Bandung, Desember 2018
Mencintai seseorang itu melelahkan. Bohong banget ketika seseorang berkata cinta tidak harus memiliki. Cinta tanpa memiliki hanya menumbuhkan luka demi luka. Senyum dia bersama kekasihnya ibarat air garam yang menyiram luka itu. Dan aku kelojotan karena perih.
"Kamu udah siap, Beb?" tanya Putra. Perutku geli, rasanya seperti ada ulat bulu yang menggelitik.
"Beb apa? Bebek?" Aku pura-pura merajuk.
"Hahaha, itu kata kamu sendiri, lho. Ayok, keburu macet." Putra menggenggam jemariku. Menuntunku menuju mobilnya, jika jadi suami, Putra termasuk suami siaga.
Dengan lembut dia membantu pasang sabuk pengaman. Kemudian menyentuh lenganku lembut sebelum kakinya menginjak pedal gas dan meluncur di jalanan kota Bandung yang padat kendaraan.
Momen-momen manis seperti ini selalu berakhir dengan bengkaknya mataku. Menangis semalaman karena ujung dari rasa manis ini adalah sebuah kepahitan yang membekas. Tidak ada obatnya.
Namun, kali ini berbeda, dua bulan kami tidak saling bertemu. Dia lebih manis, senyumnya sama mengantarkan sengatan dan menggelitik perut.
"Aku kangen banget, lho, Rin. Dua bulan ini kamu sibuk banget. Aku WA cuma di read aja," rajuk Putra manja. Tuh, Kan benar. Sepertinya Putra memang sudah berubah. Sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku adalah seseorang yang penting dalam hidupnya.
Aku mengulum senyum, bahagia membuncah seperti letupan kembang api di malam tahun baru.
"Malah senyum-senyum," sindirnya.
"Aku sibuk. Buyer dari Thailand rewelnya minta ampun. Banyak banget barang yang di reject." Memang benar. Kali ini perusahaan sedang dibikin repot sama Phi Na. Buyer asal Thailand yang gantengnya bikin para karyawan tahan napas. Tidak termasuk aku. Karena Putra memiliki pesona jauh lebih baik dari Phi Na sekali pun.
"Balas WA sepuluh detik kan bisa."
"Bisa banget, tapi ujung-ujungnya aku gak bisa lanjut kerja. Terus aja balesin chat orang," kilahku seraya memperbaiki letak poni.
Putra mendelik, "alesan!"
"Heloo, Put, yang WA aku banyak. Kalau aku balas satu per satu kelarnya bisa makan waktu berjam-jam." Moodku yang tadinya baik tiba-tiba merosot. Putra sebenarnya ngajak kencan atau ngajak ribut, sih. Tahu gini lebih baik aku tidur aja di rumah. Menghabiskan week end nonton drakor sama lakorn.
Aku kira dia berubah, nyatanya sama saja. Putra egois. Selalu ingin menang sendiri.
"Balas saja pesanku. Apa susahnya, sih."
"Aku gak mau debat, Put. Oke maaf," pintaku tulus. Terkadang aku merasa selalu menjadi pihak yang selalu mengalah. Demi senyum itu, senyum yang sekarang tersungging Indah dari bibirnya.
"Maafin aku juga, Beb. Beneran, aku kangen banget, aku khawatir kamu gak ada kabar." Putra mengusap puncak kepalaku lembut. Ah, sepertinya pipiku berubah warna.
"Kita mau kemana? Jangan lupa, lho aku mau beli kado buat pernikahan Bang Anton."
"Bentar lagi sampai, kamu panggil Anton pake embel-embel Bang. Panggil aku Pat Put Pat Put aja ah," protes Putra.
"Gak enak lah, Put. Bang Anton kan aparat."
Putra hanya diam, tidak dapat aku tebak apa yang ada di pikirannya. Sungguh berdua dengannya membuat imajinasiku semakin liar. Apalagi sekarang kita masuk ke dalam mall dan masuk ke dalam toko perhiasan.
Pelayan mungkin mengira kami sepasang kekasih yang hendak mencari cincin pernikahan. Putra memperlakukanku layaknya seorang kekasih. Dia sempurna, tidak salah aku menyimpan rasa cinta bertahun lamanya.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" pelayan dengan blazer hitam yang elegan berbincang sebentar dengan Putra. Aku tidak begitu menyimak karena jujur, cincin-cincin yang berkilauan saat di tempa cahaya ini membuatku terpesona.
"Kamu suka yang mana, Beb?" tanya Putra lembut.
"Ini desain terbaru kami, berliannya tidak terlalu besar. Pas untuk cincin nikah."
"Coba, Beb." Putra menyematkan cincin yang berkilauan itu di jari manisku. Detak jantungku berdegup kencang. Suaranya serupa dengan tabuhan genderang.
"Bagus, aku suka," bisikku.
"Oke, dia suka, Mbak. Bungkus yang ini, ya."
Putra menyerahkan sebuah kartu pada pelayan yang dia sebut Mbak.
Kemudian kami pulang. Kali ini tidak ada air mata setelah jalan dengan Putra. Aku dapat tidur dengan nyenyak dan mimpi indah.
Long dress tanpa lengan dengan belahan d**a agak rendah melekat sempurna dengan tubuhku.
Hari ini adalah hari spesial. Selain Bang Anton akan melepas masa lajang dengan menikahi polwan cantik yang juga selegram ngetop, Putra juga akan melamarku.
Aku dengar kabar itu dari Reka. Dia melelponku beberapa hari lalu. Sehari setelah aku dan Putra membeli cincin. Pantas saja Putra tidak langsung memberikan cincin itu pada ku. Rupanya dia mempersiapkan ini dengan baik.
"Rin, Putra mau ngelamar orang, katanya kemarin dia sudah beli cincinnya dengan orang spesial," cerocos Reka.
Sejak saat itu semua tidak sama lagi. Malam yang biasanya datang secepat kedipan mata kini terasa lama. Malamku adalah malam yang indah. Akhirnya Putra sadar. Aku bahagia, cintaku tidak lagi bertepuk sebelah tangan.
Taksi online yang aku pesan telah tiba. Gemuruh dalam d**a serupa dengan deburan ombak yang berkali-kali menghantam karang.
Perjuanganku berakhir. Jalan hidup yang aku pikir rumit kini menemukan titik terang.
Di depan sebuah gedung taksi online yang aku tumpangi menepi. Belum banyak tamu berdatangan, hanya kerabat serta teman dekat yang akan menyaksikan prosesi akad nikah.
Ah, Bang Anton gagah sekali. Dia tersenyum lebar saat melihat kedatanganku. Ingin sekali aku memeluknya, berbagi kebahagiaan.
Sosok wanita hamil berdiri dan melambaikan tangannya. Reka nampak cantik di apit suaminya yang tampan serta Putra. Jujur kali ini aku hampir kehabisan napas. Putra begitu mempesona.
Gelombang itu datang lagi. Menghantam perutku berkali-kali. Kemudian rasa panas menjalar melalui pipi hingga telinga tatkala pria yang sudah lama aku cintai ini menggenggam erat tanganku.
Kami duduk berdampingan, menyaksikan momen sakral pernikahan. Dengan satu tarikan napas Bang Anton mengucapkan ijab kabul. Teriakan sah membahana tak terasa air mata haru menetes begitu saja.
Dengan lembut Putra menyeka air mataku. Dia terlihat begitu hati-hati. Khawatir sapuan bedak luntur. Netranya menatap dalam membuatku salah tingkah. Gelombang itu datang lagi, menghantam keras dinding perutku. Kupu-kupu itu menari dengan sukacita menggelitik perutku.
Pernikahan Bang Anton seperti Reuni. Kami bertemu banyak teman SMA di sini. Hingga tidak terasa waktu bergerak begitu cepat. Dan aku menyadari satu hal. Putra tidak lagi di sisiku. Seketika aku merasakan kekosongan dalam hatiku. Aku memang tidak bisa jauh dari lelaki itu.
Mataku menyapu seluruh ruangan. Putra tidak ada, ketika ku ayunkan langkah hendak mencarinya Reka menarik tanganku dan berjalan tergesa. Uh, ibu hamil yang satu ini membuatku kaget saja.
"Pelan-pelan Ka. Duh kamu kan lagi hamil besar. Aku ngilu sendiri liatnya." Protesku tidak dia hiraukan.
"Aku baik-baik saja, Rin. Kita gak boleh melewatkan ini." Reka Antusias sekali. Ada binar kebahagiaan di wajahnya.
Kita sampai di samping gedung. Disambut dengan sebuah kolam hias berisi ikan koi. Gemericik air kolam terdengar merdu, hijaunya tanaman hias meneduhkan mata dan kehadiran Putra lagi-lagi menabuh genderang dalam d**a.
Tidak hanya Putra, Bang Anton dan istrinya juga berada di tempat ini. Serta dua orang gadis yang mungkin kebetulan berada di sini.
Aku tahu inilah saatnya. Apalagi ketika Putra melirik ke arahku. Dia tersenyum mengantarkan aliran listrik.
Kemudian membawa buket mawar putih serta kotak perhiasan berisi cincin yang kita beli tempo hari.
Aku melihat raut wajah Bang Anton, anehnya dia terlihat sedih. Berbeda dengan Reka yang semringah. Kalau saja tidak sedang hamil mungkin dia sudah melompat kegirangan.
Namun tiba-tiba dadaku seperti dihantam sebuah martil, sangat sesak kala melihat Putra berlutut di depan seorang perempuan berhijab seraya berkata, "Denisa, maukah kau menjadi istriku?"
Inilah akhir kisah cintaku. Aku tidak bisa berpura-pura lagi. Air mata yang selalu aku sembunyikan kini luruh berhamburan. Aku berjalan seringan kapas. Lamaran Putra kepada gadis lain terus saja menari dalam benakku. Seperti sebuah kaset yang terus-terusan di putar.
Bertahun lamanya ku jalani kisah cinta sendiri.