Empat puluh hari berlalu, tetapi perihnya belum juga sembuh. Apalagi setiap hari disuguhi pemandangan yang membuat mata merah. Kemesraan Putra dan Reka. Toilet sekolah adalah destinasi paling sering aku tuju usai istirahat berlalu. Tujuannya sudah pasti, untuk menangis, buang ingus lalu cuci muka menghilangkan jejak kemerahan di hidung dan mata.
Saat sedang menikmati gurihnya santan berpadu dalam kuah kuning yang mereka sebut soto, sepasang tangan kokoh menyentuh bahuku lembut. Putra, aku tahu itu dia, sudah lama sejak dia mengirimkan sebuah pesan bahwa dia berhasil jadian dengan Reka, kebiasaan ini hilang.
"Ngapain, Put, mana Reka?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Tau aja kalau ini aku, aaa." Putra membuka mulutnya.
"Ogah, beli sendiri!" Ku geser mangkuk soto, Putra buru-buru duduk di sebelahku.
"Pelit!" Dia mengeluh, pura-pura ngambek, tingkahnya selalu membuatku senang. Dan aku merindukannya.
"Biarin, Reka mana?" tanyaku lagi. Aneh, dalam empat puluh hari ini keduanya lengket seperti perangko. Tetapi siang ini Putra datang seorang diri.
"Latihan paduan suara." Wajah Putra yang menurutku tidak tampan tapi menawan itu tertekuk, "beberapa hari ini aku akan kesepian, Rin."
"Elah, Lo so so an kesepian, sebelum jadian sama Reka kan kita selalu bersama, Bro dunia bukan hanya milik Lo sama Reka. Gue sama Rinjani ada tapi gak pernah Lo anggap ada." Anton mengeluh dia memberiku segelas jus alpukat.
"Lo sih, belum tahu indahnya jatuh cinta, Nton." Dengar itu, seenaknya saja dia berkata demikian. Bagiku, jatuh cinta tidak ada indahnya. Jatuh cinta itu sia-sia, jatuh cinta itu penuh luka juga air mata. Tunggu saja sampai kelenjar air mataku ini kehabisan cairan asin itu. Setiap hari menangisi cinta. Bodohnya, aku menikmati rasa sakit yang setiap saat dia hantarkan melalui penglihatan dan pendengaranku.
Duniaku berpusat pada Putra sejak tiga tahun yang lalu. Saat itu, kami sudah bersahabat satu tahun lamanya. Putra baik, dia perhatian, dia selalu peka dengan hal-hal kecil yang aku dan Reka butuhkan. Dia yang selalu membawakan air mineral dingin saat kami berdua kelelahan. Meski ternyata dua botol air mineral itu dapet ngutang dari kantin.
Dia juga yang selalu setia pinjam buku pelajaranku buat nyalin PR. Dialah Putra, alasan dari segala alasan. Diam-diam aku sudah memberikan hati kepadanya. Meski dia tidak akan pernah peka dan sadar. Karenanya, aku tidak akan pernah tahu kapan aku bisa kembali ambil hati itu darinya. Atau hal itu mungkin tak akan pernah terjadi dalam hidupku. Di mata Putra, aku hanyalah seorang sahabat, tidak lebih dan tidak boleh lebih.
"Nonton, yuk, Rin. Dah lama kita gak jalan bareng." Oke, kapan terakhir kali aku bersihkan telinga? Apakah mungkin salah dengar, atau halusinasi.
"Rin," ucapnya lembut, "aku punya dua tiket, filmnya seru, lho."
"Gue?" Anton mulai buka suara, dia menyeruput jus tomat sambil menatap Putra sinis.
"Lo apa?"
"Gue gak diajak?" rajuk Anton dengan tatapan penuh permohonan, aku ingin tertawa karenanya.
"Dih, najis gue kalo mesti jalan bareng, lo," canda Purta, Anton terlihat seperti marah sejurus kemudian dia pura-pura merajuk.
Benar, pemandangan ini menjadi salah satu yang aku rindukan. Aku, dia dan persahabatan kami berempat. Sudah semestinya tidak ada asmara menyusup di antara kita.
Kehangatan ini yang aku rindukan akhir-akhir ini. Jika kami bisa terus seperti ini, aku rela memendam segenap cinta yang ada di dalam d**a. Itu akan segera berlalu, aku akan move on, bertemu orang baru dan mulai mencintainya. Dengan begitu persahabatan kami tidak akan pernah terganggu sedikit pun.
"Elah, Rin, kesambet ntar." Putra menyikut tanganku lembut.
"Hah, apa?" tanyaku. Getaran dan jutaan kupu-kupu itu masih betah menggelitik perutku saat kulitnya bersentuhan dengan kulitku.
"Ngelamun apa, Rin? Akhir-akhir ini kamu sering diam. Jangan buat kami khawatir, lho," tukas Anton dia menyodorkan jus alpukat yang tadi dibelinya.
"Terima kasih, aku lagi males aja, rasanya aku kehilangan sesuatu dan entah apa itu," sindirku, Putra sedang mengetik sesuatu di ponselnya saat aku mengatakan itu. Ada sedikit harapan dia mendengarkan itu agar dia tahu sedikit saja isi hatiku. Tetapi untuk apa?
"Nonton, yuk, biar kamu gak suntuk, siapa tahu kamu kehilangan semangat karena lupa bagaimana caranya memanjakan mata." Putra bersikukuh, kamu tidak tahu, Put, melihat kamu tertawa renyah adalah caraku memanjakan mata. Melihat peluh menyusuri tulang pipimu adalah cara lain untukku memanjakan mata. Semua tentang kamu benar-benar memanjakan mata, menyehatkan mata.
Dan sekarang mataku sakit. Terlebih hatiku.
"Gue cabut, ya, kayaknya kalian emang perlu waktu berdua," usul Anton.
"Kita nonton bareng, Bro. Gue tadi becanda doang, elah." Putra mencekal lengan Anton berusaha menahannya agar dia tidak pergi. Entah mengapa dalam hati aku berharap Anton menolak ajakan Putra. Dan dia benar-benar menolaknya, haruskah aku bersorak.
"No, Gue mau pedekate sama gebetan baru, hehe." Anton beranjak, sebelum pergi dia menepuk bahuku lembut dan sedikit berbisik, "good luck, Rin!"
"Rin, yuk?" Putra tersenyum lembut, aku meleleh.
Melihat punggung Putra ingin rasanya menyenderkan kepala di sana. Menikmati aroma tubuhnya yang lembut dan menenangkan seperti cokelat. Melingkarkan tangan di pinggang saat motor yang kami tumpangi melesat membelah jalanan Cihampelas adalah sebuah mimpi. Tidak akan terjadi.
Namun, tiba-tiba tangan kokohnya yang lembut meraih jemariku, membawanya hingga telapak tanganku mendarat di perutnya yang rata. Put, jangan biarkan jantungku bertalu seperti ini, jangan biarkan jutaan kupu-kupu ini berpesta pora menggodaku. Dan jangan biarkan pipiku berubah semerah tomat.
Aku berusaha menarik kembali tanganku, tetapi dia menahannya menggenggamnya lembut.
"Biarkan begini, sebentar saja, Rin, ini nyaman." Aku juga nyaman, Put. Rasaku yang tidak sederhana ini apakah akan tetap menjadi sebuah rahasia? Aku tidak tahu.
"Put, orang liat begini nanti dikira kita pacaran, lho." Aku takut ada teman paduan suara Reka atau siapa pun yang melihatku melingkarkan tangan ke perut Putra.
Putra tertawa.
Aku merona.
Ah ... Reka, aku hanya pergi dengannya sebagai sahabat. Aku tidak akan mencurinya darimu, biar saja, rasa ini aku akan menyimpannya dalam hati. Dan membawanya pergi jika Tuhan tidak lagi memberiku kekuatan.
"Yuk." Putra kembali menggenggam tanganku. Kami melangkah bahagia menuju gedung bioskop. Ralat, aku yang melangkah bahagia, entah bagaimana perasaan Putra.
"Jangan beli Pop Corn," titahku saat melihatnya hendak membeli jagung keriting itu.
"Minuman?" tanya Putra, tanganku kebas, dia masih menggenggamnya.
"Boleh, lah." Lalu pegangan itu terlepas, aku seperti kehilangan sesuatu dan merasa kosong.
Putra membeli dua cup minuman, aku hanya bisa melihat interaksinya dari belakang, punggungnya kokoh selalu menjadi bagian favoritku.
"Pegang dulu," tukasnya seraya menyerahkan dua cup minuman.
Film yang akan diputar benar-benar menarik animo para remaja seperti kami. Ini nyaris seperti pasar, riuh bergemuruh. Sama riuhnya dengan hatiku ketika lagi-lagi Putra menggenggam jemariku.
Teleponnya bedering. Aku melihatnya, ada cahaya terbit di matanya ketika melihat nama di caller id.
"Iya, Ay?" Oh, itu Reka.
"Kamu sama siapa?" tanya Putra dengan nada penuh kekhawatiran. Boleh aku iri? Atau ... Cemburu?
"Oke, kamu tunggu, mabelas menit ya Ay." Maksudnya apa? God, jangan sampai dia meninggalkanku sendiri di gedung ini.
"Rin, Reka minta di jemput. Dia nunggu sendirian di halteu deket sekolahan. Kamu gak apa aku tinggal?"
"Oh, oke," cicitku.
"Ah ... Thanks Rin, kamu emang paling mengerti aku."
Dan kamu tidak mengerti aku, Put.
Dia melesat begitu saja, setelah menghujamkan ribuan jarum dalam dadaku.
Di sini, di gedung yang gelap ini, aku adalah satu-satunya penonton yang berlinangan air mata saat satu film komedi diputar. Saat penonton lain riuh dengan tawanya.
Dan aku kembung karena menghabiskan dua cup minuman yang Putra beli tadi.