Happy Reading^_^
Dale bersandar pada dinding pintu kamar. Tatapannya memperhatikan seorang wanita yang berbaring di atas ranjang membelakanginya. Meskipun sudah waktunya untuk berangkat kerja, Dale belum juga melangkahkan kakinya. Dirinya justru bergerak mendekat ke arah ranjang.
Dale duduk di atas ranjang. Masih memperhatikan Marry, Dale mengulurkan sebelah tangannya memegang lengan adiknya. Gerakannya membuat Marry membuka kedua matanya namun tidak bergerak untuk memalingkan tubuh menghadap Dale.
"Aku harus bekerja. Kau... tidak apa-apa di apartemen sendirian?" tanya Dale pelan.
Dale merasa ragu meninggalkan Marry sendirian di apartemen. Terlebih sikap Marry berubah total sejak semalam. Adiknya tak lagi banyak bicara dan lebih senang diam. Semalam pun saat mereka tidur, biasanya Marry selalu memeluk Dale namun Marry justru mempertahankan posisi tidurnya seperti sekarang ini. Pagi ini juga menjadi pagi pertama untuk Dale tidak menikmati sarapan bersama Marry karena wanita itu tidak ingin beranjak dari ranjang.
"Marry..." panggil Dale karena tidak ada jawaban dari Marry. Helaan napas terdengar pelan dari arahnya. Dia pun mengelus rambut adiknya, "Kenapa kau diam sejak semalam? Apa... karena hasil tesnya? Tidak apa-apa Marry. Tidak apa-apa jika kau tidak diterima di sana. Jangan terlalu larut memikirkan masalah tersebut."
Masih belum mendapat respon apapun dari Marry, Dale pun segera berdiri. Dirinya harus segera pergi karena sudah terlambat. "Aku akan berangkat dulu. Jangan lupa untuk memakan sarapanmu," pamit Dale lalu melenggang pergi.
~
Antonio tampak sibuk berkutik dengan komputer. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan tersebut selain dirinya. George belum kembali sejak satu jam kepergiannya.
Kali ini Antonio menyandarkan punggungnya. Sebelah tangannya tertekuk ke atas hingga menyentuh dagunya. Dirinya terlihat memikirkan sesuatu sedang tatapannya tidak teralihkan dari layar komputer.
Antonio sedang memeriksa email dari salah satu pemimpin cabang ritel miliknya di Paris. Meskipun nantinya sekretarisnya yang akan mengirimkan data laporan tersebut pada sebuah map, Antonio tetap menyuruh Direkturnya untuk mengirimkan laporannya pada email.
Ourano Mall yang memiliki tempat strategis di Paris tersebut tidak jauh dari menara Eiffel sehingga menjadi maskot dari seluruh cabang miliknya selain di Washington. Namun jumlah pendapatannya menurun dari bulan kemarin dikarenakan Antonio mendengar ada perusahaan ritel lain yang menjadi pesaingnya.
Antonio menghela napas pelan. Dirinya kembali memikirkan cara untuk meningkatkan pendapatan. Meskipun hal tersebut menjadi pekerjaan seorang direktur, bagi Antonio Ourano adalah miliknya yang sangat berharga sehingga hal sekecil apapun dia akan memperhatikan.
Masih terpatri di dalam otak Antonio bagaimana perjuangan dirinya untuk menjadikan Ourano sebesar seperti sekarang ini. Membutuhkan bertahun-tahun membuat Ourano menguasai pasar di dunia ritel. Hingga beberapa tahun kemudian ketika dirinya berhasil mendirikan Ourano, Antonio berkeinginan masuk ke dunia perhotelan dan berhasil mempunyai satu hotel.
Semua pekerjaannya membuat dirinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dibandingkan istirahat nyenyak di sebuah kamar. Tak jarang pula dirinya hanya istirahat tiga sampai empat jam setiap hari. Belum lagi Antonio harus mengurus segala permasalahan yang menyangkut dunia malamnya—mafia.
Antonio melirik ke arah pintu ruangannya ketika mendengar seseorang mengetuk dari luar. Beberapa detik kemudian Antonio melihat sosok George datang dari balik pintu. Lelaki bertubuh tinggi tegap tersebut berjalan ke arah Antonio. Antonio bertemu dengan George beberapa tahun yang lalu. Kepercayaannya terjalin ketika dirinya masih menjadi seorang Don.
Usia yang terpaut antara dirinya dan George pun tidak berbeda jauh. Antonio lebih tua tiga tahun dari George. Banyak hal yang Antonio sukai dari George sehingga menjadikan lelaki itu sebagai tangan kanannya. Sikap kaku serta datar yang kental dengan kekejaman di dalam diri George tidak jauh berbeda dari Antonio sehingga menjadi alasan terbesar Antonio menjadikan George sebagai orang kepercayaan. Bahkan semenjak mengenal George, Antonio tidak pernah menemukan kesalahan pada lelaki tersebut. Hanya ada loyalitas yang Antonio temukan dari dalam diri George.
George menghentikan langkahnya di depan meja kerja Antonio. Dia menundukkan kepalanya sekilas untuk memberi salam pada Antonio.
"Saya sudah menemukan sebuah rumah yang Anda inginkan, Sir."
"Di mana letak rumah itu?"
"Tidak jauh dari apartemen milik mereka, Sir. Letaknya di Meridian St NW. Rumah tersebut berada di komplek perumahan Meridian. Rumahnya menghadap ke arah Utara dengan halaman kecil di depan rumah," lapor George lalu memberikan selembar foto pada Antonio.
Antonio memperhatikan potret rumah pada selembar kertas tersebut. Rumah itu terlihat sederhana namun menarik. Dengan interior outdoor yang menjadi ciri khas rumah sederhana Amerika berdinding abu-abu gelap. Di depan halaman terlihat sebuah pagar besi berwarna hitam yang memiliki tinggi sekitar satu meter.
"Apa dia pergi bekerja hari ini?"
"Dia sedang bekerja, Sir."
"Kalau begitu bawa dia kemari. Aku ingin memberikan hadiah ini sebagai tanda terima kasihku," ucap Antonio.
"Baik, Sir."
Seringaian di wajah Antonio kembali terlihat. Dia menatap punggung George yang melenggang pergi meninggalkan ruangan. Tanda terima kasih? Sebenarnya Antonio tidak berniat memberikan rumah tersebut pada Dale dan Marry. Namun mengingat dirinya sedikit kejam memberi hukuman awal pada Marry, dia ingin agar Dale dan Marry merasa sedikit senang sebelum dirinya memutuskan untuk menghabisi wanita tersebut.
~
Dua buah mobil mewah berwarna hitam mengkilap memasuki pekarangan bangunan yang sedang dibangun. George keluar dari mobil bersama dua pengawal dari mobil lain. Mereka pun berjalan memasuki sebuah gedung yang baru setengah jadi tersebut.
Kedatangan George dan dua pengawal disambut hangat oleh mandor yang memimpin pembangunan gedung. Pria bertubuh gempal dengan kulit hitam dilengkapi rambut keriting pendek yang menutupi kepalanya itu pun memberi hormat pada George. Dia membungkukkan badannya pada George.
"Selamat siang, Mr. Hudson. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku ingin bertemu Mr. Fischer," jawab George.
"Mr. Fischer?" kening Rufaro mengernyit. Dirinya merasa bingung mendengar George ingin bertemu dengan karyawan proyek yang bekerja di sana. "Kalau begitu saya akan panggilkan Mr. Fischer. Mohon tunggu sebentar."
Rufaro berjalan cepat menaiki sebuah tangga besi yang biasa digunakan oleh para karyawan bangunan untuk menaiki setiap lantai. Langkahnya menuju arah Dale yang sedang memindahkan beberapa bahan bangunan di lantai dua.
"Dale!" panggil Rufaro dengan nada tinggi akibat terlalu bising di sana.
"Iya, Sir?" Dale menurunkan sebuah besi yang ada di genggamannya. Dirinya mengais-ngais kedua tangan pada celana lusuh yang melekat di tubuhnya.
"Ada yang mencarimu."
"Mencari saya?" Dale mengernyit bingung. Tidak biasanya ada seseorang yang mencari dirinya. Tiba-tiba saja dia ingat dengan keadaan Marry. Berpikir bahwa Marry yang datang, Dale pun bersemangat saat Rufaro memimpin jalan di depan dengannya menuruni anak tangga.
Rufaro dan Dale berjalan ke arah George dan dua pengawal. Ketika Rufaro menghentikan langkahnya di depan George, Dale merasa bingung melihat tiga pria berpakaian sangat rapi tersebut.
"Selamat siang, Mr. Fischer," sapa George diiringi anggukan kecil seolah memberi hormat pada Dale diikuti dua pengawal lainnya.
"Se-selamat siang," Dale menjawab dengan bingung. Bahkan dirinya nampak kaku ketika membalas salam hormat George.
"Mr. McLaughlin ingin bertemu dengan Anda," jelas George.
"Mr. McLaughlin?" Dale membeo. Dirinya kembali memikirkan Marry. Apakah pemimpin perusahaan tempat dirinya bekerja tersebut ingin bertemu karena hasil tes Marry? Apakah itu artinya Marry diterima bekerja di perusahaan besar tersebut? Pikiran-pikiran tersebut membuat Dale sedikit bernapas lega karena setelah ini Marry tidak sedih lagi.
"Kami akan mengantar Anda. Silakan ikut dengan kami," George mempersilakan Dale ikut dengannya.
Dale dan George masuk ke dalam mobil terpisah. Kedua mobil itu pun perlahan melaju meninggalkan pekarangan bangunan tersebut. Tidak sampai sepuluh menit kedua mobil itu sudah memasuki halaman gedung perusahaan Ourano tempat Marry melamar pekerjaan kemarin.
Kedua mobil itu memasuki basement di dalam gedung. Seperti yang dikatakan George, dirinya pun memimpin Dale memasuki gedung perusahaan Ourano. Keduanya masuk ke dalam lift menuju lantai ruangan Antonio.
Ketika pintu lift sudah terbuka, Dale terkejut melihat interior lorong tersebut. Dirinya juga merasa tidak enak hati ketika sepatu kotornya menapak pada lantai marmer yang bersih mengkilap. Kedua tangan Dale bergetar karena takut tangannya menyentuh dinding. Hingga George mulai menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu berdinding yang tinggi. Dale pun mengikuti tanpa banyak bertanya.
George mulai membuka pintu. Dia mempersilakan Dale untuk lebih dulu masuk ke dalam ruangan Antonio. Dale menghentikan langkahnya tiba-tiba ketika kedua kakinya menapak pada lantai karpet berwarna cokelat s**u. Dirinya sangat terkejut melihat ruangan pemilik perusahaan tersebut yang tampak begitu luas. Meskipun interior di dalam ruangan tersebut tidak sangat menonjol dan terlihat klasik, Dale begitu menyukainya.
"Silakan, Sir," George memperingati Dale supaya melanjutkan langkahnya.
Dale dan George berhenti di depan meja Antonio. Kedatangannya membuat perhatian Antonio pada layar komputer kembali teralihkan. Antonio tersenyum tipis sekilas dan mempersilakan Dale untuk duduk di kursi tepat depan mejanya.
"Se-selamat siang, Mr. McLaughlin," sapa Dale gugup. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya bertemu dengan orang besar seperti Antonio hingga membuat Dale berkeringat dingin.
"Selamat siang. Apa aku mengganggu waktu kerjamu?"
"Tidak, Sir. Sama sekali tidak. Justru saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda," jawab Dale.
Antonio diam sejenak. Tatapannya mengawasi Dale. Dia memperhatikan pria yang memakai pakaian kotor di depannya. Di dalam hati Antonio tersenyum melihat Dale nampak sangat bodoh. Sikap ramah Dale membuat Antonio sangat yakin jika dirinya tidak tahu kejahatan yang dilakukan pada Marry.
"Aku ingin memberikan ini untukmu," ucap Antonio lalu menyodorkan sebuah foto yang didapatkannya dari George.
Dale tampak bingung melihat selembar foto tersebut. Dirinya sangat ingin bertanya maksud Antonio namun merasa takut untuk menanyakannya. Hingga membuat Antonio menemukan kebingungan yang ketara dari raut wajah Dale.
"Itu rumah untukmu."
Sontak Dale mengangkat tatapannya. Dirinya membelalak lebar karena terkejut mendengar ucapan Antonio. Satu kalimat itu membuat Dale merasa sangat bingung. Atas dasar apa dirinya mendapat sebuah rumah yang bagus dari Antonio?
"Ma-maksud Anda?"
"Kau bekerja sangat keras dan rajin. Lagipula kemarin aku mendengar jika adikmu juga melamar pekerjaan di sini. Aku sangat kagum dengannya. Jadi, aku memberikan rumah itu untuk kalian tinggali."
"Benarkah? Demi Tuhan saya sangat berterima kasih pada Anda, Mr. McLaughlin. Ternyata Marry memang benar jika Anda sangat baik. Terima kasih banyak," ucap Dale dengan senyum sumringah.
"Adikmu mengatakan itu padamu?" tanya Antonio sembari menaikkan sebelah alisnya. Dirinya sedikit terkejut mendengar Marry mengatakan hal tersebut pada Dale. Dari segi mana Marry melihat kebaikannya? Antonio semakin menertawakan kebodohan kedua saudara Fischer di dalam hati.
"Iya, Sir."
"Sulit dipercaya. Aku tersanjung mendengarnya. Aku pasti akan bersikap lebih baik lagi pada adikmu."
"Terima kasih banyak, Sir. Semoga Tuhan memberkati kebaikan Anda. Terima kasih banyak."
Antonio menatap George untuk membawa Dale pergi dari ruangannya. George pun menginstruksikan Dale untuk ikut dengannya keluar ruangan. Dale kembali membungkukkan tubuhnya pada Antonio sebelum kedua kakinya bergerak meninggalkan ruangan.
Setelah mendengar pintu ruangannya tertutup, Antonio tertawa pelan melihat kebodohan Dale. Dale terlihat sangat mudah untuk dimanipulasi. Bersikap baik? Bahkan Antonio lupa kapan terakhir kali dirinya bersikap baik pada orang lain kecuali kakaknya.
~
Waktu berlalu dengan cepat. Kini saatnya Dale pulang menuju apartemen. Merasa tidak sabar untuk memberikan kejutan rumah baru pada Marry, Dale berlari sepanjang jalan menuju apartemen. Dirinya terlihat sangat terburu-buru hingga akhirnya sebelah tangannya berhasil menggapai pintu apartemen.
"Marry!!" panggil Dale semangat saat memasuki apartemen.
Tidak melihat Marry di ruangan depan, Dale segera berjalan masuk ke dalam kamar. Dirinya mendekat ke arah Marry yang masih berbaring di atas ranjang.
"Marry, aku mendapat kabar baik. Kita mendapatkan rumah di Meridian," ucap Dale semangat.
Dale tidak memperhatikan keadaan Marry bahkan lupa jika sebelum berangkat bekerja Marry masih berada di posisi yang sama. Wanita itu sama sekali tidak bergerak menjauh dari ranjang. Bahkan sarapan paginya belum tersentuh sedikit pun hingga hari mulai petang.
"Marry?" panggil Dale bingung karena masih tidak mendapat respon apapun dari adiknya.
"Marry, kau belum makan?!" tanya Dale ketika dirinya baru menyadari keadaan Marry. Wajah adiknya terlihat sangat pucat.
"Marry, kau kenapa? Katakan sesuatu padaku. Apa terjadi sesuatu padamu? Kenapa kau menjadi seperti ini?"
Dale menyentuh kening Marry. Suhu tubuh adiknya masih normal. Tapi sikap Marry masih sama sejak semalam membuat Dale merasa bingung. Terlebih Marry tidak mengatakan apapun padanya.
"Aku bertemu dengan Mr. McLaughlin."
Kalimat Dale yang kali ini membuat Marry menegang. Dirinya menatap tajam ke depan sedang kedua tangannya meremas permukaan bantal guling yang saat ini berada di pelukannya. Hanya mendengar namanya saja sudah membuat emosi Marry tersulut. Hingga setetes airmatanya kembali keluar.
"Dia memberikan rumah untuk kita sebagai hadiah. Dia juga mengatakan jika dirinya merasa kagum padamu. Aku yakin kau pasti diterima bekerja di sana. Tapi kenapa kau tidak merasa senang?"
Marry semakin meremas gulingnya. Belum ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya karena Marry yakin jika dirinya mengatakan kejadian pahit itu pada Dale, kakaknya tersebut pasti akan sangat marah. Apalagi jika Marry mengatakan lelaki yang telah menciumnya di hotel waktu itu, Dale pasti tidak bisa menahan emosinya.
Hadiah? Atas dasar apa lelaki kejam itu memberikan hadiah rumah untuk kakaknya? Marry berdecih ketika pemikirannya tertuju pada pendapatnya jika Antonio memberikan rumah sebagai hadiah karena telah memperkosa dirinya.
"Dia memang orang baik. Aku tidak menyangka akan—"
Ucapan Dale terpotong ketika Marry tiba-tiba bangkit duduk menghadap dirinya. Marry segera meraih selembar kertas yang ada di tangan Dale lalu merobeknya. Dirinya merobek foto rumah tersebut hingga menjadi potongan-potongan kecil lalu melemparnya ke atas lantai.
"Marry, apa yang kau—"
"Berhenti mengatakan tentang lelaki kejam itu, Kak! Dia bukan malaikat seperti yang ada di dalam otakmu! Dia lelaki iblis. Dia sangat kejam dan jangan pernah percaya dengan kebaikannya!"
Dale terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir Marry setelah seharian wanita itu seperti patung. Merasa bingung dengan ucapan adiknya, Dale tidak berniat untuk menyanggah ucapannya. Dirinya hanya diam dengan tatapan tak percaya melihat reaksi emosi Marry ketika dirinya mengatakan tentang Antonio.
"Dia orang jahat. Dia sudah menghancurkanku, Kak. Dia menghancurkan harga diriku. Jadi jangan pernah percaya dengan kedoknya. Bahkan aku sangat ingin membunuhnya!"
"Kau mengenalnya?" tanya Dale dengan tatapan mengintimidasi Marry.
Seketika Marry terdiam. Napasnya tercekat ketika mendapat tatapan intimidasi dari Dale. Mendengar semua ucapan Dale yang menyebutkan kebaikan lelaki kejam itu membuat Marry tidak bisa terlalu lama memendam emosinya. Hingga tanpa sadar dirinya bangkit duduk, merobek foto lalu mengatakan kalimat kasar tentang Antonio.
"Kau mengenal lelaki itu sebelumnya, kan? Katakan padaku, Marry. Katakan padaku apa itu penyebabnya kau menjadi berubah seperti ini?"
Marry memalingkan wajahnya. Airmata yang sudah berkumpul di kedua kelopak matanya merembas keluar. Kebisuan Marry membuat Dale merasa yakin jika telah terjadi sesuatu antara adiknya dan lelaki itu.
"Marry, katakan padaku apa yang sudah dilakukannya padamu. Kenapa kau mengatakan jika dia menghancurkan harga dirimu? Apa dia melakukan sesuatu?" Dale mencoba bertanya dengan nada pelan supaya Marry menjawab pertanyaannya.
Bukan jawaban yang diberikan oleh Marry, melainkan Marry memeluk Dale. Menjatuhkan tubuhnya pada kakaknya seolah ingin mencari keamanan di sana. Marry memeluk erat. Kali ini dirinya sudah tidak sanggup menahan seorang diri rasa sakit yang setiap detik menggerogoti hatinya. Bayangan buruk di dalam toilet itu terus menghantui dirinya.
"Marry..." panggil Dale pelan. Tersirat nada memohon supaya Marry bersedia menjawab pertanyaannya. Perlahan kedua tangan Dale bergerak membalas pelukan Marry. "Jangan takut Marry, katakan padaku apa yang sudah dia lakukan padamu."
"Dia... Di-dia..." Marry tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dirinya sangat takut mengatakan kebenaran tersebut pada Dale.
"Apa dia yang menciummu di hotel waktu itu?" tanya Dale ragu. Dirinya berharap jika jawabannya adalah tidak.
Lama Marry menjawab hingga akhirnya sebuah anggukan kecil darinya mampu membuat tubuh Dale menegang. "Lalu... Apa dia melakukan hal lain padamu?" tanya Dale dengan napas tercekat.
"Dia..." Marry mengeratkan pelukannya. Kedua matanya terpejam dan kedua telapak tangannya meremas kaos kakaknya, "Dia memperkosaku di kamar mandi," jawab Marry akhirnya dengan nada sangat pelan nyaris tak terdengar.
~Tbc