"Abah ...."
Furqon menyalami abahnya. Setelahnya, Feiza pun melakukan hal yang sama. Gadis itu beringsut mendekati Kiai Hamid setelah Furqon, maraih punggung tangannya, lalu menciumnya dalam-dalam.
"Alhamdulillah." Kiai Hamid bergumam. "Ayune mantuku," lanjutnya memuji kecantikan Feiza.
Kini gadis itu sudah melepas masker di wajahnya, sehingga wajah cantik yang ada di baliknya terlihat dengan jelas.
Bu Nyai Farah, umi Furqon langsung tersenyum. "Iya, Bah. Pantas saja kalau putra kita tidak mau menikah dengan gadis lain selain Zahra."
Feiza kembali tertegun mendengarnya. Umi Furqon kembali menyebutkan nama perempuan asing di depannya.
"Umi ...," rajuk Furqon yang langsung membuat Bu Nyai Farah terkekeh geli.
"Lho, iya tho? Kenyataannya begitu tho?!" Bu Nyai Farah kembali tertawa.
"Kata Furqon kalian kuliah di tempat yang sama ya, Nduk?" Kiai Hamid melempari Feiza tanya.
"Ah, enggeh, A-Abah." Feiza mengiyakan meski di akhir nada suaranya terdengar ragu ketika menyebut Kiai Hamid dengan sebutan 'abah' seperti Furqon.
Kiai Hamid manggut-manggut. "Jurusan apa, Nduk?" Beliau kembali mengajukan tanya.
Feiza pun segera membalasnya. "Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Bah."
"Wah, bagus itu. Bagus, Nduk," komentarnya. "Sefakuktas dengan Furqon yang ambil jurusan Pendidikan Agama Islam, ya. Insyaallah kamu akan menjadi pendidik yang baik nantinya. Dan Abah rasa, kamu juga akan menjadi ibu, madrasatul ula yang baik juga untuk anak-anak kalian kelak, juga santri-santri di sini."
Perut Feiza sedikit melilit mendegar harapan Kiai Hamid kepadanya yang terasa melambung tinggi.
Anak-anaknya dengan Furqon? Santri-santri di sini?
Oh, yang benar saja! Feiza tidak bisa meski hanya membayangkannya.
Dalam bayangan Feiza, ia mengambil jurusan PGMI agar bisa menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar nantinya, sesuai jurusannya. Bukannya diharapkan mengasuh santri-santri di pesantren yang sebegitu banyaknya. Apalagi memiliki anak dengan Furqon? Itu terdengar seperti sebuah lelucon konyol.
"Aamiin." Di sisi lain Furqon mengaminkan ucapan abahnya.
"Sudah semester berapa sekarang, Nduk?" Kiai Hamid melempar pertanyaan lagi.
Feiza menelan keras air ludahnya sekali. "Sebentar lagi semester 4," jawabnya lirih.
Kiai Hamid tersenyum lantas kembali mengangguk-angguk. "Jarak 2 semester dengan suamimu, ya?"
"Enggeh, Bah." Kali ini Furqon yang menjawabnya.
"Hmm." Kiai Hamid membalasnya dengan gumaman.
"Zahra, Furqon, Umi sebenernya sudah sangat ingin menimang cucu dari kalian. Tidak bisakah segera kalian usahakan, hm?" celetuk Bu Nyai Farah tiba-tiba yang membuat Feiza langsung terkejut mendengarnya.
Baiklah. Feiza sebenarnya tidak tahu siapa itu Zahra. Namun, semakin ke sini nama itu sepertinya merujuk kepadanya.
Nurul Faizal Az-Zahra. Ada nama Zahra yang tersemat di namanya. Meski tidak pernah ada yang memanggil Feiza dengan nama itu sehingga terdengar sangat asing di telinganya, tapi sepertinya Zahra memang menjadi nama panggilan Feiza di depan Bu Nyai Farah, entah bagaimana.
"Umi, kami masih kuliah, Umi." Furqon menatap lembut uminya, memberi pengertian.
"Ya, apa salahnya?" Bu Nyai Farah balas menatap sang putra. "Kalau kalian repot, Umi kan bisa menjaga cucu Umi sendiri."
Pernapasan Feiza terasa sesak terlibat dalam percakapan ini. Ia tidak pernah siap untuk semuanya.
Perdebatan soal anak dan cucu yang sesekali diselingi topik lainnya pun berlanjut hingga waktu Asar tiba.
Allahu akbar~ Allahu akbar~
Suara azan mengalun, berkumandang dari masjid pesantren.
"Kalian menginap kan, Le, Nduk?" tanya Bu Nyai Farah akhirnya begitu azan selesai dikumandangkan dan doa setelah azan dibacakan.
"Mboten, Mi. Besok siang kami ada kelas," jawab Furqon membuat Feiza terkejut.
Bagaimana bisa Furqon tahu kalau kelasnya besok juga saat siang? Informasi dari mana? Feiza kemudian teringat jika sekarang ia berhadapan dengan siapa. Muhammad Furqon Al-Akhyar, kandidat terkuat presiden mahasiswa di fakultasnya. Informasi semacam jadwal perkuliahan tentu hal yang kecil untuknya. Toh, semua mahasiswa sebenarnya memiliki akses untuk melihat jadwal itu.
"Jadi kami kembali sehabis ini saja," lanjut Furqon masih menatap sang umi.
"Halah. Wong ya kelasnya siang. Kalian menginap saja malam ini. Kembali besok pagi ndak masalah. Ya?!"
Furqon menggelengkan kepala. "Tapi kelasnya jam sepuluh, Mi."
"Ya, ndak pa-pa. Berangkat dari sininya dari pagi-pagi."
"Tapi, Umi."
"Nggak ada tapi-tapian lagi, Le! Nyenengin Umi itu gampang. Belum mau ngasih Umi cucu ndak pa-pa. Kalian hari ini mau menginap Umi sudah bahagia. Pahala besar kalau kamu mau nyenengin Umi, Furqon."
Furqon dibuat bungkam mendengarnya.
"Ya, Nduk, Zahra, kamu menginap, ya? Umi masih mau ngobrol banyak hal denganmu?" Bu Nyai Farah kembali menatap Feiza dengan binar harapan di kedua manik matanya yang membuat Feiza langsung tidak enak hati untuk menolak.
"Em, bisa saja, Umi. Tapi kebetulan kulo tidak membawa baju ganti." Feiza menemukan alasan halus yang sesuai fakta dan tetap masuk akal untuk menolak keinginan Bu Nyai Farah.
Bu Nyai Farah langsung tertawa sembari mengibaskan tangannya. "Howalah, Nduk. Soal itu gampang," gumamnya. "Ada baju saudari sepupu Furqon di rumah. Bisa kamu pakai dulu. Jadi ndak ada alasan lagi, ya? Kamu sama Furqon harus menginap hari ini. Umi tidak menerima penolakan pokoknya."
Feiza langsung mati kutu mendengarnya.
Kenapa ia tidak membuat alasan bohong dengan mengatakan kelasnya dimajukan jadi kelas pagi saja? Berbohong demi kebaikan tidak apa, bukan? Iya, kan?
Feiza tidak mau tidur satu kamar dengan Furqon!
***
"Ayo, Zahra! Ikut Umi salat jemaah di musala pondok putri, ya!"
Feiza yang baru selesai gantian mandi dengan Furqon dikejutkan oleh kedatangan Bu Nyai Farah di ambang pintu kamar Furqon. Furqon sendiri sudah masuk ke dalam kamar mandinya setelah Feiza.
"Umi??!" Gadis itu benar-benar terkejut.
Di hadapannya, sudah ada Bu Nyai Farah dengan mukena terusan berwarna putih yang membalut wajah cantiknya. Di tangan kanannya, tampak ada dua buah sajadah berwarna biru dan hijau juga sebuah mukena lain.
"Ini, sudah Umi siapkan mukena buat kamu." Perempuan paruh baya itu melangkah masuk kamar sang putra dan menyerahkan mukena dan salah satu sajadah yang ada di tangannya kepada Feiza.
Mau tidak mau Faiza pun menerimanya.
"Salat di musala pondok putri, Umi?" tanya Feiza kepada Bu Nyai Farah.
"Iya, Nduk. Ayo! Segera kamu pakai mukenanya."
"Ta-tapi, Umi. Kulo salat sendiri di kamar saja," ucap Feiza.
"Lho, di musala saja dengan Umi, Nduk. Salat jemaah pahalanya lebih unggul dua puluh tujuh derajat lho, daripada salat sendiri," balas Bu Nyai Farah lagi. "Lagi pula malu kenapa? Salatnya di musala pondok putri, Zahra. Hanya dengan mbak-mbak santri putri saja. Ndak ada santri putra."
"Tapi, Umi." Feiza berusaha menolak lagi.
"Ayolah, Nduk. Kamu kan putri Umi sekarang, apa salahnya ikut salat Umi di musala pondok putri, hm?" kata Bu Nyai Farah.
"Kulo, kulo mau salat jemaah dengan Gus Furqon!" Feiza memutar otak dan menemukan alasan lagi.
Dahi Bu Nyai Farah langsung mengernyit. "Salat jemaah dengan Furqon?" tanyanya. "Mana? Mana orangnya? Masih mandi gitu. Biarin suamimu itu. Biasanya dia ikut jemaah di masjid dengan Abah. Biar ke masjid saja dia. Kali ini kamu ikut Umi, ya?! Sudah Umi siapkan mukena sama sajadah juga gini lho. Ayo, Nduk. Ndang dipakai mukenanya!"
Feiza akhirnya tidak bisa menolak lagi dan berakhir menuruti ajakan Bu Nyai Farah. Ia memakai mukena terusan yang dibawakan ibu dari laki-laki yang sudah menikahinya itu lalu mengekorinya ke musala pondok putri.
Untuk ke musala pondok putri, mereka berjalan ke beranda sayap kanan rumah dan melewati jalan batu yang ada di halaman beranda sayap kanan itu. Jalan batu yang akan menghubungkan ndalem kesepuhan dengan bangunan musala. Dan diseberang musala, berdirilah komplek asrama santri putri. Sehingga bisa dikatakan, musala itu penghubung langsung antara pondok putri dengan ndalem kesepuhan.
Dan karena 90% bangunan musalanya ada di pondok putri, musala itu hampir tidak akan terlihat sebagai musala jika Feiza tidak masuk ke dalamnya lewat pintu penghubungnya. Dan lagi, dari luar area ndalem dan pondok putri, musala itu malah tidak akan terlihat karena sebagian besar bangunnya berdiri di balik dinding pagar asrama.
Feiza langsung ingin menyembunyikan wajahnya begitu berada di dalam musala karena semua mata yang rasanya hanya tertuju ke arahnya.
"Allahu akbar Allahu akbar. Asyhadu 'allaa ilaaha illallah. Asyadu 'anna Muhammadar Rasulullah. Hayya 'alas-sholah. Hayya 'alal-falah. Qod qomatis sholah. Qod qomatis sholah. Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallah."
Hingga ada salah satu santri putri yang mengumandangkan iqamah karena Bu Nyai Farah sebagai imam salat di musala pondok putri sudah tiba, Feiza bisa mendengar beberapa bisik-bisik santri putri yang merasa penasaran akan sosok Feiza.
Baru setelah iqamah itu dikumandangkan, Feiza sudah tidak mendengar bisikan-bisikan itu lagi.
Gadis itu menghela napasnya sebelum menggelar sajadah birunya di lantai tepat yang ada di belakang Bu Nyai Farah. Tempat yang oleh seorang santri putri mempersilakan bagi Feiza menempatinya.
Kini satu hal yang Feiza tahu benar, hancur sudah rencananya untuk melindungi identitasnya meski itu mungkin hanya sebatas wajahnya.
Tbc.