Ares Of Darkness_5

4223 Words
Happy Reading^_^ Nampak seorang pria sedang duduk dengan tenang. Sebelah kakinya terlipat sedang sebelah tangannya berada di atas lengan sofa. Tangannya yang lain terlihat santai di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, memperhatikan pemandangan yang biasa di suguhkan ketika dirinya berada di tempat tersebut. Royal Diamond adalah bangunan miliknya yang berdiri kokoh di tengah-tengah kota Washington. Sebuah tempat yang hampir keseluruhan digunakan untuk kasino, club dan bar. Club yang ada di dalam bangunan tersebut pun menjadi club terbesar serta termewah di sana. Antonio berada di ruangan yang disihir menjadi sebuah kasino. Kasino tersebut berada di antara lantai 12-15 sedangkan tempat yang digunakan untuk berkumpul bersama keluarga mafia berada di lantai 16-18. Antonio sengaja memberi sebuah tempat yang luas untuk para anak buahnya sekedar memberi imbalan pada mereka atas pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan. Meskipun sudah disediakan tempat tersendiri untuk bersenang-senang, namun tak jarang para keluarga mafia bersenang-senang di club dan bar yang digunakan oleh orang luar. Seperti sekarang ini, setiap malam beberapa anak buahnya sedang menikmati kesenangannya di lantai bawah. "Para Don akan datang tiga jam lagi, Sir." Antonio tertegun mendengar ucapan Goerge. Dia melirik ke arah samping sejenak. Tiba-tiba saja dirinya kembali memikirkan seseorang setelah mendengar kata tiga. Sebuah nominal angka yang untuk pertama kalinya mengganggu pikiran seorang Antonio. Tiga, sebuah angka yang menjadi saksi kekejamannya terhadap seorang wanita. Tiga, sebuah angka yang membuat Antonio menenggelamkan hasratnya terhadap seorang wanita dan lebih memikirkan dendam. Tiga, sebuah angka yang digunakan dirinya ketika memasuki tubuh wanita itu secara paksa. Benar, Antonio hanya berniat untuk menghancurkan harga diri seorang Marjorie sehingga dirinya meninggalkan wanita itu begitu saja setelah menerobos tubuh wanita itu hanya dengan tiga kali gerakan. Bahkan saat itu Antonio harus menahan diri untuk menuntaskan hasratnya. Tatapan Antonio kembali lurus ke depan. Dirinya mengeluarkan sebatang rokok untuk membuatnya sedikit merasa tenang. Setelah menyalakan sebatang rokok, Antonio kembali bersandar di punggung sofa sembari menghisap rokok. "Sir." Antonio kembali melirik ke arah George. "Wanita itu sudah pulang." Antonio hanya diam. Dirinya merasa enggan untuk menjawab semua laporan George. Mendengar wanita itu sudah sadar membuat Antonio merasa sedikit lega. Setidaknya wanita itu tidak meninggal di kamar mandi karena diperkosa olehnya. Lagipula Antonio tidak berniat untuk segera menghabisi nyawa wanita itu sebelum dirinya benar-benar menghancurkannya hingga berkeping-keping. "Aku akan ke ruangan pribadiku. Panggil aku tiga jam lagi," perintah Antonio lalu bangkit berdiri. Antonio melangkah menuju sebuah lift kaca yang terdapat di sudut ruangan. Dirinya masuk ke dalam lift dan menekan tombolnya membuat lift itu bergerak naik ke atas. Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka. Antonio melangkah keluar dan mendekat menuju ruangan pribadinya yang berada di lantai paling atas. Dua pengawal yang berdiri di depan pintu segera membuka pintu untuknya. Interior dalam ruangan tersebut memberi nuansa yang menenangkan dibandingkan ruangan lain dalam gedung itu. Tidak ada lampu kelap-kelip seperti di dalam club, ruangan minim cahaya seperti di dalam bar dan tidak ada arena perjudian seperti di dalam kasino. Dan yang terpenting tidak ada keramaian yang justru membuat Antonio merasa tidak senang. Langkah Antonio mengetuk permukaan lantai marmer. Dia melepas jas hitam dan menyampirkannya di atas sofa. Langkahnya menuntun masuk ke dalam kamar pribadi. Ruangan ini adalah ruangan yang paling pribadi untuk Antonio. Tidak ada yang berani masuk ke dalam kecuali George. Bahkan Antonio tidak memberi ijin pada kerabat mafianya maupun anak buahnya. Hanya Antonio yang berkuasa sepenuhnya di dalam ruangan tersebut. Walaupun George diijinkan untuk masuk, semata-mata hanya untuk menjemput dirinya dan melaporkan segala situasi di sekitar. Antonio menelentangkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapannya memperhatikan lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit kamar. Satu menit kemudian kedua matanya terpejam. Hasratnya kembali muncul, bersatu dengan aliran darah dan mengirimkan sinyal pada otak. Hingga bayangan wanita itu kembali mengusik. Meskipun hanya sebentar, namun Antonio masih bisa merasakan bagaimana lekuk tubuh Marry yang dibalut dress santai dengan mantel hitam yang lebih panjang dari dressnya. Bibirnya yang penuh, tatapannya yang sendu seolah memohon padanya untuk berhenti, airmatanya yang terasa asin namun nikmat, leher jenjang yang membuat Antonio ingin berlama-lama di sana, serta ukuran p******a yang terasa pas di dalam genggamannya. Ah, sialnya Antonio tidak ada waktu untuk menyentuh milik wanita itu sekedar ingin merasakan permukaannya. Tanpa sadar Antonio mengerang dalam lamunan fantasinya. Kedua tangannya bergerak melepas sabuk yang melingkar di celana. Dengan gerakan tidak sabar dirinya menarik risleting celana lalu mengeluarkan miliknya yang sudah menegang beberapa menit yang lalu. Sebelah tangannya mulai bergerak naik turun pada miliknya sembari terus memikirkan wanita itu di dalam fantasi liarnya. Semakin detik erangan Antonio tidak tertahan hingga akhirnya cairan yang sempat dia tahan ketika memperkosa Marry meluap seketika membuat celananya menjadi kotor. "s**t!" Antonio bergumam kesal mengetahui dirinya nampak bodoh membayangkan wanita p*****r itu di dalam fantasi liarnya. Antonio bergerak cepat menuju kamar mandi. Dirinya harus mendinginkan tubuhnya untuk membuat pikirannya kembali jernih dari bayangan wanita yang mampu membuatnya bersikap bodoh. Jujur saja Antonio tidak sadar telah membayangkan wanita itu, gairah seksual terhadap wanita tidak sebesar yang dirasakannya pada wanita itu. ~ Marry meringis pelan ketika dirinya kembali merasakan selangkangannya sakit. Dia bergerak perlahan untuk bangkit dari dinginnya lantai kamar mandi. Dengan langkah gontai, Marry berjalan dengan merambat dinding. Rasa sakit pada selangkangannya membuat potongan memori yang beberapa saat lalu terjadi menghantam kepalanya. Hingga Marry tidak lagi mampu menahan airmata mengingat perlakuan pria asing itu. Sepanjang jalan kedua tangan Marry nampak sibuk, tangan kanannya merambat dinding sedang tangan kirinya mengusap wajah untuk menghapus airmata yang tidak berhenti keluar. Tubuh Marry kembali terperosot di atas lantai. Kakinya menjadi lemas mengingat keadaan dirinya. Marry sangat yakin Dale pasti akan marah besar jika mengetahui keadaannya. Bagaimana cara Marry mengatakan kejadian pahit tersebut pada Dale? Marry mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dengan kaki yang bergetar serta tubuh yang menggigil, Marry berusaha untuk melangkah menuju lift yang berada di ujung lorong dalam ruangan tersebut. Dirinya harus segera pulang sebelum waktu malam. Setelah berhasil sampai di depan lift, Marry menekan tombol lift dan membuat pintu itu terbuka. Dirinya segera masuk ke dalam. Tangannya kembali bergerak menekan tombol lantai tujuan. Marry duduk di dalam lift setelah pintu itu tertutup. Dirinya tidak bisa berdiri lebih lama dari biasanya. Entahlah, Marry merasa seluruh tenaganya hilang seketika. Marry mengambil posisi merangkak sebelum kedua tangannya kembali merambat dinding di dalam lift setelah pintu itu terbuka dan mengantar dirinya ke lantai satu. Marry melangkah pelan dengan kedua tangannya bergerak gusar merapikan wajah lalu memeluk tubuhnya sendiri. Marry mengacuhkan tiga pria yang memakai setelan jas rapi yang terlihat sekilas seperti pengawal. Pikirannya tidak karuan hingga membuat Marry tidak melihat keadaan di luar yang gelap. Langkah Marry terhenti ketika menyadari hari sudah malam. Pandangannya memperhatikan sekeliling saat dirinya sudah melewati pintu utama gedung tersebut. Kedua kakinya bergerak ragu untuk melanjutkan langkahnya menuju apartemen. Sudah berapa lama dirinya tidak sadar di dalam kamar mandi? Ketika langkahnya semakin jauh dari gedung tersebut, kedua tangan Marry meraba sekeliling takut-takut dirinya menabrak sesuatu. Saking sibuknya memperhatikan sekeliling, Marry tidak memperhatikan pijakannya hingga dirinya tersandung dan tersungkur. Sontak jeritan kecil terdengar sebagai tindakan intensifnya. Marry meringis ketika dirasa perih menjalar di permukaan lutut. Di dalam hati Marry mengutuk dirinya sendiri serta pria asing itu yang membuat hidupnya semakin sulit. Dia tidak bisa pulang karena tidak melihat jalan dengan baik di malam hari. Dirinya yakin Dale pasti sangat mengkhawatirkan dirinya. Dan bisa dipastikan Dale akan marah besar padanya. "Kakak..." Marry memanggil Dale di sela tangisnya. Rasa sakit di kaki membuat dirinya tidak bisa melanjutkan langkahnya. Untuk berdiri saja tidak bisa, bagaimana dirinya akan berjalan menuju apartemen? Dari kejauhan nampak seorang pria menyusuri jalan. Langkah pria itu berputar-putar di sepanjang jalan seolah mencari seseorang. Tatapannya pun terus berputar di sekeliling sembari meneriakkan sebuah nama. Tanpa mempedulikan udara dingin di malam hari, pria itu keluar dengan memakai kaos serta celana panjang. Kedua lengan pada kaos itu seperti sengaja di potong sedang permukaan celananya tidak terlihat rapi. Terdapat banyak lubang di sekitar lutut ke bawah. "Marry!!" teriakan pria itu melengking bercampur dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Sudah tiga kali Dale melewati gedung perusahaan tempat Marry melamar pekerjaan. Bahkan dirinya bertanya pada pihak keamanan di dalam perusahaan tersebut namun mereka mengatakan sudah tidak ada karyawan di dalam gedung setelah pukul empat sore. "Marry?!" Dale terkejut melihat seorang wanita duduk di depan halaman gedung itu. Tanpa berpikir lama, dirinya berlari menyeberang jalan hingga membuatnya hampir tertabrak mobil. Dale mengabaikan umpatan beberapa pengendara mobil dan berlari menghampiri wanita yang diyakini adalah Marry. "Marry?!" Dale memanggil dari kejauhan. "Kakak?" gumam Marry dan mengedarkan tatapannya sekeliling. Marry menyipitkan mata ketika melihat sosok pria berlari ke arahnya. Dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas karena semua pandangannya terlihat rabun. Hingga beberapa saat kemudian Marry merasakan pelukan hangat membalut tubuhnya di saat dingin malam itu menusuk permukaan kulit. "Marry." "Kakak?" panggil Marry untuk memastikan. "Iya, ini aku. Marry," jawab Dale dan mengelus rambut Marry. Sontak Marry kembali menangis dan membalas pelukan Dale. Dia menangis tersedu-sedu membuat Dale tersenyum tipis karena merasa lega menemukan Marry. "Maafkan aku Kak," gumam Marry di sela tangisnya. Maafkan aku karena tidak bisa menjaga diriku sendiri. Maafkan aku atas semua yang telah terjadi. Jika saja aku mendengar ucapan Kakak untuk tidak pergi, ini semua tidak terjadi. "Tidak apa-apa," ucap Dale pelan dan melepas pelukannya. Meskipun dirinya sangat ingin menceramahi adiknya, namun Marry terlihat ketakutan. Dale dapat merasakan tubuh adiknya menggigil di dalam pelukan. Mungkin Marry ketakutan karena berpikir tidak bisa pulang dalam keadaan malam hari seperti ini. Wanita itu selalu saja merasa takut ketika matanya tidak bisa melihat dengan jelas, begitu pikir Dale. "Ayo kita pulang," ajak Dale dan merangkul Marry, mencengkeram pelan kedua pundak Marry untuk membantu adiknya berdiri. Namun Dale menahan gerakannya ketika mendengar Marry meringis. Dia menatap lutut Marry yang berdarah. Sontak dirinya terkejut melihat luka di kaki adiknya. "Marry, kakimu terluka. Apa yang terjadi? Kau terjatuh?" Dale bertanya dengan nada cemas. Marry hanya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Dale. "Baiklah. Kau kugendong saja," Dale memposisikan dirinya berada di depan Marry, "Naik ke punggungku." Marry mengikuti. Dia mengalungkan kedua lengan di pundak Dale. Dale mulai bergerak mengangkat tubuh Marry. Dirinya pun bangkit berdiri dengan Marry menggantung pada punggungnya. "Kau mengatakan padaku kalau kau hanya mendaftar saja tapi sampai larut malam. Apa tesnya sekalian di lakukan tadi siang? Bagaimana hasilnya? Apa adikku yang sangat cantik ini bisa menjadi calon karyawan berprestasi di perusahaan besar milik bos baik hati itu?" Marry meremas kaos Dale dalam genggamannya. Kenangan buruk itu membuat dirinya begitu sangat ingin membalas perbuatan pria asing itu. Baik hati? Bahkan Marry berani menjamin jika pria itu hidup tanpa hati. Marry masih sangat ingat bagaimana pria itu memperkosa dirinya dan mengatakan dirinya seorang p*****r. Meskipun waktu itu tubuhnya lemas seketika dan perlahan kehilangan kesadaran, Marry tidak lupa bagaimana cara pria itu memberi rasa sakit yang setiap detik menganga di dalam hati. "Hei, calon karyawan berprestasi," panggil Dale. Dirinya meledek Marry untuk menghibur adiknya. Namun Marry tidak menyahut candaannya membuat Dale merasa bingung. Biasanya Marry sangat semangat ketika bercanda dengannya, "Apa kau gagal dalam tes itu?" tanya Dale ragu. "Kakak," Marry ikut memanggil. Dia memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di pundak Dale. "Hmm?" "Punggungmu... hangat. Aku menyukainya," gumam Marry pelan dan airmatanya kembali lolos melewati garis tulang hidungnya. Dale terkekeh pelan. Dia mengangkat tubuh Marry lebih tinggi. Langkahnya terhenti untuk mengelus kepala Marry sekilas. "Aku tahu itu," jawabnya dan tersenyum senang mendengar Marry merasa senang berada di gendongannya. Dale pun melanjutkan langkahnya menuju apartemen. ~ Dale membuka pintu apartemen. Kedua kakinya melangkah masuk dan menutup pintu menggunakan sebelah kaki. Dia mendorong dinding pintu. Langkah Dale menuju kamar. Mengetahui adiknya sudah tertidur di gendongannya sejak mereka masih di jalan, Dale membaringkan tubuh Marry dengan pelan. Seolah tidak ingin membangunkan adiknya, Dale bergerak seringan bulu. Senyum Dale mengembang ketika memperhatikan wajah Marry. Sebelah tangannya mengelus lembut rambut Marry. Menyibakkan poni yang menutupi kening. Selesai menyelimuti tubuh Marry, Dale bangkit berdiri. Dirinya kembali keluar apartemen untuk mencari makan malam. Sesaat setelah mendengar decit pintu tertutup, Marry membuka matanya. Dirinya hanya diam sembari menatap kosong langit-langit kamar. Kejadian itu terus saja terputar di dalam otak ketika dirinya memejamkan mata. Hingga beberapa menit kemudian kedua matanya meremang. Marry memiringkan tubuhnya menghadap jendela. Dia meraih guling lalu memeluknya. Meremasnya kuat-kuat seolah ingin mengeluarkan semua amarah di dalam hati yang tak bisa dia lakukan pada pria kejam itu. Dua puluh menit kemudian Dale kembali ke apartemen. Ketika langkahnya memasuki ruang tamu, Dale mendengar suara gemericik air kran bathtub menyala di dalam kamar mandi. Dia pun memasuki kamar untuk memastikan keadaan Marry. Tidak melihat adiknya di atas ranjang, Dale mengetuk pintu kamar mandi. "Marry? Kau di dalam?" tanya Dale sembari mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, Dale kembali mengetuk pintu. "Marry, ini sudah malam. Sedang apa kau di dalam?" Dale menghela napas pelan. Tidak biasanya Marry menjadi diam. Biasanya Marry akan selalu menyahut. Tidak mungkin jika suara air kran membuat Marry tidak mendengar suaranya. Merasa aneh dengan perilaku adiknya, Dale semakin keras mengetuk pintu kamar mandi. "Marry, buka pintunya! Marry!" Tanpa mempedulikan apakah Marry memakai pakaian lengkap maupun tidak, Dale mencoba mendobrak pintu kamar mandi. Dia mendorong dinding pintu itu sekuat tenaganya. Sesekali dirinya menggedor-gedor pintu tersebut sembari memanggil nama adiknya. "Marry!" Dale mendesah kasar. Dirinya semakin khawatir karena tidak ada suara adiknya dari dalam kamar mandi. Meskipun lengan serta punggungnya mulai nyeri karena mencoba mendobrak kamar mandi, dirinya tak terlihat putus asa. Hingga akhirnya pintu itu pun terbuka membuat tubuh Dale terdorong ke depan. Tubuh Dale pun menabrak wastafel. Tatapan Dale langsung tertuju ke arah bathtub yang tertutupi tirai tipis. Tangannya bergerak cepat menyibak tirai tersebut. Dalam sekejap kedua mata Dale membelalak melihat sebagian tubuh Marry masuk ke dalam air. Hanya lipatan kakinya yang keluar dari dalam genangan air tersebut. "Marry!" Dale meraih tubuh Marry dari dalam air. Dia menggendong tubuh lemah itu dan memindahkannya ke atas lantai. Kekhawatirannya melihat Marry mencoba bunuh diri membuat Dale mengutuk dirinya sendiri karena meninggalkan adiknya sendirian. Dan jika alasan yang membuat Marry melakukan hal bodoh itu karena ulahnya yang mengijinkan Marry melamar di perusahaan itu, sungguh Dale tidak akan mengampuni dirinya sendiri. "Marry!" Dale berteriak cemas sembari menepuk-nepuk kedua pipi adiknya. "Marry, buka matamu!" Dale segera membuka mulut Marry. Dia belum pernah memberikan napas buatan sehingga tidak yakin apakah cara yang dilakukannya benar atau tidak. Dirinya pun mulai memberikan napas buatan untuk Marry berulang kali hingga akhirnya Marry terbatuk-batuk. Air yang sempat masuk ke dalam mulut itupun keluar seiring batuknya. Deru napas Dale terengah-engah. Dirinya terduduk lemah di atas lantai. Demi apapun melihat keadaan Marry beberapa detik yang lalu membuat napas Dale tercekat. Dale pun merengkuh tubuh Marry dan memeluknya. "Marry, syukurlah," gumam Dale pelan. Suaranya bergetar akibat rasa takut kehilangan Marry. Dirinya memeluk erat tubuh adiknya, "Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau ingin meninggalkanku?!" tanya Dale, dirinya tidak bisa lagi menahan airmatanya. Ucapan Dale membuat hati Marry tersentak hingga kali ini dirinya benar-benar menangis di dalam pelukan Dale. Dia membalas pelukan kakaknya dengan sebelah tangan. Marry sama sekali tidak berpikir bagaimana keadaan Dale. Sehingga amarah mendorong dirinya untuk melakukan bunuh diri beberapa menit yang lalu. Dirinya tertekan, seperti ada benda berbobot berat yang menimpa hatinya hingga meleburkannya. Bayangan buruk itu membuat dirinya merasa terhina dan tidak ingin untuk hidup lagi. Lalu bagaimana dengan Dale? Marry tidak tahu bagaimana bisa tidak memikirkan kakaknya. Tiba-tiba saja semuanya terlihat gelap hingga Marry tidak menemukan Dale di dalam pikirannya. Hingga akhirnya dia mencoba melakukan hal bodoh dengan menenggelamkan diri di dalam bathtub. "Kenapa kau jahat sekali? Kenapa kau ingin meninggalkanku? Apa kau tidak ingin hidup denganku lagi? Marry, kumohon jangan melakukan itu lagi." Marry tidak menjawab. Hanya tangisnya yang menyahut isakan Dale. "Kau ingin meninggalkanku?! Kau tidak menyayangiku?!" tanya Dale, suaranya meninggi karena emosinya melihat tingkah Marry. Marry menggelengkan kepala. Kali ini dia memeluk Dale dengan kedua tangannya. "Kalau begitu berjanjilah kau tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini lagi." Marry mengangguk mengiyakan ucapan Dale. Dale mengelus rambut Marry yang basah lalu mengecup puncak kepalanya. Dia memeluk adiknya. ~ "Kali ini Jerman melakukan pemboikotan. Mereka mengatakan jika barang yang aku kirim kurang memuaskan," keluh Bradley, salah satu Don yang melakukan penjualan ilegal organ-organ dalam manusia. "Aku juga, sekarang memasukkan narkoba ke Inggris semakin sulit saja," sambung Jack, "Sepertinya bisnis yang kau ambil sangat menguntungkan," ucapnya sembari melirik ke arah Virgil. Virgil tertawa pelan. Dia menyesap minumannya lalu menghisap rokok yang sejak tadi bertengger di kedua jarinya, "Aku hampir menjual putriku sendiri. Anak buahku, mereka tidak tahu jika Ashley putriku dan hampir menculiknya." Ucapan Virgil mendorong semua orang yang berada dalam satu meja itu tertawa. Menurut mereka cerita itu terdengar lucu meskipun cukup menakutkan. Hal-hal tersebut memang kerap kali terjadi pada para Don yang melakukan bisnis penjualan organ dalam manusia maupun bisnis penjualan manusia ilegal. Namun nampaknya serentetan cerita yang keluar dari mulut para Don yang sedang berkumpul tersebut tidak menarik pemimpin mereka. Antonio masih diam dengan wajah datar serta tatapan yang memiliki kesan tajam tersebut. Entah itu sudah menjadi kebiasaan atau justru ada hal lain yang mengusik pikirannya. "Mr. Ares," panggil Marco. Antonio hanya melirik ke arah Marco. Bibirnya sama sekali tidak bergerak untuk membalas senyuman yang setiap kali didapatkannya dari beberapa Don. Ares adalah nama panggilannya semenjak dirinya masuk ke dunia hitam tanpa cahaya tersebut. Bukan tanpa alasan mendapat panggilan itu. Sikapnya yang kejam serta bengis telah melekat pada dirinya. Sehingga nama tersebut terdengar cocok. "Putriku akan menikah," ucap Marco. Dia mengangkat tangannya untuk menginstruksikan anak buahnya memberikan undangan. Marco menatap undangan tersebut sebelum memberikannya pada Antonio, "Saya sangat berharap Anda bisa datang. Dengan begitu mereka akan menganggap keberadaan saya. Saya sangat tahu jika Anda tidak senang salah satu Don Anda diremehkan bukan?" Antonio menatap undangan tersebut membuat Goerge yang sejak tadi berdiri di sampingnya meraih undangan di atas meja. Jari-jari Antonio yang terbalut sarung tangan kulit berwarna hitam yang biasa di sebut gauntlet itu bergerak meremas. Sontak gerakan kecil itu mengundang perhatian para Don. Tidak ada suara atau pun gerakan lain dari mereka. Bahkan sebagian dari mereka yang sedang menyesap minuman maupun menghisap rokoknya berubah menjadi patung. "Dan itu kesalahanmu jika mereka meremehkanmu. Itu adalah arti dari jawaban pertanyaanmu," ucap Antonio dengan suara berat yang menjadi khasnya. Marco reflek menelan ludah. Dia tertawa kaku untuk menetralkan rasa tegang yang beberapa detik lalu mengguyurnya. Dirinya belum lama menjadi seorang Don sehingga tidak sering bertemu dengan Antonio. Meskipun dirinya mendengar jika Godfather-nya mempunyai tingkat kekejaman yang melebihi batas, namun Marco tidak memikirkan jika apa yang didengar kali ini terlihat jelas di depan mata. Terlihat dari cara para Don yang lain berubah menjadi patung meskipun di saat Antonio hanya menggerakkan jemarinya. "Saya... tidak pernah melakukan kesalahan, Mr. Ares. Mereka yang tiba-tiba menyerang markas saya. Dan saya yakin Anda pasti mendengar kabar ini. Mereka juga berniat akan menghancurkan pesta pernikahan putri saya. Oleh sebab itu sejak kemarin malam saya sudah menunggu Anda." "Aku lebih mengenal mereka dibandingkan dirimu. Kau sudah mengambil alih para bandar yang menjadi tangan kanan mereka. Kau pikir aku tidak tahu kecuranganmu?" Pertanyaan telak dari Antonio membuat Marco tidak bisa menjawabnya. Memang benar dirinya telah merebut para bandar narkoba yang menjadi tangan kanan musuhnya. Namun kenyataan Antonio akan mengetahui kecurangannya membuat Marco tidak percaya. Dari mana Antonio bisa mengetahui kecurangannya? Bahkan Marco sangat yakin jika Don yang lain tidak tahu mengenai hal tersebut. "Mereka datang padaku dan memintaku untuk menghukummu karena kau telah berbuat curang. Lalu, bagaimana cara aku menghukummu?" tanya Antonio sembari menaikkan sebelah alisnya. Tubuh Marco menegang saat mendengar pertanyaan Antonio. Keringat dingin mulai membasahi wajah. Tangannya bergetar ketakutan. Dirinya tahu apa hukuman bagi seorang anggota mafia yang berbuat curang. Tapi, bagaimana dia akan menghadapi para tamu dengan satu tangan? "Mr... Mr. Ares... Saya... Putri saya akan... akan menikah sebentar lagi. Saya tidak bisa jika harus menghadapi para tamu dengan hukuman yang Anda berikan. Baiklah... Saya akan menyelesaikan permasalahan ini. Saya..." ucap Marco terbata-bata, lidahnya terasa bertulang hingga tidak mampu berbicara normal. "Saya tidak curang, Mr. Ares. Saya... itu strategi. Bukankah mafia harus mempunyai strategi? Anda tahu jika memasukkan narkoba ke negara yang banyak peminatnya itu justru semakin sulit karena harus banyak saingan." "Aku memang menyukai strategi. Tapi aku membenci kecurangan. Meskipun belum lama kau menjadi Don-ku, aku rasa kau tahu apa yang aku suka dan tidak aku suka," balas Antonio. Marco langsung diam membuat ketegangan menyelimuti mereka. Para Don hanya memusatkan perhatiannya pada Antonio. Jantung Marco semakin berdegup kencang ketika Antonio mengangkat tangan seolah memberi instruksi pada anak buahnya untuk membawa dirinya. Dua anak buah Antonio mencengkeram lengan Marco. Keduanya menyeret Marco menuju ruangan eksekusi yang biasa Antonio gunakan untuk memberi hukuman. Ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat penyiksaan itu terletak di ruang bawah tanah Royal Diamond. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan aroma anyir darah dan kesunyian yang mencekam. "Mr. Ares, beri saya kesempatan. Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi," pinta Marco ketika dirinya di seret menjauh dari meja kasino tersebut. "Saya akan memberikan putri saya untuk Anda!" teriak Marco ketika dirinya berjarak lima langkah dari meja tersebut. Antonio mengangkat sebelah tangannya membuat George memerintahkan dua pria yang membawa Marco untuk berhenti. Dia menoleh ke arah Marco. Pria itu sudah bercucur keringat dingin. Ketakutan nampak sangat ketara dari wajahnya. "Saya akan memberikan putri saya sebelum dia menikah. Saya... saya mohon lepaskan saya, Mr. Ares." "Berapa usia putrimu?" "Dua puluh tujuh tahun." Antonio bangkit dari duduknya membuat para Don lainnya ikut berdiri. Langkahnya mendekati Marco dan berdiri tepat di depan pria berpawakan gempal tersebut. Jari telunjuknya bergerak di kening Marco seolah mengusap keringat pria tersebut. "Bawa putrimu padaku sekarang juga sebelum kau kehilangan tangan kananmu." "Ba-baik Mr. Ares." Kedua anak buah Antonio pun melepaskan Marco. Pria itu segera berlari keluar dari tempat tersebut. Dirinya seolah mengejar waktu karena sangat tahu jika Antonio tidak suka keterlambatan. Kepergian Marco dari tempat itu menjadi penutup dari pertemuannya dengan para Don. Antonio pun berniat menunggu kedatangan Marco di club. Antonio dan George masuk ke dalam lift kaca. Ketika lift itu mengantarnya menuju lantai tempat club, Antonio hanya diam menatap pemandangan di luar kaca. Hingga beberapa detik kemudian dirinya sudah berada di dalam club. Seketika suasana perjudian berganti menjadi suasana lautan manusia yang nampak meliuk-liukkan tubuh mereka maupun sebagian manusia yang nampak sedang bersenang-senang dengan pasangannya. George mengikuti Antonio duduk di sofa yang menjadi tempatnya. Kedatangan Antonio langsung di sambut oleh pelayan dengan membawa segelas Classic Margarita, sebuah minuman tequila yang dicampur dengan jus lemon dan jeruk yang disuguhkan dengan gelas margarita. "Kau bisa duduk," ucap Antonio pada George. George menundukkan kepala sejenak seolah mengiyakan perintah Antonio. Dirinya ikut duduk di sofa yang berseberangan dengan Antonio. Lampu pesta di dalam club tidak membuat George tidak tahu jika ada sesuatu yang sejak tadi mengganjal pikiran Antonio. "Ada yang Anda pikirkan, Sir?" tanya George. Antonio melirik sekilas ke arah George. Kali ini tatapannya tertuju pada penari strippes yang sedang bergelantungan di tiang-tiang serta di lantai dansa. Tiba-tiba saja Antonio membayangkan jika sosok Marry yang berada di lantai dansa tersebut. Dia sangat yakin banyak pria yang pasti ingin menjamah tubuh telanjangnya. Dan ketika menguasai para pria di dalam club, justru Antonio akan menunjukkan nikmatnya menyentuh setiap jengkal tubuh wanita itu. "Bantu Jack untuk mempermudah bisnisnya memasukkan narkoba ke Inggris. Singkirkan siapa saja yang menghalanginya," perintah Antonio, tatapannya masih terpaku pada penari-penari tersebut. "Baik, Sir." "Kau mendapat kabar apa lagi mengenai wanita itu?" "Tidak ada, Sir," jawab George cukup lama. "Carikan rumah untuknya. Dan berikan rumah itu pada kakaknya dan mengatakan jika itu hadiah dariku." "Baik, Sir." Antonio tersenyum miring. Jemarinya bergerak seolah menginstruksikan salah satu penari yang menatap ke arahnya. Penari itu pun berjalan melenggak-lenggok menaiki setiap anak tangga menuju Antonio. Setelah penari seksi itu berada di depan Antonio, dirinya menggerakkan tubuhnya yang tidak tertutupi sehelai benang pun. Penari itu duduk di atas pangkuan Antonio ketika Antonio menariknya mendekat. Kedua kakinya mengangkangi paha Antonio sedang kedua tangan mulai bergerak meraba. Sebelah ujung bibirnya kembali tertarik ke atas ketika penari itu terlihat seperti Marry. Tangan Antonio mulai bergerak di atas tubuh wanita itu dan membalas ciumannya. Adegan panas tersebut terhenti ketika Antonio mendengar teriakan seorang wanita. Dia pun melepas ciumannya dan menoleh ke arah Marco yang nampak sedang menggandeng putrinya. Wanita yang memakai gaun tosca tersebut terlihat berontak di dalam genggaman Marco. "Dad, lepaskan! Aku tidak mau! Daddy!" berontak wanita tersebut. "Mr. Ares, ini putri saya." Antonio mendorong penari itu untuk bangkit dari atas tubuhnya. Penari itu pun kembali ke lantai dansa sedang Antonio memperhatikan wanita muda yang digandeng Marco. "Tubuhmu lumayan," gumam Antonio membuat wanita itu mengernyit tak suka mengetahui Antonio memperhatikan lekuk tubuhnya, "Telanjangi dia dan suruh untuk bergabung dengan teman-temannya," perintah Antonio pada George yang segera mendapat anggukan patuh dari pria tersebut. Tangan George pun mulai menelanjangi wanita tersebut membuat pemberontakan wanita itu semakin menjadi. Bahkan wanita itu menyumpahi Antonio, George dan juga ayahnya. Sedangkan Antonio melihat ketidakrelaan dari wajah Marco, memerintahkan dua pengawal yang sejak tadi berdiri di belakang Marco untuk membawa Marco ke tempatnya. "Aku akan meringankan hukumanmu. Mungkin karena kehadiran putrimu di dalam club ini bisa membuat Royal Diamond semakin ramai. Kau hanya akan kehilangan lima jarimu saja. Tapi jika putrimu menolak melakukan apa yang aku perintahkan, putrimu akan berada di sini selamanya." "Mr. Ares! Tapi saya sudah merelakan Anda merendahkan putri saya, kenapa Anda masih memberi saya hukuman?!" protes Marco dengan menyentakkan kedua tangannya dari genggaman kedua anak buah Antonio. Suara sentakan Marco kini bercampur dengan isak tangis putrinya. Melihat putrinya di seret oleh George dalam keadaan tanpa busana membuat amarah Marco tidak terkendali. Dirinya mencoba menyusul George menuruni anak tangga namun dicegah oleh dua pengawal Antonio. Antonio kembali duduk di sofa ketika dua pengawalnya mulai menyeret Marco menjauh sedang George yang menyeret putri Marco. Dia menyilangkan sebelah kakinya. Tangan kanannya meraih gelas margarita dan mulai menikmati segelas Calssic Margarita. Tak lama kemudian Antonio tersenyum melihat George mendorong wanita itu ke dalam kerumunan pria yang mulai menjamah tubuhnya. Tbc~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD