Bab 6 : Pertemuan Dengannya 1

1440 Words
# Arruna membuka matanya perlahan. Ia merasa jauh lebih baik sekarang meski badannya terasa sangat lemah karena ia tidak makan kemarin. “Kau sudah bangun?” Tegur Syeni, ia meletakkan semangkuk bubur polos di samping tempat tidur Arruna. Arruna melirik jam dinding. “Kau tidak bekerja?” tanya Arruna heran. Syeni menggeleng pelan. “Aku mengambil cuti karena ada seorang adik yang tiba-tiba jatuh sakit kemarin dan dia sangat cengeng dalam tidurnya,” sindir Syeni. Arruna tersenyum. “Aku membuatmu repot rupanya, maafkan aku,” ucap Arruna. Syeni menarik napas dan menuangkan air putih untuk Arruna. “Apa yang kau lakukan sampai bisa jatuh sakit seperti itu? Apa kau melewatkan makan malam atau makan siangmu? Atau kau minum sesuatu yang buruk dan membawa penyakit dengan uang jajan yang kuberikan?” omel Syeni. “Aghhh…Kak…kau lebih galak dari Mama. Aku baru saja sembuh,” rengek Arruna. Syeni menyodorkan air putih di tangannya. “Minum dulu, tenggorokkanmu pasti kering,” ucap Syeni. “Aku bahkan belum sempat berbelanja dengan uang yang kauberikan,” ucap Arruna pelan. Ia meneguk air putih pemberian Syeni sampai habis. Syeni menatap Arruna lekat-lekat. “Jagalah kesehatanmu dengan baik. Kami sudah dua kali hampir kehilangan dirimu. Jika kau menyayangi kami juga, setidaknya jangan buat kami khawatir. Kalau kau tidak ingin bekerja, aku dan Mama yang akan menghidupimu. Jangan mengkhawatirkan apapun,” ucap Syeni lagi. “Kau ingin aku menjadi benalu? Tidak mau. Aku tentu harus menjadi sesuatu, apapun itu,” ucap Arruna bersikeras. Untuk kesekian kalinya Syeni menarik napas panjang, namun kali ini ada senyuman yang terukir di bibirnya. “Makanlah,“ ucap Syeni, ia menyodorkan bubur ke hadapan Arruna. Arruna menatap bubur di hadapannya dengan ekspresi jijik. “Kak, setidaknya berikan aku nasi goreng untuk sarapan atau roti. Bukan bubur polos, kau tahu aku benci sekali bubur dalam bentuk apapun,” ucap Arruna. “Tidak. Aku takut tubuhmu belum siap untuk makan makanan keras. Bubur adalah yang terbaik untuk orang yang sedang dalam masa pemulihan. Cepat makan,” desak Syeni. Arruna menatap bubur di hadapannya dengan putus asa. “Setidaknya berikan taburan ayam dan bawang goreng di atasnya dicampur sedikit kecap dan tambahkan telur goreng setengah matang,” ucap Arruna dengan wajah tanpa dosa. Syeni mengambil kembali mangkok bubur di tangan Arruna. “Apa kau selalu pemilih seperti ini dalam hal makanan? Pantas saja putramu juga pemilih sekali masalah makanan, kau ini memberinya gen yang buruk,” ucap Syeni. “Putra? Siapa? Aku?” tanya Arruna dengan wajah bingung. Syeni berhenti melangkah. Ia menggigit bibirnya pelan. “Maksudku, pantas saja kalau suatu saat kau punya putera yang juga pemilih sekali masalah makanan. Itu karena kau memberinya gen yang buruk dalam menilai makanan,” ucap Syeni. Arruna tertawa. “Oh kau membuatku kaget. Hampir saja aku mengira kalau aku sudah memiliki seorang anak selama masa yang hilang dari ingatanku itu. Hahahaha” Arruna tertawa renyah. Syeni melangkah pergi ke dapur dan terdiam sejenak. Ia kelepasan menyebut kalimat itu di hadapan Arrruna. Adiknya adalah seorang yang sangat gampang curiga pada sesuatu. Untung saja, dengan kondisi Arruna sekarang yang sama sekali tidak mengingat apa-apa, kemungkinan untuk memiliki seorang putera di masa lalu memang terlihat sama sekali tidak mungkin. Sebenarnya, bukannya Syeni takut kalau-kalau Arruna sampai menyadari kalau dirinya sudah menikah dan memiliki anak di masa lalu, tapi yang ia takutkan adalah kalau Arruna sampai ingat penyebab ia memiliki anak dan menikah dengan Mahendra. Lima tahun lamanya Arruna hidup dengan tertekan dan kebencian yang mendalam terhadap Mahendra. Baginya, Mahendra adalah akar dari kehancuran masa depannya. Ia harus terpaksa menikah dengan Mahendra setelah berkali-kali mencoba menggugurkan kandungannya dan gagal. Selain itu, karena Mahendra memberi banyak bantuan financial pada mereka, sehingga akhirnya Arruna harus bertahan hidup sebagai Nyonya Mahendra meski ia menyimpan kebencian pada pria itu. Arruna bahkan tidak bisa menerima kehadiran buah hatinya sendiri. Bagi Syeni dan ibunya, adalah sebuah keajaiban ketika Arruna mampu mengambil langkah lebih dulu untuk mendekati Gi di hari pertama Gi datang dan duduk di toko roti mereka hanya agar ia bisa melihat ibunya yang sudah lama tidak ia temui. Nyona Wina bahkan menelpon Syeni saat itu sambil menangis. Syeni menarik napas panjang, mencoba menghirup udara segar sebanyak mungkin. Ia tidak ingin Arruna merasakan kesedihannya ketika ia kembali ke kamar adiknya itu. Selama lebih dari enam bulan terakhir ini semenjak Arruna sadar dari koma dan mulai menjalanai pemulihan pasca kecelakaan, sandiwara yang paling sulit mereka lakukan adalah berpura-pura seakan Gi adalah orang lain di hadapan Arruna. Tapi mereka tidak punya pilihan. Tidak ada yang tahu akan seperti apa reaksi Arruna ketika ia tahu kalau Gi adalah anaknya dan bahwa masa lalunya adalah sesuatu yang mungkin membuatnya trauma. Arruna pernah mengalami depresi berat karena itu. Syeni tidak ingin itu semua terulang lagi. Bahkan Gi sudah terlalu banyak berkorban menghadapi sikap buruk Arruna kepadanya sejak ia masih belum bisa berbicara, ini adalah satu-satunya kesempatan bagi kedua ibu dan anak itu untuk bisa menjadi dekat satu sama lain meski Gi harus berpura- pura tidak mengenalnya dan memanggilnya tante. Saat Syeni kembali ke kamar Arruna, ia meletakkan bubur polos yang sudah berubah menjadi bubur ayam di hadapan Arruna. Arruna menatap makanan di sampingnya. “Nah ini baru adil. Masa kalian makan bubur ayam dan aku bubur polos,” ucap Arruna sambil tertawa. “Makan saja yang banyak dan jangan banyak protes lagi,” ucap Syeni. Diam-diam Syeni mengambil foto Arruna dan mengirimkannya pada Mahendra. “Dia sudah makan, bagaimana dengan Gi?” Syeni mengirimkan foto dan pesan pada Mahendra. Tidak berapa lama kemudian sebuah pesan masuk ke ponsel Syeni. “Dia menolak makan bubur, aku terpaksa mencarikannya roti. Keadaannya sudah lebih baik.” Syeni menarik napas panjang, entah sudah keberapa kali ia seperti ini. Gi itu, wajahnya saja yang mirip dengan ayahnya. Karakter dan pembawaannya jauh lebih mirip dengan adiknya Syeni memperhatikan Arruna yang memakan makanannya. Ibu dan anak sama saja bukan? Sama-sama sangat pemilih dengan makanan. “Kak, kemarin apa Gi datang kesini?” tanya Arruna tiba-tiba. Syeni tersentak dari lamunannya. “Datang kemari? Siapa? Gi?” Syeni balik bertanya. Arruna mengangguk. “Iya, aku baru ingat aku melihatnya kemarin saat aku sakit. Makanya aku tanya apa Gi datang kesini kemarin,” ucap Arruna. Syeni tertawa. Bukannya Gi yang datang tapi ayahnya Gi yang datang kemarin malam. Tampaknya adiknya salah mengenali orang. Mahendra dan Gi memang serupa kecuali kenyataan kalau yang satu tiang listrik dan yang satu adalah bentuk mininya. “Kau bermimpi yah? Kalaupun datang mana mungkin dia ke ruang atas. Ada-ada saja kau ini. Rasanya aneh melihat kau begitu terikat pada anak itu? Bukannya kau tidak suka anak kecil?” Kali ini Syeni mencoba menggali perasaan adiknya lebih jauh. Arruna berhenti makan, ia tampak berpikir serius. “Aku tidak suka anak kecil? Masa? Suka kok. Cuma tidak suka saja kalau mereka merepotkan. Kalau lagi manis-manisnya sih tidak masalah,” ucap Arruna santai. Syeni terdiam. Ia ingat dulu pernah menanyakan hal yang sama pada Arruna. Aku memang tidak suka anak kecil, mereka tidak ada manis-manisnya sama sekali. Kalau kakak memang sayang pada Gi sampai seperti itu kenapa bukan kakak saja yang menjadikannya anak kakak? Aku membencinya. Syeni tidak akan pernah lupa dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Arruna saat itu. Sebelum hari itu, Arruna yang ia kenal adalah Arruna yang seperti ini. Baik, lembut, ceria dan meski tidak seberapa suka dengan anak kecil karena kepribadiannya yang sedikit kekanak-kanakkan, tapi tidak pernah sampai di tahap ia membenci sesuatu sampai benar-benar benci hingga sepertinya ia ingin mereka lenyap dari muka bumi. Apalagi jika itu adalah anaknya sendiri. Apakah Arruna yang ia kenal sejak kecil telah kembali? Syeni menelan ludah perlahan. “Bagaimana jika…..bagaimana jika kau memiliki anak seperti Gi? Kau akan suka atau ….tidak?” tanya Syeni. Arruna menatap kakaknya kemudian tersenyum lebar. “Gi anak yang baik kok. Gambarnya bagus untuk anak sekecil itu, aku menyukainya. Kurasa siapapun yang menjadi ibunya akan sangat beruntung. Kalau aku memiliki seorang anak seperti Gi dimasa depan, aku pasti akan merasa sangat beruntung juga,” jawab Arruna. “Begitu? Baguslah,” ucap Syeni. “Kenapa kakak menanyakan hal seperti itu? Ingat sebelum aku menikah dan memiliki anak, kakak dulu yang harus menikah, jangan jadi perawan tua,” ucap Arruna sambil tertawa mengejek. Syeni sama sekali tidak marah. Ia hanya tersenyum lembut. “Ya tentu saja. Aku akan keluar dan melihat apa yang bisa kulakukan di luar, kalau selesai makan jangan lupa minum obatmu yang sudah kusiapkan di meja dan kembalilah beristirahat. Kau akan diperbolehkan untuk membantu besok kalau kondisi tubuhmu sudah benar-benar membaik,” ucap Syeni sambil beranjak keluar. “Baiklah,” ucap Arruna mengalah. Saat tiba diluar Syeni melihat ibunya berdiri di samping pintu kamar Arruna sambil menangis. Ia mendekati ibunya dan memeluknya erat. Bersambung…..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD