Bab 14

1017 Words
"Kamu sudah hafal berapa juz, Nduk?" tanya Bu Nyai Farah kepada Feiza tepat setelah wiridan, doa, dan musafakhah usai jemaah salat Asar dilakukan. Feiza yang merasa tidak memiliki banyak hafalan langsung meringis. "Ndak sampai berapa juz, Umi," katanya. "Hanya juz amma dan beberapa surah," lanjutnya. "Ooo." Bu Nyai Farah langsung membulatkan mulutnya dengan suara huruf vokal 'o' yang keluar terdengar. "Umi kira kamu sudah khatam hafalan surah-surah Al-Qur'an seperti suamimu di pesantren tahfidz paman kamu, Zahra." Feiza hanya diam mendengarnya. Benar, Furqon memang seorang hafidz Al-Qur'an yang dulu nyantri di pesantren paman Feiza itu. Dan di sana pula sebenarnya awal Feiza mengenal Furqon, dan mungkin, awal pula bagi Furqon mengenalnya. "Kulo tidak ikut program tahfidz, Mi," lirihnya sambil mencoba tersenyum. "Kenapa lho, Nduk?" tanya Bu Nyai Farah bernada terkejut. "Eman banget kalau kamu ndak ikut program tahfidz. Segera ikut, ya! Tambah hafalanmu biar kamu bisa bantu Abah dan Umi ngemong santri-santri tahfidz di sini. Bantu Furqon juga nantinya kalau pesantren ini sudah saatnya dipimpin suamimu." Feiza hanya diam sembari mengulas senyumnya. Belum apa-apa gadis itu sudah merasa ada beban yang begitu besar ditambahkan ke atas bahunya. "Ya sudah, sekarang kamu kembali saja ke rumah ndak pa-pa. Umi di sini dulu nyemak setoran hafalan santri putri, ya. Tak pikir kamu sudah bisa bantu Umi tadi nyemak hafalan, Zahra. Ternyata belum." Bu Nyai Farah tertawa. Feiza pun tidak bisa membalas apa-apa selain menganggukkan kepala lalu berangsur pergi dari musala pondok putri itu. Ia keluar dari pintu penghubung musala pondok putri dan ndalem kesepuhan, menutup pintu berbahan kayu jatinya kembali, lantas mendudukkan diri di sebuah bangku kayu panjang yang ada di halaman beranda ndalem itu. Masih memakai mukena dan dengan sajadah biru yang tadi ia gunakan jemaah tersampair di bahu kirinya, Feiza menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Menutupnya. Tidak lama, suara isakan lirih terdengar. Gadis itu menangis. Menangisi nasibnya. Kenapa semua ini terjadi padanya? Kenapa Ayahnya diam-diam menikahkannya tanpa sepengetahuannya? Kenapa laki-laki seperti Furqon yang menjadi suaminya? Kenapa? Gadis itu semakin terisak dalam. Dari kejauhan, bahu kecilnya bahkan tampak bergetar karena tangisannya itu. "Feiza!" Tak berselang lama, gadis itu tersentak dan langsung mendongak karena mendengar ada sebuah suara memanggil namanya. Mata mongoloidnya langsung membola melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Orang itu adalah Furqon, suaminya. Cepat, Feiza pun menghapus air matanya. "Kamu kenapa?" tanya Furqon bernada khawatir. Feiza hanya diam. "Kamu nangis? Kenapa? Apa yang terjadi?" Melihat Feiza yang hanya diam, Furqon langsung melempari Feiza banyak pertanyaan. "Feiza!" Laki-laki itu memanggil nama Feiza lagi dengan nada memperingati yang seolah menyuruh Feiza segera bicara. Feiza pun kini menggelengkan kepalanya. "Aku nggak pa-pa, Gus," katanya. Sebelah alis Furqon langsung menukik. "Kalau nggak kenapa-napa, kenapa menangis?" Ia terdengar tidak percaya akan jawaban Feiza. "Oh, ini ..., tadi kelilipan." Feiza mencari alasan lalu bangkit dari duduknya. Ia berencana menghindar dari Furqon yang mencoba mencecarnya. "Feizaa!" Furqon langsung menahan tangan Feiza yang sudah berbalik dan mengambil langkah menjauh darinya. Ia mendecakkan lidah lalu berdiri di hadapan gadis itu. Menatapnya tajam. Feiza yang sadar tengah dilempari tatapan tajam memilih menundukkan kepalanya. Ia mengelap sisa air mata yang masih ada di wajahnya. "Jangan bohong ke aku," pinta Furqon. "Kenapa menangis, hm?" lanjutnya bertanya. Feiza kembali menggelengkan kepala. "Sudah tak bilang tadi cuma kelilipan, Gus. Kenapa njenengan tidak percaya?" Feiza terdengar sedikit emosi ketika mengatakannya. "Aku makin yakin kamu sedang berbohong kalau begini," ucap Furqon dengan nada sedikit mengejek. Karena perbedaan tinggi mereka, Furqon kemudian menunduk dan sedikit merendahkan punggungnya untuk mencari wajah Feiza yang masih menunduk juga. "Kamu menangis kenapa?" tanya Furqon lagi, kali ini dengan nada penuh perhatian miliknya. Feiza langsung menyeka air mata yang kembali membasahi pipinya lalu melepaskan tangan kirinya yang ada di genggaman tangan Furqon. "Aku bener-bener nggak pa-pa, Gus. Tadi cuma kelilipan," kilahnya. "Tolong jangan seperti ini," pinta Feiza pada akhirnya lalu melangkah lebar masuk ke ndalem kesepuhan. Furqon yang Feiza tinggalkan pun hanya menghela napas panjang. *** Selapas Magrib, Bu Nyai Farah benar-benar menepati kata-katanya yang sebelumnya mengatakan masih ingin banyak mengobrol dengan Feiza. Perempuan paruh baya itu memasrahkan urusan setoran hafalan beberapa santri putri yang beliau ampu kepada para ustazah yang memang selalu membantunya di pondok putri, khusus untuk hari ini. Di pesantrennya, setoran hafalan Al-Qur'an para santri memang dijadwalkan bisa dilakukan setiap selesai Subuh, Asar, dan Magrib. Jadi selepas setoran bakda Asar, para santri bisa melakukan setoran bakda Magrib yang berarti itu sekarang. Setelah mempercayakan setoran hafalan beberapa santri putri pilihan yang diampunya kepada para ustazah yang lain, Bu Nyai Farah mengajak Feiza yang kembali ikut menunaikan kewajiban salat Magribnya secara berjemaah bersamanya di musala pondok putri ke ruang keluarga dan mengajak menantunya itu berdialog sembari membuka album lama foto keluarga. Kisah masa kecil Furqon yang diangkat Bu Nyai Farah untuk dijadikan bahan pembicaraan bersama Feiza berbahankan foto-foto Furqon yang terpampang di album foto keluarga itu. Beberapa kali Feiza juga dimintanya menceritakan masa kecilnya. "Sama seperti kamu, Nduk. Furqon juga anak kami satu-satunya. Laki-laki pula. Padahal Umi sangat ingin mempunyai anak perempuan juga. Tapi alhamdulillah, Gusti Allah mengabulkan doa Umi karena sekarang Umi punya kamu," tutur Bu Nyai Farah. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan bicara ke Umi ya, Zahra? Umi sekarang ibu kamu juga." Perempuan paruh baya itu menggenggam tangan Feiza dengan sebelah tangannya. Feiza memandang sebentar tangan Umi Furqon yang memegang tangannya itu lantas mengangguk kaku. "Umi," panggil Feiza. "Iya, Nduk?" respons Bu Nyai Farah. "Kalau kulo boleh tahu, kenapa Umi memanggil kulo Zahra?" Feiza melempar tanya. "Zahra memang nama kulo juga. Tapi, selama ini belum ada yang memanggil kulo seperti itu." "Lho, iya ta?" Bu Nyai Farah tampak terkejut. "Enggeh." Feiza mengangguk. "Selama ini nama panggilan kulo Feiza dari nama Faizah kulo, Umi. Ada juga yang memanggil kulo Fe kalau sudah cukup akrab." Bu Nyai Farah yang terlihat masih terkejut langsung tertegun. "Umi kira panggilan kamu Zahra, Nduk," ungkapnya setelah beberapa lama. "Karena selama ini, Furqon selalu menyebut nama kamu Zahra di depan kami. Jadi, Abah dan Umi berpikir kalau nama panggilan kamu memang Zahra." Feiza yang langsung ganti tertegun mendengarnya. Jadi, Furqon yang pertama kali menyebutnya Zahra di depan abah dan uminya sehingga Kiai Hamid dan Bu Nyai Farah ikut juga? Mengapa? Sejak kapan? Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD