#
Arruna menatap keluar jendela. Sekali-sekali ia bahkan keluar dan berdiri di depan toko roti dengan wajah gelisah.
“Kenapa dia tidak datang ya?” Arruna bergumam sendiri.
Ini sudah hari kedua dia tidak melihat Gi dan entah kenapa ada rasa kehilangan yang sangat ganjil di hatinya.
Mungkinkah karena selama seminggu terakhir ini ia menjadi sangat dekat dengan Gi? Ataukah karena memang dia terlampau bersimpati pada kisah hidup anak itu?
“Yan, kau yakin tadi saat aku ke kamar mandi tidak melihat mobil Gi diparkir di depan sini?” Tanya Arruna.
Yani menatap Alka sejenak dan kemudian menggeleng.
“Kalian benar-benar yakin?” Tanya Arruna lagi.
Kali ini baik Alka dan Yani menggeleng secara bersamaan.
Arruna menggigit bibirnya resah. Ia menekan-nekan dadanya tanpa sadar.
“Arruna kau kenapa?” Tanya Nyonya Wina.
Arruna hanya diam, ia merasa ada sesuatu yang sangat menyakitkan dalam hatinya yang tidak bisa ia jelaskan.
“Kau kurang enak badan?” Tanya Nyonya Wina. Ia menghapus keringat dingin di dahi Arruna.
Arruna menggeleng pelan.
“Mama, apa aku mengenal Gi sebelumnya?” Tanya Arruna sekali lagi. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia harus melontarkan pertanyaan seperti itu.
Nyonya Wina menggeleng cepat.
“Sudah mama bilang. Kau dan Gi bahkan baru kali ini bertemu.” Ucap Nyonya Wina.
Arruna menarik napas dalam, berusaha mengusir rasa sesak di dadanya. Bahkan ia sendiri bingung ada apa dengan dirinya.
“Ayo kau harus kekamar dan beristirahat, kami bertiga akan menjaga toko.” Nyonya Wina menarik tubuh Arruna yang terlihat melemah dengan tiba-tiba.
“Tapi…..” Bagaimana kalau Gi datang dan dia tidak ada?
“Tidak ada tapi, wajahmu pucat. Jangan membuat Mama semakin khawatir.” Ucap Nyonya Wina.
Arruna terpaksa menuruti kemauan ibunya. Lagipula ia tiba-tiba merasa sangat tidak enak badan.
“Yani, tolong bantu aku membawanya ke atas, Alka kau berjaga di meja kasir untuk sementara.” Perintah Nyonya Wina.
Yani langsung siaga menggandeng Arruna dan Alka bergegas ke meja kasir.
Mereka membaringkan Arruna di atas tempat tidur.
“Kenapa kau bisa tiba-tiba demam seperti ini? Apa kau melewatkan makan siang atau makan malammu kemarin? Tubuhmu masih sangat lemah, kalau lelah jangan memaksakan dirimu, mama masih mampu membiayai hidupmu hingga kau tua dengan toko roti ini.” Ucap Nyonya Wina. Ia mengelap keringat Arruna yang semakin deras di dahinya.
Arruna hanya menatap ibunya dalam diam. Perlahan ia memejamkan matanya, seakan kesadarannya tertarik jauh dalam sekejap.
Saat yang sama ponsel Nyonya Wina berdering.
Nyonya Wina melangkah keluar kamar Arruna untuk mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
“Mama….Gi jatuh dari tangga. Aku sedang dalam perjalanan ke RS, Mahendra baru saja mengabariku.”
Nada suara Syeni terdengar panik di telpon.
Nyonya Wina menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca. Ia menatap Arruna yang tertidur di dalam kamar dengan tubuh menggigil.
Kembali ia melangkah menjauh dari kamar yang ditempati Arruna.
“Bagaimana itu bisa terjadi? Bukannya Mahendra akan membawanya ke luar negeri?” Tanya Nyonya Wina dengan nada suara gemetar.
“Iya, Gi berontak dan tidak mau ke mengikuti keinginan Mahendra, tampaknya, saat itulah kecelakaan itu terjadi.”
Ucap Syeni.
Nyonya Wina terisak pelan.
“Mama tidak apa-apa?”
Tanya Syeni dengan nada khawatir saat ia mendengar suara ibunya.
Nyonya Wina menggigit bibirnya pelan.
“Arruna juga sedang sakit, dia demam tinggi padahal tadinya baik-baik saja.” Ucap Nyonya Wina.
“Bukannya tadi pagi dia baik-baik saja saat aku meninggalkan rumah?”
Nyonya Wina menarik napas panjang.
“Sepertinya dia sangat merindukan Gi. Dua hari ini dia tidak henti-hentinya bertanya kenapa Gi tidak datang, dan bolak balik mengecek ruang depan. Mama pikir bagaimanapun ia menolak Gi dulu, dia dan Gi tetap adalah ibu dan anak…..Bisakah….bisakah kau membujuk Mahendra untuk tidak membawa Gi keluar negeri? Mungkin saja, ini adalah kesempatan bagi keluarga adikmu.” Ucap Nyonya Wina.
Di seberang, Syeni terdiam mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibunya. Ia berdiri terpaku untuk sesaat lamanya.
“Mama….lima tahun pernikahan mereka hanya penderitaan yang dimiliki oleh Arruna. Apa Mama yakin dengan apa yang Mama katakan?” Tanya Syeni.
Nyonya Wina terdiam tidak mampu bersuara.
Syeni mengatupkan rahangnya kuat. Ia bukannya tidak bisa melihat bagaimana seminggu terakhri ini Arruna selalu terlihat bahagia setiap kali Gi datang. Atau Gi yang selalu menatap Arruna dengan penuh kerinduan. Ini tidak pernah berjalan seperti itu sebelumnya.
Arruna tidak pernah ingin dekat dengan Gi, bagaimanapun caranya anak itu berusaha mendekati Arruna. Dan Arruna membenci Mahendra, suaminya sama seperti Mahendra yang selalu bersikap dingin di hadapan Arruna. Keluarga seperti itu bagaimana bisa dipersatukan? Bagaimana mungkin semuanya akan bisa berjalan dengan baik jika mereka tidak memiliki perasaan satu sama lain? Untuk alasan inilah ia setuju dengan langkah yang diambil Mahendra.
Mengirim Gi keluar negeri untuk hidup bersama keluarga besar Mahendra dan bersekolah disana adalah hal terbaik yang bisa dilakukan pria itu sebagai seorang ayah. Dan memberi Arruna kesempatan kedua untuk menjalani hidupnya tanpa beban adalah juga hal terbaik yang bisa dilakukan Mahendra sebagai seorang suami.
Syeni melangkah menyusuri koridor RS hingga sampai ke ruangan Gi.
Perlahan ia mendorong pintu ruangan Gi dan mendapati Mahendra yang terduduk lemas menatap Gi yang kepalanya diperban dan berbaring di atas tempat tidur.
Syeni berdiri di samping Mahendra.
“Bagaimana keadaannya?” Tanyanya dengan suara rendah.
Mahendra mengangkat wajahnya dan menatap Syeni.
“Dua jahitan dan cedera kepala ringan. Dia cepat ditangani, karena itu dia tidak apa-apa,tapi kondisinya sangat lemah karena menolak makan dan minum selama dua hari ini. Dia sangat keras kepala seperti ibunya.” Ucap Mahendra. Pria itu menatap sejenak tablet di tangannya dan kemudian memberikannya pada Syeni.
Papa berikan aku kesempatan sekali lagi….kumohon. Mama menyayangiku….Mama sangat menyayangiku sekarang.
Syeni membaca tulisan Gi di tablet itu dengan mata berkaca-kaca.
Pada akhirnya ia menatap Mahendra dengan sungguh-sungguh.
“Ayo, bicara diluar.” Ucap Syeni sambil membawa tablet Gi ditangannya.
Mahendra mengikuti langkah Syeni dengan gontai. Ia tidak tahu apa tujuan kakak iparnya mengajaknya bicara di luar, tapi ia bisa membaca dengan jelas kalau kali ini Syeni benar-benar serius dengan apa yang akan disampaikannya.
”Arruna sakit.” Ucap Syeni begitu dirinya dan Mahendra tiba di luar.
Mahendra mengerutkan dahinya pelan.
“Lalu?” Ujarnya dingin.
Syeni memijat dahinya perlahan. Ia bingung darimana harus menjelaskan semuanya pada pria ini. Mahendra adalah seorang yang sangat realistis. Mengatakan sesuatu seperti ikatan batin antara ibu dan anak bukanlah sesuatu yang akan bisa merubah keputusannya.
“Seandainya kau ada dan melihat bagaimana bahagianya Gi dan Runa setiap kali mereka bertemu sebelum dan sesudah Gi pulang sekolah, akan lebih mudah bagiku untuk menjelaskan. Aku hanya ingin kau memberi Gi dan Runa sedikit lebih banyak kesempatan untuk bersama sebelum kau benar-benar mengambil keputusan untuk mengirim Gi keluar negeri.” Ucap Syeni.
Mahendra terdiam sesaat.
“Bagaimana aku bisa yakin dia tidak akan menyakiti Gi? Dia selalu menyakiti Gi setiap saat dan bahkan tindakannya meninggalkan trauma sampai anakku kehilangan kemampuannya bersuara seperti itu.” Ucap Mahendra tajam.
“Demi Tuhan Mahendra! Adikku memang bersalah pada Gi, tapi mereka ibu dan anak. Kau tidak akan bisa memutuskan ikatan mereka hanya dengan mengirim Gi keluar negeri! Arruna tidak ingat apa-apa sekarang. Dia tidak bisa mengingat segala hal menyakitkan yang sudah terjadi di-antara kalian , yang ia rasakan sekarang hanya naluri seorang ibu kepada anaknya yang tidak akan bisa dimengerti olehmu. Dengan kondisi seperti itu, tidak bisakah kau memberi mereka kesempatan sedikit lebih lama?!” Nada suara Syeni meninggi.
Rahang Mahendra mengeras.
“Arruna membenci Giandra, putranya sendiri. Dia membenci putranya dengan cara yang paling kejam yang pernah kulihat hanya karena Gi adalah anakku! Dan sekarang kau memintaku untuk membiarkan Gi kembali mendekat padanya?!”
“Adikku bukan seorang yang kejam seperti yang kau gambarkan!”
“Kenyataannya dia seperti itu!”
“Kalau dia tidak pernah mengalami pemerkosaan itu, adikku tidak akan seperti itu! Memangnya kau pikir bagaimana rasanya harus menikah dan hidup berumah tangga dengan orang yang memperkosanya! Seharusnya kau menceraikan adikku begitu anak itu lahir! Tapi kau mempertahankannya dan mempergunakan Runa untuk mengisi kekosonganmu sendiri dan membalas perbuatan tunanganmu! Kau-lah yang kejam disini Mahendra.” Ucap Syeni dengan mata berkaca-kaca.
Mahendra mengepalkan jemarinya dengan kuat. Kedua matanya memerah. Bibirnya terkatup rapat. Ia benci mengakuinya tapi apa yang dikatakan Syeni memang benar adanya. Orang yang paling bersalah adalah dirinya.
“Jika bukan untuk adikku, setidaknya, lakukanlah untuk putramu.” Syeni menyodorkan tablet milik Gi kearah adik iparnya dan melangkah pergi.
Mahendra terduduk lemas di luar kamar rawat Gi. Ia menunduk dalam diam.
Bersambung……