Chapter 2

1129 Words
Dua "Iiiiiih kenapa juga ini motor kok ngadat sih, mana nggak tau lagi bengkel yang dekat-dekat sini." Meti menendang-nendang ban motornya. Ia harus segera ke kampus, beruntung ia berangkat agak pagi jadi seandainya ada bengkel terdekat ia masih bisa mengejar waktu, dan ia tak akan terlambat mengikuti perkuliahan tapi ia gerakkan kepalanya ke sekitar ia berdiri tak tampak bayang-bayang bengkel. Sekali lagi Meti melihat-lihat sekitar namun tak menemukan apapun selain jalanan yang ramai dan beberapa perkantoran, yang terdekat di depannya ini adalah rumah sakit. Ia tendang lagi ban motornya untuk mengalihkan kekesalannya meski tahu itu tak akan ada gunanya. Keringat mulai mengalir di keningnya dan wajahnya semakin ditekuk, ia buka ponselnya mencari petunjuk bengkel terdekat dan kaget, ternyata sekitar dua kilo meter bengkel terdekat baru bisa dijangkau. Steve baru saja akan masuk ke rumah sakit tempat dia bekerja, saat ia melihat dari jauh seorang gadis yang menghentakkan kakinya di samping motornya, ia mengerutkan keningnya karena sepertinya pernah melihat sosok itu. Saat mobilnya semakin mendekat, ia jadi ingat bahwa gadis itu adalah gadis yang ia temui di mall beberapa waktu lalu. "Heeiiii, gadis kecil, ngapain kamu cemberut dan mau nangis?" Meti menoleh dan ia melambaikan tangannya. "Eh si Om, gak tau ni Om, motornya ngambek." "Bentar ya Om mau markir mobil dulu." Tak lama Steve mendekati Meti di depan motornya. Ia melihat wajah lucu itu cemberut, Steve tertawa dan mengacak rambut Meti. Mendekati motor Meti dan tawanya semakin jadi. "Ini sih motor kamu bannya bocor, udah gini ntar Om nyuruh karyawan di sini, Om minta nomor ponsel kamu, lah kamu mau ke mana?" "Kuliah Om, aku takut telat, trus gimana aku ke kampus?" Mata Meti mulai berkaca-kaca. "Udah-udah jangan nangis, Om antar, bentar Om ambil mobil dulu." Dan Meti tersenyum lebar sambil mengusap matanya. "Makasih bangeeeet ya Om." "Iyaaa, udah sini kunci motornya, tunggu bentar." Sepanjang perjalanan menuju kampus Meti tak henti berbicara, mulai dari kekesalannya karena motor juga karena dosen yang tiba-tiba saja mengganti jadwal kuliahnya menjadi lebih pagi dari jam yang seharusnya. Steve hanya tersenyum sambil sesekali menoleh. Bagi Steve ini adalah pengalaman baru, sejak kecil terbiasa sendiri tanpa saudara membuat Steve tak pernah terpikir untuk berbagi cerita dengan siapapun, sampai akhirnya ia bertemu seorang wanita yang mengajarkannya pengalaman mendebarkan namun nikmat hingga ia tak bisa melupakan wanita bertubuh molek itu, bagi Steve kenikmatan hanyalah wanita itu hingga ia bertekad apapun itu ia akan berusaha memilikinya, mata Steve meredup saat mengingat wanita yang ternyata tak pernah bisa mencintainya, meski selama ini ia rela menunggu sekian lama hanya untuk menggapai cinta wanita yang selamanya akan ia cintai. "Ntar pulangnya biar aku nebeng temenku Om, ada temen searah kok ke rumah," ujar Meti, kening Steve berkerut, ia menoleh sebentar pada Meti dan kembali berkonsentrasi pada kemudi. "Cowo apa cewe temenmu itu?" "Cowo Om," sahut Meti. "Nggak boleh, Om jemput kamu nanti," ujar Steve. Meti menggeleng sambil menepuk lengan Steve. "Ih kerasnyaaaa, ini lengan apa beton? eh enggak lah Oooom jadi ngerepotin, aku nggak mau tar aku dikira pelakor sama istri Om." Steve tertawa dengan keras rasanya menyenangkan ngobrol dengan gadis seperti Meti, ucapannya yang spontan sering membuat Steve tertawa. "Kamu ini ya minta dicubit, masa aku setua itu, aku belum nikah tahu?" Ucapan Steve membuat Meti kaget, ia menoleh dan mengamati wajah Steve. "Idih Om pasti deh milih-milih, gak boleh gitu, jangan mentang-mentang kaya dan ganteng, Omnya jadi gak mau cewe yang biasa aja, kalo cocok nikah aja Om, soalnya orang ganteng kaya kayak Om pasti banyak yang suka, tar kalo kelamaan sendiri Om jadi ngebayangin yang nggak-nggak ya kaaaan dan ujung-ujungnya Om gituan di luar nikah iiiiih jangaaaan dosanya segunung, zina kaaaan." Wajah Steve mendadak berubah, ia diam saja tanpa senyum, teringat semua yang ia lakukan bersama wanitanya bertahun-tahun, kenikmatan yang ia peroleh dari wanita itu seolah tak bisa menghentikan kebiasaannya. Keperjakaannya pun ia lepas karena pengalaman tak terlupakan bersama Laksmi, nama wanita itu, nama yang cantik se cantik orangnya dan tak akan bisa Steve lupakan. "Ooom kok diaaam, maap kalo aku lancang, Om pasti udah gituan ya sama beberapa pacar Om, maap ya Om, Meti lancang." Meti terlihat takut melihat wajah datar Steve. Steve menoleh dan tersenyum pada Meti. "Udah sampe, ini kan kampus kamu?" "Eh iya, gak kerasa, aku ngoceh aja dari tadi hihihi makasih ya Ooom."Meti membuka pintu mobil dan melompat. "Hei anak kecil, pokoknya Om nggak mau tau tar telepon Om kalo kamu pulang, ato motormu nggak akan Om kembalikan." Mata Meti melotot, kalo tidak dikembalikan bagaimana ia akan beraktivitas ke mana-mana, akhirnya Meti mengangguk. "Iya deh Ooom, tapi Om bilang ya sama pacar Om, aku nggak akan ngerebut Om, cuman nebeng aja bentaran." Steve tertawa lagi sambil mengangguk. Gadis polos yang ia temui secara tak sengaja selalu bisa membuatnya tertawa bahagia. "Iyaaa nanti Om bilang ke cewe Om, kalo Om nemu makhluk planet mars yang manis, cerewet dan selalu bikin Om bahagia, bai Meti, sampai nanti yaaa." "Ya Ooom, baaai." "Oh, ternyata Om-om yang bikin kamu nolak aku?" Meti berbalik dan menemukan wajah datar Raga. Meti mendekat, wajah putih Raga yang lebih mirip oppa-oppa Korea sangat membuatnya tak tertarik, ia akui Raga tampan tapi sifat egois Raga yang membuatnya tak ingin dekat dengan laki-laki itu. "Heh punya mulut dijaga ya, bukan urusan kamu aku mau jalan sama siapa, kita bukan apa-apa, temen aja nggak sudi aku, kamu tu bolak balik bilang suka aku, tapi apa ini cara kamu menunjukkan suka sama seseorang, mulut kamu tu kayak racun tau? Gimana aku bisa suka sama kamu kalo caranya nge-push aja, cuman bayangin ajaaa nih ya punya cowo capeknya kayak apa, apalagi kita pacaran beneran, bisa bunuh diri aku." Sebelum Meti meninggalkan Raga, ia menatap tepat di manik mata Raga. Laki-laki yang selalu mengamatinya dari jauh setelah menyatakan cinta berulang tapi Meti tolak. "Satu hal lagi yang perlu kamu ingat kamu itu bikin aku nggak nyaman kamu deket-deket aku, mulut kamu gak bisa bikin orang senang sama kamu, kamu tahu tiap hari aku gimana, sama siapa, apa kamu kira aku gak tau kamu memata-matai aku, aku gak takut, aku terbiasa hidup susah, di kamusku gak ada waktu buat mikir cowok, apa lagi cowok sensian macam kamu, gak guna mikir cowok gak bisa ngasilin duwit halal, gak liat apa aku jualan ini itu ke teman-teman? Jualan onlen juga aku jabanin, malah nuduh sama om-om lagi, itu Om baik-baik yang pikirannya gak cupet kayak kamu tahu, minggir sana, aku mau kuliah, gak mau ngeladeni cowo baperan macam kamu." Meti bergegas masuk, ia melambaikan tangannya pada teman-temannya yang telah menunggunya. Raga mengembuskan napas, dan berpikir apa ia semenjengkelkan itu bagi Meti? Meti meninggalkan Raga yang masih saja menatapnya, hingga menghilang di belokan menuju ruang kuliahnya, dan ia kaget saat bahunya ditepuk seseorang. "Eh ellu Ka." "Lu tu ya, bukan kayak gitu cara deketin cewe, ya dia lari lah, masa suka tapi lu kata-katain mulu, ke kantin, gue ajarin." Raga mengikuti langkah Azka yang mengajaknya ke kantin, tapi terus terang ia ragu, namun entah mengapa Raga masih saja mengikuti temannya yang hobi ngibul. "Kaaa, lu mau ngajarin gue apaan?" "Makan." "Bangke lu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD