KETAKUTAN

1436 Words
Gerard sedang berada di rumah Toriq, keduanya tampak sedang terlibat obrolan yang seru. “Aku kaget sekali saat melihat Berg dalam kondisi polos tanpa sehelai pakaian pun. Tidak ada kunci yang rusak atau jendela yang terbuka. Artinya tidak ada orang yang masuk. Tapi,malam itu aku ingat dia mengatakan bahwa ia melihat gadis itu. Apa mungkin gadis itu bukan manusia?” “Hantu,maksud Meneer? Sekarang begini saja,mumpung hari masih pagi, kita ke sungai. Kita lihat apakah dia ada di sungai atau tidak. Jika dia itu hantu bagaimana mungkin dia bisa dilihat oleh orang banyak. Dan apa mungkin dia bisa makan dan minum seperti manusia pada umumnya?” Gerard pun akhirnya setuju usul Toriq. Mereka pun akhirnya pergi ke sungai tempat biasa warga kampung itu mencuci. Mereka melihat Winarsih sedang asik mencuci bersama Surti dan Marni. Ketiganya tampak asik bercengkrama. Selain mereka tampak juga warga kampung yang lain. “Meneer lihat itu, Winarsih ada bersama kawan-kawannya. Dan ia bukan hantu, mana mungkin sih ada hantu yang mencuci pakaian.” “Kau benar juga. Tapi,siapa yang sudah membunuh Berg dan juga Pieter? Jangan- jangan kita akan didatangi juga,” kata Gerard. “Bagaimana kalau kita ke tempat orang pintar, Meneer.” “Orang pintar? Dukun?” “Ya, semacam itulah, Meneer. Di kampung ini ada Mbah Broto, dia itu orang pintar yang paling terpercaya untuk urusan seperti ini.” “Aku tidak percaya,” tukas Gerard. “Apa salahnya jika dicoba dulu,Meneer,” kata Toriq. Gerard pun berpikir sejenak dan akhirnya ia pun setuju pada usul Toriq. Mereka pun segera menuju ke rumah Mbah Broto yang letaknya agak jauh dari pemukiman warga yang lain. Rumah orang tua itu tidak besar, ia tinggal hanya berdua bersama istrinya. Anak Mbah Broto hanya satu , perempuan. Tapi,sudah menikah dan dibawa oleh suaminya ke kampung sebelah. Saat mereka datang, mereka berpapasan dengan seorang wanita separu baya yang keluar sambil memapah putrinya. Rumah Mbah Broto memang selalu ramai dikunjungi orang yang datang untuk berobat atau pun bertanya. “Langsung masuk saja. “ Toriq tersenyum dan mengangguk saat melihat Mbah Broto keluar dari dalam rumahnya. Kedua pemuda itupun mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah itu. Mereka duduk hanya beralaskan tikar. “Ada apa kalian datang kemari?” tanya Mbah Broto. “Mbah,kedua kawan kami belum lama ini meninggal dunia. Tapi, kami merasa ada yang aneh dengan kematian mereka,” kata Toriq. Mbah Broto tak menjawab, ia menaburkan kemenyan ke atas arang yang di tempatkan dalam sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat. Kemudian perlahan ia memejamkan mata dan mencoba menerawang. Namun,tiba-tiba tubuhnya tersungkur ke belakang dan lelaki tua itu terbatuk-batuk. “Saya tidak tau kalian pernah berbuat kesalahan apa. Yang jelas ini ada hubungannya dengan kesalahan yang pernah kalian perbuat. Sebaiknya kalian segera pergi dari sini. Saya tidak bisa membantu apa-apa. Ilmu orang itu jauh lebih tinggi di atas saya. Dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Toriq dan Gerard pun saling berpandangan, dan keduanya pun segera pamit pulang. “Apa menurutmu dia adalah Winarsih?” tanya Gerard. “Meneer,bukannya Meneer sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada pintu dan jendela yang rusak? Lagi pula bagaimana caranya Winarsih menyelinap malam-malam tanpa ketauan penjaga?” tukas Toriq. “Itulah yang sejak tadi aku pikirkan. Apa di kampungmu ada orang sakti? Yang menguasai ilmu-ilmu semacam itu? Aku dengar orang-orang pribumi banyak yang menguasai ilmu yang sakti dan tidak bisa di pahami oleh akal sehat.” “Seingat saya tidak ada,Meneer. Mungkin orang-orang di sekitar desa sindang laut ada. Tapi,saya tidak yakin,” jawab Toriq. Gerard dan Toriq pun kembali dengan tangan kosong dan juga seribu satu pertanyaan. Mereka benar-benar tidak bisa mengerti dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. ** Malam itu genap sudah 40 hari kepergian Berg. Gerard baru saja pulang dari berpatroli. Ia menyapa kedua orangtuanya dan langsung masuk ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Entah mengapa malam ini ia merasa sangat gelisah dan bayang-bayang Winarsih seolah menari-nari di pelupuk matanya. Sampai menjelang tengah malam, Gerard belum juga bisa memejamkan matanya. Ia merasa rindu pada Winarsih. Ingin rasanya ia mendatangi gadis itu di rumahnya, tapi hari sudah terlalu malam. Tiba-tiba hidungnya mencium bau anyir darah yang begitu busuk dan terasaa sangat menyengat. Tok! Tok! Tok! Gerard mendengar jendela kamarnya diketuk oleh seseorang. Sontak pemuda itu langsung terjaga dan bangkit dari tidurnya. Ia langsung menyalakan lampu kamarnya.Betapa terkejutnya ia saat melihat keluar jendela kamarnya. Ia melihat Berg dan Pieter berdiri di luar kamarnya dengan wajah pucat. Keduanya tampak sangat kesakitan,keduanya tampak seperti memakai rantai hingga kesulitan melangkah. Gerard segera keluar kamar dan berlari ke halaman. Namun,sosok Berg dan Pieter sudah tidak tampak lagi. Gerard menghela napas panjang dan kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi, baru saja dua langkah ia mendengar langkah kaki di seret disertai suara minta tolong. Gerard menoleh kembali dan mencari asal suara. Ia melihat sesosok tubuh berdiri membelakanginya,perlahan ia menghampiri ,namun saat ia membalikkan orang itu ia tersentak kaget dan langsung melompat mundur. Bagaimana tidak jika ia melihat wajah yang rusak penuh dengan belatung yang tampak menoleh ke arahnya dan berjalan menghampirinya. Namun,Gerard tak kuat mencium bau busuk yang begitu menguar hebat dan membuatnya mual itu. Gerard pun berbalik dan segera berlari ketakutan. Dengan tergesa ia pun segera masuk ke dalam kamarnya. Betapa kagetnya ia saat melihat wanita yang tadi sempat ia bayangkan dan ia rindukan tengah duduk di atas ranjangnya dalam kondisi polos tanpa mengenakan sehelai benangpun. Gerard mengucek-ucek matanya, ia tak percaya denga napa yang saat ini ia lihat. “Kau….” “Ya,Meneer. Bukannya sejak tadi meneer merindukan kehadiran saya? Sekarang saya sudah berada di sini. Meneer tidak ingin menikmati tubuh saya seperti waktu itu?” Gerard seolah terhipnotis, ia segera menghampiri Winarsih dan memeluk tubuh gadis itu dengan hangat penuh dengan kerinduan. “Ayo,belai tubuhku dan nikmatilah aku,” kata Winarsih dengan menggoda. Bagaimana pun juga, Gerard adalah lelaki biasa yang masih normal apalagi jika melihat seorang gadis yang terang-terangan menyodorkan dirinya. Pemuda itu langsung mencium dan mencumbu Winarsih dengan penuh napsu. Suara desahan pun terdengar di kamar itu. Gerard merasa bahagia saat ia berhasil menyatukan tubuhnya dan tubuh Winarsih. Pemuda itu pun mengerang nikmat saat ia mencapai puncaknya. Perlahan ia pun berguling ke samping dan berbaring telentang sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. “Bagaimana kau bisa masuk ke kamar ini dan melewati para penjaga?” tanya Gerard sambil memejamkan matanya. Tak terdengar jawaban, Gerard mengembuskan napas perlahan sambil meraba ke sampingnya mencoba mencari tubuh Winarsih. “Win, kenapa tidak menjawab? Kau tidur?” tanyanya ZZZzssss… ZZZSssss Sontak Gerard membuka matanya demi mendengar suara desisan, dan betapa terkejutnya ia saat melihat seekor ular berwarna hitam di atas tempat tidurnya. Tanpa sempat berteriak apa lagi berlari ular itu mematuk Gerard tepat di dahinya,membuat pemuda itu melotot dan langsung berkelojotan dan dalam waktu kurang dari lima menit ia jatuh dan mengembuskan napas terakhirnya dengan mulut mengeluarkan busa akibat racun ular. ****. Toriq tampak diam termenung dan menatap kosong keluar jendela kamarnya. Tampak Andini yang menatap suaminya dengan bingung. Sudah seminggu ini Toriq tampak gelisah dan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Kang,ada apa? Kenapa Akang seperti sedang memikirkan sesuatu?” tanya Andini hati-hati. Toriq menoleh dan menatap istrinya. “Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedih karena teman-temanku meninggal dengan cara yang mengenaskan. Meskipun mereka itu orang Belanda, penjajah, tapi mereka selalu memperlakukan aku dengan baik. Dan jika bukan karena orang tua mereka yang mendukung,tidak mungkin Abi memperoleh jabatannya yang sekarang ini.” “Mungkin ini sudah jalannya mereka,Kang. Atau barang kali mereka pernah melakukan sesuatu yang menyakitkan orang lain,” kata Andini. Toriq menatap Andini kesal, “Kau ini jangan bicara sembarangan! Kalau tidak tau apa-apa sebaiknya kau diam saja!” bentak Toriq mmbuat Andini terkejut. “Ma-maaf kalau saya salah bicara,Kang. Ini kan hanya sekadar pemikiran saya saja. Maaf kalau saya salah bicara,” kata Andini. Toriq menepiskan tangan istrinya dan segera melangkah keluar kamar. Di teras rumah ia bertemu dengan Kasani yang baru saja pulang. “Kau mau ke mana?” tanya Kasani. “Ke Sindang Laut, Abi. Aku ingin melihat pertunjukan tari jaipong di sana. Suntuk rasanya berada di rumah terus,” jawab Toriq. “Hati-hati,sekarang ini banyak sekali kejadian yang aneh. Teman-temanmu saja mengalami kematian dengan cara yang aneh dan mengenaskan. Abi tidak mau sesuatu terjadi kepadamu,” kata Kasani. “Iya,Abi.” Toriq melangkah dan mengambil sepeda ontelnya. Ia pun langsung menuju ke kampung sebelah. Malam ini ada pertunjukkan jaipong,dan Winarsih yang akan menari di sana. Sejak ia melihat Winarsih di pesta pernikahannya Toriq sudah merasa penasaran dan juga tertarik kepada Winarsih. Sejak dulu Toriq sudah mencintai Winarsih, hanya saja Winarsih selalu saja menghindar dan tidak mempedulikan cintanya. Padahal mereka sangat dekat saat mereka masih kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD