Chapter 8 - The Servant?

1276 Words
Sejak awal aku tahu Evelyn bukanlah seorang jalang yang akan menerima pria manapun memasukinya. Aku tahu dia tidak seburuk itu. Dan aku marah pada diriku sendiri karena merasakan hal aneh seperti ini. Aku percaya bahwa aku membencinya. Aku percaya bahwa dialah beban hidupku. Saat kontrak dalam kertas itu jatuh tanggal. Aku percaya bahwa aku bisa meninggalkannya.   ***   Mataku kembali terbuka untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak bisa tertidur disaat aku tahu aku sangat membutuhkannya. Tapi ada hal lain yang lebih aku butuhkan saat ini. Lantas akupun meraih ponselku di atas nakas untuk menghubungi Sarah, salah satu jalang submisifku. Aku membutuhkanmu. Dimana kau? Tidak ada balasan. Ah mungkin jalang itu sedang sibuk b*********a dengan lelaki belang di luar sana. Setelah lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk mencari sendiri. Mungkin club malam adalah pilihan yang tepat. Akan tetapi kuurungkan niatku sejenak setelah mendengar bunyi bel di luar. Sialan! Siapa yang datang malam-malam seperti ini!   * Aku menatap lama layar interkom di samping pintu. Dimana wajah menor Sarah terpampang jelas. Kenapa jalang sialan itu malah datang kesini?! Aku mengumpat kesal karenanya. Tapi akhirnya, aku membuka akses masuk untuknya dan kulihat Sarah tersenyum centil ke arah layar interkom. Aku melirik kunci yang tergantung di samping pintu. Tapi aku tidak membutuhkannya. Pintu ini memiliki keamanan otomatis yang akan selalu terbuka dari dalam, dan terkunci dari luar. Dan kunci yang menggantung itu hanya untuk cadangan. Aku membuka pintu dan terkejut mendapat serangan bibir dari Sarah. Alih-alih menolak, aku malah membalasnya. Setelah kupastikan pintu tertutup, aku menggendong Sarah menaiki tangga hingga sampai di kamarku. Kemudian aku menjatuhkannya ke ranjang bersamaan denganku di atasnya. Aku melakukannya dengan cepat dan kasar. Tidak ada kelembutan. Ya, memang tidak pernah ada kelembutan bagiku saat melakukan ini. Aku tidak perduli. Dan hal itu seakan menjadi sebuah kesenangan tersendiri bagi Sarah. Dia tersentak, mendesah, berteriak, bahkan sampai menjerit. Aku bersyukur kamar ini kedap suara. Jadi sekeras apapun jeritan Sarah, suaranya tidak akan sampai terdengar jelas ke lantai bawah. Samar aku mendengar suara ketukan dipintu. “Ahhh... ya sayang. Terus lakukan itu! Ohhhh…” Sarah kembali mendesah untuk yang kesekian ratus kalinya. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi. Jadi aku menghentikan apa yang tengah aku lakukan. Sarah menatapku terkejut saat aku bangkit dari ranjang dan menghiraukannya untuk mencari boxer baruku di lemari. “Biarkan saja, itu mungkin hanya pelayanmu,” Aku hanya diam tidak menjawab. Jika memang pelayan, aku bersumpah akan memecatnya langsung! Aku membuka pintu dan langsung terkejut saat kibasan rambut hampir saja mengenai wajahku. Dan aku semakin terkejut saat menyadarinya. “Evelyn?!” seruku, seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. “Apa yang kau lakukan disini? Kenapa belum tidur?” tanyaku, kali inilebih tenang. “Sayang, siapa?” Aku menjadi sangat kesal pada Sarah. Tidak bisakah dia tidak ikut campur dan diam?! Sialan! “Bukan siapa-siapa.” jawabku ketus. “Jika tidak ada yang ingin kau katakan, kau boleh pergi.” dengan itu, tanpa berkata apa-apa Evelyn mengangkat kakinya dan pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya dan tidak tahu ada apa di wajahnya. Aku yakin dia sudah tahu akan kehadiran Sarah dan apa yang telah kami lakukan sebelum dia datang.  Apa dia terlalu terkejut hingga memilih  untuk berbalik? Atau merasa jijik. Atau kesal karena keributan yang aku buat. Atau mungkin dia tidak perduli? “Pelayanmu, eh? Dia sudah mengganggu malam kita, kenapa tidak kau pecat saja langsung?” Aku diam cukup lama hingga punggung Evelyn telah menghilang di balik pintu kayu kamarnya. Sarah kembali menggodaku dan aku tidak menolak godaannya, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi. Lantas akupun berhenti. “Justin? Kenapa?” “Aku sudah tidak mood lagi. Pergilah!” balasku seraya memejamkan mata. Memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Atau pada situasi sialan ini! Sarah masih diam tidak menjawab. Dan aku tidak harus menunggu jawabannya untuk meraih kepastian. Karena dia pasti akan pergi. “Satu pelepasan lagi bagaimana? Sikapmu berubah setelah bertemu pelayan tadi. Memangnya siapa dia?” Aku mendengarkan cukup baik apa yang diucapkan Sarah dan aku tidak menyangkal itu benar. Dan benar...memangnya siapa dia? Dia tidak ada pengaruhnya tentang hal pribadiku. Sekalipun dia istriku. Tapi bukan berarti dia berhak akan segalanya. Lagipula, aku tidak pernah menganggapnya sebagai istri sah-ku. Sialan lagi! Aku menjadi mengindahkan ucapan Sarah. Karena setelahnya, aku mendapati diriku kembali menciumnya kemudian melakukannya lagi seperti yang diinginkannya.   * Aku berdiri di ambang jendela seraya menatap ke luar. Mengamati kegelapan di sana. Sarah belum juga beranjak pergi, dia masih terbaring terlentang di atas ranjang dengan nafas yang memburu. Kulihat lampu pada gerbang menyala secara otomatis yang artinya terbuka. Pintu gerbang juga berfungsi sama seperti pintu utama. Dan aku mengutuk karena hal itu saat aku melihat bayangan Evelyn keluar dari sana. Rahangku mengeras, menahan diri untuk tidak segera menyusulnya. Jadi aku berbalik dengan u*****n kesal. “Pergi dari sini sekarang juga!” perintahku dingin pada Sarah. Dia memberengut kesal. Menolak dan meminta untuk tinggal. “Aku tidak pernah membiarkan orang lain tidur di ranjangku. Terlebih seorang p*****r sepertimu.” Sarah malah menyeringai nakal. “Ya, p*****r yang panas. Kau pasti takut akan godaanku. Iya kan?” Aku mendengus jijik. Kemudian kepalaku kutolehkan lagi ke jendela. Mencoba mencari bayangan Evelyn jika saja dia masih disana. Tapi tidak ada! Dia seperti lenyap ditelan kegelapan malam. Dan aku berjuang keras untuk tidak segera berlari mencarinya. “Baiklah-baiklah aku akan pergi, tapi pastikan kau akan memakaiku lagi!” Sarah berucap tegas di belakangku seakan memerintah. Hah! Mungkin setelah ini, aku akan berpikir dua kali untuk memakainya lagi. Dan tidak perlu menoleh untuk memastikan. Karena setelahnya aku mendengar pintu yang dibanting keras. Dan lagi! Aku tidak menghiraukannya. Aku melihat mobil Sarah yang perlahan menjauh dari jangkauan mataku dan menghilang saat berbelok ke jalan yang berlawanan dengan Evelyn. Aku memikirkan Evelyn. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada perempuan itu. Sial! Kenapa aku tidak segera mengejarnya saat pertama kali aku melihatnya pergi?! Aku melupakan fakta bahwa dia sedang mengandung. Aku sungguh tidak ingat! Dan aku bertanya-tanya maksud kedatangannya mengetuk pintu kamarku di tengah malam seperti ini. Jika dia normal, dia pasti menduga aku sedang tertidur. Tapi tidak! Pasti ada sesuatu yang penting. Apa… apa karena dia menginginkan sesuatu? Dia ingin aku membelikan keinginannya di dini hari seperti ini dan itulah kenapa dia mencariku. Tapi sialan! Sial! Sial! Sial! Hanya karena mengidam dia berani bertindak nekat. Perempuan sialan itu lagi-lagi menyakiti dirinya sendiri!   * Aku merutuki diriku karena tidak menggunakan mobil. Itu akan lebih mudah dibanding dengan berlari-larian pada dini hari seperti ini. Cuaca benar-benar dingin, tapi bukan berarti fakta itu membuatku tidak berkeringat, karena aku tahu pasti saat tetes demi tetes jatuh dari pelipisku. Aku sampai di jalan raya, tepat saat aku menengok ke kanan, aku melihat punggung Evelyn. Bagaimana bisa wanita hamil sepertinya berjalan secepat itu?! Aku menarik nafas lega lagi. Alih-alih kembali mengejarnya dan menyeretnya pulang, aku malah berjalan pelan mengikutinya jauh di belakang, seraya mengelap sisa-sisa peluh di pelipisku dengan punggung tangan. Perempuan ini benar-benar tidak takut sama sekali. Jika aku tidak disini, bisa saja dia diganggu oleh preman jalanan. Bukan diganggu! Sesuatu yang lebih parah lagi! Dan aku tidak mau memikirkannya. Evelyn berhenti tepat di depan sebuah toko yang selalu buka 24 jam. Dia masuk kesana dan tidak lama kembali keluar dengan membawa plastik putih. Kemudian ia duduk di sebuah kursi dan meja yang telah disediakan di depan toko tersebut. Aku mendekatinya hingga dapat kuulihat senyum di wajahnya, tampak berseri-seri. Dia kembali mencelupkan strawberry kedalam toples kecil nutella dan kembali tersenyum kegirangan saat memakannya. She's so adorable! Setelah cukup lama berdiri hanya meperhatikan, akhirnya aku memilih untuk mendekatinya dan duduk dikursi tepat di hadapannya. Ia hampir tersedak dengan strawberrinya saat matanya menatapku terkejut. “Justin?” bisiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD