#
Obat itu benar-benar berhasil membuat Mahendra kehilangan kewarasannya.
Ia sama sekali tidak memperdulikan rintihan dan teriakkan wanita itu. Seperti hewan buas yang memangsa seekor rusa tidak berdaya tanpa ampun.
Mahendra sendiri tidak ingat berapa kali dirinya berhasil mencapai puncak kenikmatan tidak tertandingi malam itu. Namun ia juga tidak bisa melupakan tatapan terluka dan air mata wanita yang terbaring pasrah di bawah tubuhnya.
Saat ia terbangun keesokkan paginya, wanita itu sudah tidak ada lagi disampingnya. Hanya sebuah bercak merah di atas tempat tidur yang bercampur dengan sisa-sisa cairan cinta mereka yang ia temukan.
Membuatnya merasa sangat bersalah karena kemungkinan besar obat sialan itu telah membuatnya tanpa sengaja merusak seorang gadis baik-baik.
Ia bahkan tidak tahu siapa wanita itu, apalagi namanya?
Bagaimana caranya ia menemukannya?
Hanya ketika terbongkar kalau kejadian malam itu adalah ulah pamannya dan juga orang tua dari tunangannya sendiri untuk mencemarkan nama baiknya dengan skandal pelecehan seksual agar rencananya untuk mengambil alih seluruh kepemilikkan Dharmawangsa Group gagal, barulah ia tahu kalau gadis itu juga adalah korban yang dijebak bersamanya malam itu.
Sayangnya wanita itu menghilang, dan ketika Mahendra akhirnya berhasil menemukannya, semuanya sudah terlalu terlambat.
Arruna tengah mengandung sekitar lima bulan dan ia bahkan hampir tewas karena berusaha menggugurkan anak di dalam kandungannya.
Mengetahui kalau anak dalam kandungan Arruna adalah anaknya, Mahendra bersikeras bertanggung jawab dengan menikahi Arruna, meski ia tahu dengan pasti kalau Arruna tidak akan mungkin bisa memaafkannya.
Karena dirinya, seorang wanita muda harus kehilangan segalanya dalam sekejap, baik itu masa depan, maupun harapannya.
#
Mahendra melangkah ke arah ranjang tempat putranya terbaring setelah puas merenung seorang diri di luar selama beberapa jam.
Saat melihat Gi yang masih terlelah, tiba-tiba saja ia rindu mendengar suara Gi memanggilnya Papa.
Perlahan ia meraih jemari Gi yang mungil dan meletakkannya di dalam genggamannya.
Ia ingat saat ia pertama kali menggendong Gi yang baru lahir dan mendapati betapa miripnya putranya dengan dirinya kecuali mata dan bibirnya yang diturunkan Arruna kepadanya.
Saat itu ia merasa kalau hidupnya menjadi semakin lengkap dengan kehadiran Gi.
Meski berawal dari kesalahan. Ia sama sekali tidak menyesali kehadiran Gi ke dunia ini.
Tapi Arruna berbeda.
Bagi Arruna segalanya bukan cuma karena malam terkutuk itu, tapi juga karena kehadiran bayi bernama Giandra Arjuna Dharmawangsa yang membawa kesengsaraan dalam hidupnya.
Seberapa keraspun Mahendra berusaha untuk memberi semua yang Arruna minta, wanita itu tetap membencinya dan menyalahkan dirinya dan Gi.
Ia bisa menahan semuanya. Tapi Gi? Anaknya berusaha mendekati Arruna dan selalu ditolak.
Beberapa kali ia memergoki Arruna memukul Gi tapi Gi selalu bersikeras untuk mendekat pada Arruna.
Inikah yang dibilang orang ikatan ibu dan anak? Kalau seorang anak akan tetap memandang kearah ibunya berada meskipun ibunya membencinya?
Arruna sakit.
Kalimat Syeni kembali berputar dalam ingatannya. Mahendra bangkit berdiri dan menyambar kunci mobilnya.
Ia tidak paham kenapa ia melakukan ini, yang jelas ia merasa terganggu saat mendengar kalau ibu dari anaknya sekarang sedang sakit.
Anaknya terbaring sakit disini dan ibunya terbaring disana juga dalam keadaan sakit.
Lelucon macam apa ini?
#
“Tampaknya obatnya tidak mempan, Mama jaga Runa, aku akan ke apotik lagi dan membeli obat yang lebih keras,” ucap Syeni.
Sejak tiba tadi, ia bahkan belum sempat berganti pakaian.
Bagaimana bisa kondisi adiknya menjadi seperti ini tiba-tiba padahal tadinya baik-baik saja.
Arruna bahkan tidak mempan dengan obat biasa? Mengapa bisa seperti ini?
Dengan buru-buru Syeni meraih kunci motornya dan bergegas membuka pintu tapi betapa terkejutnya ia saat mendapati Mahendra yang sudah berdiri tegap di depan pintu rumahnya.
“Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” ucap Syeni.
Ini sudah sangat larut dan karena terakhir tadi ia bertemu dengan Mahendra di RS, berarti pria itu menyetir sendiri dari RS kesini karena tidak ada siapapun didalam mobilnya yang diparkir sembarangan di depan rumah.
Mahendra menerobos masuk tanpa memperdulikan kata-kata Syeni.
“Dimana dia?” tanya Mahendra.
Syeni ingin menghalangi Mahendra tapi dengan tubuh kecilnya tentu saja ia gagal. “Dia sedang sakit. Apa kau pikir aku berbohong kalau adikku sakit?!” Nada suara Syeni mulai meninggi.
Mahendra memeriksa ruangan bawah, saat sadar semua ruangan di bawah kosong, ia bergegas ke atas.
“Dimana kamarnya?” tanya Mahendra lagi.
“Kau….”
“Mahendra, dia disini.” Tante Wina memotong kalimat Syeni.
Mahendra melangkah ke kamar yang ditunjukkan oleh Tante Wina. Ia tertegun beberapa saat lamanya saat melihat kondisi Arruna yang terbaring lemas dengan wajah pucat di atas tempat tidur.
“Kau puas? Sudah percaya kalau dia benar-benar sakit sekarang?” ucap Syeni sinis.
Mahendra melangkah masuk kedalam kamar dan duduk di samping tempat tidur Arruna.
Syeni ingin mencegah Mahendra tapi Tante Wina menahannya sambil menggeleng pelan.
Pada akhirnya mereka berdua hanya bisa berdiri mengamati apa yang akan dilakukan Mahendra. Mahendra mengulurkan tangannya ke dahi Arruna.
Dahinya berkerut dalam menyadari suhu tubuh Arruna yang sangat tinggi.
“Sejak kapan dia seperti ini? Kalau sudah terlalu lama, aku akan membawanya ke dokter sekarang juga,” ucap Mahendra.
“Sejak tadi siang. Sore tadi suhunya sempat turun, tapi entah kenapa kembali naik, obat yang ia minum sebelumnya tidak mempan sekarang. Mama sangat khawatir,” ucap Tante Wina.
“Aku baru akan ke apotik lagi untuk membeli obat kalau saja kau tidak muncul tiba-tiba dan mengacau,” ucap Syeni.
Mahendra tidak bereaksi sama sekali dengan kalimat yang diucapkan Syeni. Ia malah membuka isi kantong plastik yang dibawanya dan mengeluarkan obat-obattan yang ia beli di apotik tadi.
“Runa memiliki riwayat kecanduan obat penenang. Dia tidak akan mempan dengan obat-obattan biasa. Obat ini adalah obat yang khusus diresepkan untuknya setiap kali ia demam. Dia tidak bisa mengkonsumsi obat biasa atau itu bisa saja jadi berbahaya untuknya,” ucap Mahendra menjelaskan.
Mahendra mengatur obat yang harus diminum Arruna sesuai dosisnya.
“Beri aku sendok dan air, obatnya harus digerus agar bisa ia minum,“ ucap Mahendra lagi.
Dengan buru-buru Syeni berlari kedapur dan kembali dengan sendok serta air seperti yang diminta Mahendra.
Dengan telaten Mahendra menggerus obat Arruna kemudian menambahkan sedikit sirup dan air. Perlahan ia menahan kepala Arruna, meletakkannya di pahanya dan meminumkan obat itu.
Uhuk….uhuk….
Arruna terbatuk saat obat itu mencapai tenggorokannya yang tidak siap.
Dengan sigap Mahendra memiringkan tubuh Arruna dan menepuk punggungnya pelan. Baik Syeni dan Tante Wina hanya bisa terpana melihat kejadian itu. Mereka tidak pernah tahu kalau Mahendra yang dingin dan otoriter itu bisa bersikap seperti ini pada Arruna yang sedang sakit.
Mahendra selanjutnya mengatur posisi tidur Arruna kemudian ia duduk di samping tempat tidur, menatap wanita yang masih berstatus istrinya itu dalam diam.
“Hendra, kembalilah ke RS. Saat ini Gi juga membutuhkanmu disana,” ucap Nyonya Wina lembut.
Mahendra menggeleng pelan.
“Sebentar lagi Ma, aku harus memastikan demamnya turun sebelum pergi. Karena kalau tidak, aku benar-benar harus membawanya ke RS. Mama dan Syeni silahkan beristirahat sementara aku disini, akan kubangunkan saat tiba waktunya aku harus pergi,” ucap Mahendra.
Nyonya Wina beranjak ke sofa di depan kamar tidur Arruna.
“Mama akan beristirahat di sofa,” ucap Nyonya Wina.
“Ma…istirahatlah di kamar. Mama akan sakit kalau begadang terlalu lama. Biar aku yang menjaga Runa,” bujuk Syeni.
“Tapi kau besok harus bekerja,” ucap Nyonya Wina.
“Ambillah cuti besok,” potong Mahendra sebelum Syeni sempat menjawab. Syeni hanya diam. Kenyataannya ia memang tidak punya pilihan selain mengambil cuti besok dan karena bos sendiri yang mengatakannya jadi tidak masalah.
Syeni duduk di sofa dan berniat memejamkan matanya sejenak.
“Bangunkan aku kalau kau mau pergi,” ucap Syeni.
Mahendra tidak menjawab. Ia sibuk mengamati wajah Arruna yang terlelap.
Hanya ketika seperti ini, Arruna bisa terlihat begitu tenang dan damai, tanpa kebencian di sorot matanya.
“Engh….” Arruna menggeliat pelan. Perlahan matanya terbuka dan menatap Mahendra dengan tatapan sayu.
Mahendra membeku.
Ia tahu, bagi Arruna saat ini dirinya hanyalah orang asing. Melihatnya seperti ini bisa jadi malah membuat Arruna panik, tapi ia sendiri tidak mampu membawa dirinya beranjak dari sisi tempat tidur Arruna.
Arruna masih menatapnya. Tapi tidak ada kebencian di matanya.
Sebaliknya, kedua matanya menatap Mahendra dengan sorot penuh simpati.
Perlahan tangannya terulur menyentuh pipi Mahendra.
“Gi…kau kemana….kenapa baru datang? Apa kau sakit? …..Tante khawatir sekali…..rasanya….kita sangat dekat….meski…kita baru seminggu saling mengenal….lucu…kan,” ucap Arruna lembut.
Sesaat kemudian tangannya kembali terkulai lemah disamping tubuhnya. Sementara Mahendra masih menatapnya dengan sorot penuh keterkejuttan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia mendengar Arruna berkata selembut itu kepadanya dan menatapnya dengan tatapan seperti itu.
Kalimat yang ditulis Gi di tabletnya….apakah memang benar?
Papa berikan aku kesempatan sekali lagi….kumohon. Mama menyayangiku….Mama sangat menyayangiku sekarang.
Bersambung......