Tak Pernah Peka

1199 Words
Bandung, September 2015   Di atas rooftop.   "Rin, mereka indah, ya," sanjung Putra. Lelaki sipit ini terbaring di pangkuanku. Kelakuannya menggangguku. Dan itu sedikit membuatku bingung dengan alur dari n****+ yang sedang k****a. Konsentrasiku pecah.   "Apa?"   "Bintang," jawabnya nyaris berbisik. Napasnya hangat berembus tepat di lenganku.   "Bintang itu banyak, terlalu banyak. Mereka harus bersaing untuk mendapatkan perhatian seorang manusia seperti kamu," gumamku ambigu. Sainganku memang terlalu banyak.   "Tapi kalian adalah Alfa Canis Majoris mereka lebih sering menyebutnya Sirius. Bintang paling terang di langit malam." Mata Putra menerawang jauh, wajah itu adalah wajah yang sama yang selalu aku kagumi setiap hari.   "Apa artinya itu?" tanyaku penuh harap.   "Walau jutaan bintang mengelilingi aku, kalian tetap paling terang. Kalian bertiga adalah tempatku pulang, Rin," tukas Putra. Dia meraih salah satu tanganku yang bebas, menggenggamnya, memainkan jari jemariku.   Aku hanya menghela napas berat. Faktanya persahabatan kami sudah berbeda. Saat Putra dan Reka putus mereka jarang kumpul bersama kami. Jika Putra ada maka Reka berdalih. Pun sebaliknya.   Ditambah aktivitas perkuliahan yang menyita banyak waktu. Sedangkan Anton, dia tidak meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Menjadi seorang Abdi negara sudah menjadi cita-citanya sejak lama. Dan aku bangga, melihat dia memakai seragam polisi.   Aku lebih banyak sendiri. Atau sesekali seperti malam ini, menemani Putra yang sedang kesepian karena ditinggal sang kekasih. Kekasih lain lagi, seorang perempuan dengan netra sewarna madu.   "Gombal!" sahutku, seraya berusaha melepas genggaman tangannya, ini berbahaya, ini tidak boleh, terlalu membuat hatiku kembali berharap.   "Sirius merupakan sistem bintang biner. Dia terdiri dari tiga bintang yang saling mengorbit. Bagiku tiga bintang itu adalah kamu, Reka dan Anton. Bintang utama dalam sistem ini memiliki sekitar dua kali massa matahari. Dan bintang utama itu adalah kamu." Hatiku berdesir mendengarnya. Tersanjung? Mungkin iya, meski itu semakin membuatku menjadi orang bodoh. Yang selalu jatuh dalam perangkap berulang kali.   "Tapi bintang akan tetap kalah dengan pesona terang bulan, rembulan itu satu, dia tidak punya saingan." Putra tertawa mendengar ucapanku.   "Habis terang bulan manis, sih, legit lagi. Ada gurih-gurihnya juga." Sumpah demi apa coba dia bicara seperti itu.   "Ngaco kamu, ah," hardikku. Jujur aku malu, semoga remang lampu rooftop mampu menyembunyikan merahnya mukaku.   "Lah, ada yang salah?" tanya Putra dengan senyum jahilnya.   "Ambigu!" Aku mencebik kesal.   "Kamu mikir apa sebenarnya?" tanya Putra yang disusul dengan tawanya yang berderai.   "Pikir sendiri, ah!" Ku tarik tanganku, tetapi dia meraihnya kembali dan menempelkan tepat di d**a kirinya. Aku dapat mendengar degup jantungnya, seirama.   "Terang Bulan kan martabak. Hayo, kamu mikir apa?"   "Diem, Putra. Aku mau lanjut baca n****+," sergahku. Putra masih tertawa mengejek. Ah, menyebalkan aku selalu menyukai cara dia tertawa. Candu.   "Hebat kamu, Rin. Baca n****+ dengan cara terbalik." What? Astaga wajahku semakin merah.   "Rin." Suaranya berbeda, dia mulai serius.   "Hmm."   "Besok jalan, yuk?" ajaknya, kini dia menempelkan telapak tanganku tepat di pipinya, refleks ibu jariku membelai pipinya yang tidak halus. Andai bisa seperti ini setiap hari.   “Mau, ya, Rin. Mauuu ,” rayu Putra.   "Ogah, bosen!" bosen di php in, Put. Janjimu selalu ingkar.   Berkali-kali, saat Putra membawaku pergi entah kemana, keesokan harinya mataku pasti sembab karena tangis. Pernah suatu ketika aku menunggunya satu hari penuh di bawah terik matahari. Dia melupakan janjinya, malah asik menemani pacarnya belanja di Cihampelas Walk.   Sekarang apa lagi? Apa ada jaminan kalau aku tidak akan terluka lagi? Apa ada jaminan jika dia tidak akan membuat mataku bengkak esok hari. Tidak ada Anton yang akan menghiburku. Aku benar-benar takut terluka.   "Ayolah, Rin," bujuknya. Aku berusaha untuk tidak menatap ke dalam matanya. Atau kalau tidak aku pasti menyerah melihat tatapannya yang penuh peemohonan.   "Tempatnya seru, Rin, keren buat spot foto sama ngadem," rayu Putra.   "Mana lagi? Males ah, banyak tugas." Aku masih berusaha menolak. Saat ini sedang tidak siap untuk kecewa. Lebih baik menenggelamkan diri dalan selimut tebal, bersama setumpuk makanan dan bacaan ringan yang memanjakan.   "Kamu bakalan nyesel kalau gak ikut, Rin." Putra mencebik, dia pura-pura merajuk. Aku bisa apa?   "Kemana memang?" Nah, kan, penasaran juga. Lihat itu, Putra dengan senyumnya.   "Talaga Bodas," jawabnya mantap. Senyumnya tiba-tiba merekah, membuatku berkali-kali kalah.   "Hah, dimana itu?" Aku terkejut karena memang baru pertama kali mendengar nama tempat itu.   "Garut. Besok pakai mobil, Rin. Jangan kesiangan, aku jemput habis subuh, ya." Dia melepaskan tanganku, kemudian mengubah posisinya hingga berbaring tepat di sebelahku. Ingin rasanya ikut berbaring, tetapi jantungku berdegup kencang dan sayangnya aku hanya merasakannya seorang diri, Putra tidak sama sekali.   "Serius?" Suaraku tiba-tiba serak.   "Iya, lah, kamu bakalan nyesel kalau gak ikut."   Kenyataanya aku menyesal sudah ikut. Menyebalkan, duduk di samping sopir mendengar kemesraan putra dengan Anjani.   Pepatah memang tidak pernah berkhianat. Penyesalan pada akhirnya akan datang belakangan. Tawa renyah Putra itu seharusnya hanya untukku, bisikan-bisikan mesra yang menjijikan itu seharusnya hanya aku yang mendengar.   Bukan dia, Anjani, gadis berambut hitam berlesung pipit dan genit.   "Hmm, Rinjani sudah lama sahabatan sama Putra?" tanya Pak Sopir, eh tunggu, aku memicingkan mata. Pria di sebelahku ini tidak terlihat seperti seorang sopir. "Kenalin, Rega, saya temennya Putra."   "Hai, Rega, kirain sopir," gumamku malu-malu.   Rega terbahak, "Tampangku mirip sopir, ya?"   "Dikit," godaku. Akhirnya Rega dan Aku terlibat dalam sebuah obrolan yang lumayan seru. Dia orangnya asik. Sejenak aku dapat melupakan kemesraan Putra dan Anjani yang sedikit menjijikan.   Kawah Talaga Bodas. Seperti namanya, telaganya berwarna putih. Ketika sampai di tepi telaga angin kencang menyambut kedatangan kami. Membuat rambutku berantakan.   Sudah menjadi kebiasaan Putra, tangannya selalu refleks merapikan rambutku. Menyelipkan surai-surai yang tertiup angin ke belakang telingaku.   Anjani mencebik sebal. Pasti dia cemburu. Begitu pun dengan Rega, dia memalingkan muka melihat interaksi kami.   Ah, Put, andai saja perhatian kecilmu ini lantaran cinta aku akan sangat bahagia. Akan selalu ku genggam erat tanganmu hingga tiada satu pun kecuali Tuhan yang dapat memisahkan kita.   "Rin, antar ke toilet, yuk?" ajak Anjani.   Putra menatapku lekat sebelum menganggukan kepala memberi persetujuan.   "Putra baik banget ya sama kamu, aku tadi sempet cemburu, lho," ketus Anjani.   Aku hanya bisa senyum. Sudah pasti cemburu, karena aku merasakan itu. Melihat Putra begitu lengket dengan Anjani atau perempuan mana pun. Hatiku terbakar, untung saja hati ini tidak terbuat dari kertas. Kalau iya ketika terbakar akan menjadi serpihan abu yang dengan mudah akan terbang tertiup angin.   "Putra emang begitu. Dia selalu perhatian sama siapa pun. Jangan cemburu." Pernah tertusuk duri? Rasanya perih bukan? Itulah yang tengah aku rasakan ketika berusaha menghibur Anjani. Pacar dari orang yang aku cintai.   Eww ... Seperti judul sinetron yang suka ditonton oleh ibu kos.   Anjani mengerti, dia bahkan meminta maaf karena sempat salah menduga menilai kedekatan aku dan Putra. Sekembali dari toilet aku melihat pemandangan indah dari, bukan kawah yang berwarna putih. Melainkan punggung tegap Putra.   Putra dan Rega duduk berdampingan.  Dia terlibat perbincangan serius hingga tidak menyadari aku sudah berdiri di belakang mereka.   "Cantik, kan, Bro?" tanya Putra, kubayangkan dia pasti tersenyum.   "Iya," jawab Rega. Entah gadis mana lagi yang Putra bicarakan.   "Dari SMA gue gak pernah liat dia punya pacar. Maksud gue ngajak ke tempat ini supaya kalian bisa deket  Rinjani cocok banget buat kamu." Ternyata dia membicarakanku, ah mungkin begini rasanya tersambar petir.   Matahari setia bersembunyi di balik awan, lalu angin dengan setia bertiup membuat suasana menjadi semakin dramatris. Menghantarkan rasa dingin dan bau belerang yang menyengat. Hatiku perih seperti diretas sembilu. Lalu mataku berair, bukan karena angin. Bukan karena bau belerang. Namun karena Putra tidak pernah peka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD