudah setuju untuk merahasiakan pernikahan kita, Gus."
"Iya, betul. Tapi kita bisa tetap tinggal bersama, Feiza."
"Ta-tapi tentu akan sangat berisiko kalau ada yang tahu dan memergoki kita. Banyak orang yang akan salah paham dan nama baik kita yang akan jadi taruhannya."
Furqon menghela napasnya. "Kamu istriku dan aku suamimu, Feiza. Kenapa kita tidak tinggal bersama? Kita bisa tinggal berdua dan tetap berusaha menjaga kerahasiaan pernikahan kita."
"Itu tetap sangat riskan, Gus Furqon." Feiza membalas. "Aku ndak bisa begitu aja ninggalin teman sekamarku di kosan. Kami sudah komitmen untuk menyewa kamar kos itu sampai lulus, atau seenggaknya sampai semester tua."
Furqon terdengar keras menghela napasnya. "Dan kamu tega menyuruhku tinggal sendirian saja?" tanyanya.
Feiza sedikit menunduk. "Maaf." Ia mencicit.
"Kamu harus tinggal denganku," putus Furqon.
Kepala Feiza langsung terangkat mendengar suara tegas bernada perintah yang Furqon ucapakan. "Tapi, Gus! Bagaimana dengan temanku? Aku ... nggak bisa egois. Hal itu juga riskan menimbulkan hal yang tidak-tidak kalau kita tinggal bersama." Gadis itu melirih di kalimat terakhirnya.
Furqon dalam menatap Feiza. Hanya seperti itu selama beberapa lama kemudian menghela napas. "Oke, kamu boleh tetap tinggal di kamar kosmu. Tapi ada syaratnya."
Alis Feiza sedikit mengerut mendengarnya. "Syarat apa, Gus?" tanyanya pelan.
"Dalam seminggu, kamu harus lebih banyak tinggal denganku."
"Hah? Tapi-tapi, bagaimana bisa? Gimana aku menjelaskannya kepada temanku, Gus, saat aku tidak tinggal di kos?"
"Itu tugasmu untuk mencari alasan, Fe," senyum Furqon.
Mulut Feiza langsung menganga. "Tapi, Gus." Suaranya berubah seperti sedikit merengek. "Dalam seminggu harus lebih banyak tinggal dengan njenengan? Berarti empat hari dari tujuh?"
"Iya, itu minimalnya. Lebih dari itu lebih baik."
"Njenengan bercanda? Hari aktif kuliah Senin sampai Sabtu, Gus. Pelayanan di kampus hari Senin sampai Jumat sedangkan liburnya hanya di hari Minggu. Bagaimana bisa aku tinggal dengan njenengan empat hari dari seminggu? Apalagi kalau semisal di pemilwa aku terpilih. Njenengan juga akan jadi presma, kan? Pasti akan lebih berisiko kalau tinggal bersama. Tolong jangan menyulitkan, Gus."
Furqon tersenyum. "Sudah kubilang kita pasti bisa tetap menjaga kerahasiaan pernikahan kita, Feiza."
"Tapi, Gus."
"Nggak ada tapi-tapian. Dialogis selesai."
"...."
"Sekarang ayo kita berangkat!"
Tbc.