Ares Of Darkness_4

3825 Words
Happy Reading^_^ Antonio turun dari mobil ketika George membuka pintu untuknya. Dia memimpin langkah menuju pintu kaca. Langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu lift. Setelah George menekan tombol, Antonio masuk ke dalam lift diikuti George. "Marco sudah pergi?" "Sudah, Sir. Dia akan menemui Anda besok pagi," jawab George. Antonio menghela napas pelan. Tidak ada percakapan lebih jauh di antara dirinya dan George. Hingga beberapa menit kemudian pintu lift kembali terbuka setelah mengantar Antonio menuju lantai dua puluh. Langkah kaki Antonio bergerak menuju pintu apartemen. Dirinya kembali membiarkan George yang menekan password apartemen. Merasa tidak ada yang penting di dalam apartemen tersebut, Antonio membiarkan George dengan mudah mengaksesnya. Karena lelaki itu sudah menjadi orang kepercayaannya selama dua tahun terakhir ini. Tidak hanya George, Antonio juga membiarkan beberapa pengawal yang bertugas di apartemennya untuk mengakses pintu masuk apartemen. Dua pengawal yang bertugas itu pun menghampiri Antonio ketika mendengar langkah kakinya. Keduanya menunduk hormat pada tuannya. Antonio menghentikan langkahnya dan menatap mereka. "Jangan ijinkan siapapun mengganggu istirahatku," perintah Antonio. "Siap, Sir." Setelah mengatakan kalimat perintah tersebut, Antonio menginstruksikan pada Goerge untuk menikmati waktu istirahat. Tak lama kemudian Antonio melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sampainya di dalam kamar, Antonio menutup pintu kamar dan berjalan menuju ranjang. Aura gelap dalam dirinya melekat sangat kental pada interior kamar. Dinding kaca yang menjulang tinggi di dalam kamar tersebut membuat pemandangan di luar nampak sangat ketara. Dengan gorden tipis jenis sheer yang terbuat dari bahan votle membuat cahaya dari luar masuk dengan mudah. Langkah kaki Antonio menggema ketika sepatu pantofel menghentak-hentaknya lantai granit yang memiliki warna gelap. Dirinya berjalan menuju sofa bed yang letaknya tidak jauh dari ranjang. Tanpa melepas sepatu, Antonio mendaratkan tubuhnya di sofa dan meluruskan kedua kaki. Dikeluarkannya bungkus rokok lengkap dengan pematik. Dia menyalakan sebatang rokok lalu meletakkan bungkus serta pematiknya di atas meja kecil yang berada di samping. Antonio menyandarkan punggungnya di sofa. Sebelah tangan mulai sibuk mendekatkan rokok tersebut pada bibirnya. Dia menghirup perlahan rokok dan membiarkan asap-asap itu keluar melalui hidung serta mulut. Antonio memang merokok, namun dirinya tidak melakukan hal tersebut setiap saat. Dia akan merokok ketika di rasa memerlukannya saja. "Marjorie Fischer," gumam Antonio pelan dengan tatapan tertuju ke arah lain. Meskipun menggumamkan nama saja membuat Antonio begitu ingin memilikinya. Memperlakukan layaknya seorang p*****r akan menjadi hiburan tersendiri untuk Antonio. Pria itu menyunggingkan sebelah bibirnya. Memikirkan apa saja yang akan di lakukannya terhadap wanita itu membuatnya merasa senang. Nampak waktu belum mengijinkan dirinya untuk terus larut ketika melamunkan sosok wanita tersebut. Antonio mengernyit tak suka saat ponselnya berdering. Sebelah tangannya merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel. Melihat nama seseorang yang tertera di layar ponsel, Antonio segera mengangkat telepon dari orang tersebut. "Antonio, aku sudah sampai," suara wanita itu terdengar dari seberang. "Iya. Kau sudah sampai di apartemen atau bandara?" "Aku rasa kau tidak perlu bertanya," wanita itu memberi jeda pada ucapannya, "Aku akan mengembalikan pengawalmu yang terus menjagaku." Antonio tertawa pelan, "Kakak..." "Apa?" suara wanita itu sedikit terdengar kesal. "Kau boleh lepas dariku setelah menikah nanti." "Iya... Iya... Kau selalu saja tidak berubah. Terkadang aku heran padamu, kau dan aku... Aku lebih tua darimu, tidak seharusnya kau yang mengawasiku dua puluh empat jam." "Aku baru kembali dari San Fransisco," ucap Antonio seolah memberi isyarat dirinya cukup lelah melakukan penerbangan jauh. "Baiklah. Jaga kesehatanmu. Jangan buat aku juga harus melakukan perjalanan jauh dari Paris menuju Washington karena mendengar kabar kau sakit." "Iya." Setelah memutuskan sambungan telepon, Antonio meletakkan ponselnya di atas meja. Dia kembali menikmati hisapan pada sebatang rokok. Dirinya menoleh ke arah nakas yang letaknya tepat di samping ranjang. Dia mendesah pelan melihat botol obat miliknya terpampang jelas di sana. Antonio yakin jika itu adalah perbuatan kakaknya. Padahal dia sangat tahu jika Vicky tidak lupa bahwa Antonio tidak bisa meminum obat. Tiga hari yang lalu sebelum menghadiri acara fashion week di hotel, Antonio memakan makanan yang sengaja di campur dengan telur oleh salah satu koki restoran. Hingga membuat dirinya sulit bernapas pasca memakan makanan tersebut dan terpaksa dilarikan menuju rumah sakit. George yang mengetahui keadaannya pun segera menghubungi Vicky hingga membuat wanita itu melakukan penerbangan menuju Washington. Antonio sendiri merasa kesal pada George karena melapor keadaannya pada Vicky. Saat dirinya berada di rumah sakit itupun Antonio memerintahkan anak buahnya untuk menangkap koki tersebut dan menghukumnya. Hingga akhirnya dirinya tahu siapa yang menyuruh koki tersebut melakukan aksi pembunuhan terhadap dirinya. Nasib koki itu pun merenggang nyawa akibat dimasukkan ke dalam minyak panas. Itulah penyebab dirinya tidak bersedia menerima tawaran makan malam bersama rekan bisnis di perusahaan maupun ketika melakukan pertemuan bersama anggota mafia lainnya. Antonio lebih memilih tidak menyentuh makanan sedikit pun daripada dirinya harus berakhir di rumah sakit seperti beberapa hari yang lalu. Dirinya lebih senang menyantap makanan yang disiapkan oleh koki pribadinya saat tinggal di mansion maupun di apartemen. Setelah menghabiskan sebatang rokok, Antonio menggunakan lengannya sebagai bantal. Kedua matanya mulai terpejam meskipun sinar matahari samar-samar mulai memasuki ruangan. Dia membutuhkan waktu istirahat tiga atau empat jam sebelum pergi ke kantor untuk bertemu dengan wanita tersebut. Benar, bertemu dengan Marjorie Fischer, seorang wanita yang menyandang sebagai musuh terbesarnya dan seorang wanita yang memiliki rasa bibir begitu manis. ~ Sebelah tangan Dale bergerak mencoba mencari seseorang yang tertidur di sampingnya. Merasa tidak menggapai tubuh Marry, Dale membuka kedua matanya. Dia tertegun tidak melihat Marry di dalam kamar. Tubuhnya bergerak cepat bangkit dari ranjang. Ini adalah pertama kalinya Dale bangun dan tidak melihat Marry tertidur di sampingnya. Takut Marry pergi jauh, Dale segera keluar kamar dan mencari Marry. "Marry!" teriak Dale cemas. Dirinya berjalan menuju dapur dan masih tidak melihat adiknya. Hingga beberapa detik kemudian dia menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang membuka pintu depan. Melihat Marry datang, desahan napas penuh kelegaan keluar dari bibir Dale. "Marry, kau ke mana saja? Sejak kapan kau bangun?" "Aku pergi menemui Bibi Adore. Dia mengatakan padaku kemarin jika dia akan memberi kita sarapan untuk hari ini, Kak," jawab Marry dan melangkah masuk. Dirinya tersenyum senang ketika meletakkan makanan pemberian Bibi Adore di atas meja makan. "Aku bangun jam enam pagi dan langsung ke sana karena sebentar lagi aku akan pergi ke perusahaan yang kemarin." "Kapan kau akan berangkat?" tanya Dale dan menyusul Marry duduk di ruang makan. Tatapannya mengawasi Marry yang mengeluarkan sandwich dari dalam plastik. Sebelah tangannya menerima sandwich yang diberikan Marry lalu ikut memakannya. "Satu jam lagi, Kak," jawab Marry dengan mulut penuh makanan. Dale tersenyum melihat Marry nampak begitu senang. Melihat adiknya terbatuk-batuk karena terlalu semangat menyantap sandwich-nya, Dale tertawa pelan lalu bangkit berdiri. Dirinya berjalan menuju kulkas portable lalu mengambil air mineral untuk Marry. "Jangan terburu-buru. Makanlah dengan tenang," ucap Dale lalu menuangkan air mineral itu ke dalam gelas dan memberikannya pada Marry. Marry tertawa pelan dengan sebelah tangan menutupi mulutnya supaya makanan yang ada di dalam mulut tidak tumpah keluar, "Aku sangat senang hari ini, Kak," jawab Marry lalu menenggak minumannya, "Ini adalah hari terbaik selama hidupku. Aku tidak menyangka sebentar lagi akan mendapat pekerjaan. Yah... Meskipun aku tidak tahu mereka menerimaku sebagai karyawan di sana atau justru menolakku." "Semoga kau berhasil, Marry," Dale menyahuti dengan memberi semangat hingga membuat kebahagiaan di wajah Marry semakin ketara. Marry tertawa senang sembari mengangguk. Dia kembali menyantap sandwich di tangannya. Beberapa saat kemudian Marry tertegun melihat Dale meletakkan sisa sandwichnya di atas plastik lalu bangkit berdiri. "Kakak mau ke mana?" "Aku akan keluar sebentar untuk membeli pakaian untukmu. Kau harus terlihat rapi bukan?" "Tapi Kak, aku masih punya pakaian yang cocok di pakai untuk pergi ke sana. Lagi pula di brosur itu mengatakan jika hari ini pendaftarannya dan tes akan dilakukan satu minggu lagi." Marry merasa tidak enak pada Dale. Dirinya tahu jika saat ini Dale tidak mempunyai uang. Meskipun belum yakin akan mengenakan pakaian yang mana, namun dirinya harus bisa mencegah Dale pergi hanya untuk membeli pakaian untuknya. "Tetap saja kau harus terlihat rapi." "Ini masih pagi, Kak. Mana ada toko pakaian yang sudah buka? Sudahlah Kak, lebih baik Kakak selesaikan sarapannya. Aku akan menyiapkan pakaianku." Marry ikut bangkit berdiri namun Dale mencegahnya, "Tidak. Ini adalah pertama kalinya kau akan melamar pekerjaan. Jadi, aku pun ingin melihat kau memakai pakaian yang rapi. Tunggu saja di sini," ucap Dale lalu berlari keluar apartemen. Marry mematung melihat punggung Dale yang menjauh. Dirinya tersenyum samar melihat Dale begitu memperhatikan dirinya. Sejak kecil kakaknya selalu melakukan yang terbaik untuknya. Marry menghela napas pelan dan kembali duduk. Hatinya bergerak untuk berjanji akan melakukan yang terbaik supaya usaha Dale dalam membantunya tidak sia-sia. Bahkan Marry masih sangat ingat kapan terakhir kali Dale membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Marry tidak pernah melihat Dale mengenakan pakaian baru. Pria itu selalu mengatakan lebih senang memakai pakaian bekas dibandingkan pakaian yang baru. Marry tidak tahu apakah kakaknya memang benar-benar senang memakai pakaian bekas atau justru lebih memilih memperhatikan dirinya. Sebenarnya Marry merasa tidak enak hati pada Dale. Dale selalu mementingkannya tanpa memperhatikan diri sendiri. Marry sangat ingin mengatakan dan meminta Dale untuk tidak terlalu banyak mengorbankan dirinya sendiri. Namun lelaki itu selalu mengatakan bahwa menginginkan yang terbaik untuknya dan akan berakhir seperti sekarang ini, Marry tidak bisa menolak apa yang dilakukan Dale untuknya. Setelah menghabiskan makanan, Marry pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sembari menunggu Dale kembali. Dirinya pun membersihkan sekujur tubuhnya, menyabuni menggunakan sabun beraroma lavender dan mencuci rambutnya dengan aroma yang sama. Lima belas menit kemudian Marry mendengar deru langkah memasuki kamar. Yakin jika itu kakaknya, dia mempercepat aktivitas mandinya. Marry menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara ketukan dari luar. "Pakaianmu di atas ranjang, Marry." "Iya, Kak," sahut Marry dan menutupi tubuhnya menggunakan handuk sebelum keluar dari kamar mandi. "Terima kasih," sambungnya ketika melihat dress santai yang terlihat rapi. "Aku hanya bisa membeli ini," ucap Dale. Marry tersenyum sembari menatap Dale, "Tidak apa-apa Kak. Terima kasih banyak. Aku pastikan bahwa dengan pakaian itu, mereka semuanya akan terkagum-kagum melihat calon karyawan berprestasi." Dale tertawa pelan mendengar candaan Marry. Dirinya pun mempersilakan Marry mengenakan pakaiannya dan lebih memilih menunggu Marry di ruang tamu. Sedangkan Marry mulai mengambil pakaian dan memakainya di ruangan lain. Marry menghela napas pelan sembari memperhatikan pakaian yang dikenakan. Sebenarnya dia merasa tidak yakin pergi menggunakan dress tersebut. Namun karena tidak ingin mengecewakan usaha Dale, Marry hanya bisa berdoa semoga penampilannya tidak terlihat buruk. Dirinya meraih mantel hitam yang biasa dikenakannya lalu memakai sepatu flat berwarna senada dengan mantel. Merasa siap dengan pakaiannya, Marry keluar ruangan lalu duduk di depan kaca. Dia mulai menyisir rambutnya yang setengah basah. Tanpa polesan make up, Marry memperhatikan pantulan bayangannya di dalam kaca. "Tidak terlihat buruk. Semoga wajahku tidak terlihat pucat," gumam Marry sembari mengulum dua belah bibir untuk membasahi permukaannya. Sejenak Marry terdiam mengingat kejadian kemarin. Mulutnya sedikit terbuka memperhatikan bibirnya yang berwarna merah alami tersebut. Sebelah tangannya menyentuh permukaan bibir ketika bayangan pria asing yang menciumnya kemarin kembali menghantui. Marry merasa sangat penasaran terhadap pria itu sampai menyebut dirinya seorang p*****r murahan. Hingga membuat Marry tidak bisa tidur nyenyak semalam suntuk karena terus memikirkan ucapan pria asing itu. Ingin rasanya Marry menampar wajah dan menarik lidahnya. Namun, ketika sepasang mata yang memiliki iris berwarna hitam pekat itu menatapnya begitu tajam, membuat Marry sulit menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya jantungnya yang terus menggedor-gedor tulang rusuk seolah berontak untuk keluar. "Marry?" Marry terlonjak pelan mendengar namanya di panggil. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Dale kini berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan dirinya. Tatapan Dale seolah mengabsen setiap jengkal tubuh Marry yang dibalut pakaian. "Kau memikirkan sesuatu?" tanya Dale seolah dapat membaca raut wajah Marry yang terlihat cemas. Marry tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya lalu mendekat ke arah Dale. "Tidak Kakak. Aku... entahlah, aku hanya merasa cemas." "Kalau begitu kau tidak perlu pergi." "Tidak Kak. Akan sia-sia jika aku tidak pergi. Terlebih kau sudah membelikan pakaian ini untukku." Marry menoleh ke arah meja yang terletak tak jauh dari ranjang. Dia meraih berkas lengkap yang sudah disiapkannya sejak semalam, "Aku pergi dulu, Kak." "Hati-hati," Dale mencium kening Marry. "Emb," Marry berdehem sembari mengangguk. Dia keluar dari kamar disusul Dale di belakangnya. Tak lupa Marry meraih tas slimpang yang nampak usang dan menyampirkannya di pundak. Dirinya mulai melenggang pergi meninggalkan apartemen. Marry berjalan sepanjang trotoar jalan. Pandangannya memperhatikan keadaan jalan yang cukup padat. Sesekali dirinya terlihat senyum sapa pada orang-orang yang dikenalnya di jalan. Hingga dirinya sampai di persimpangan jalan, Marry menyeberang jalan bersama dengan segerombolan orang lainnya. Meskipun dirinya merasa cemas dan ragu untuk pergi ke gedung perusahaan tersebut, dirinya mencoba menenangkan diri supaya tidak mengecewakan Dale. Langkah Marry terhenti tepat ketika memasuki halaman gedung perusahaan yang menjulang tinggi itu. Dirinya sangat terkejut setengah mati melihat begitu banyak orang hingga memenuhi halaman depan. "Ada apa ini? Bukankah di brosur mengatakan hari ini pendaftaran terakhir. Apakah sebanyak ini yang mendaftar di hari terakhir?" gumam Marry seorang diri. Marry menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya. Kakinya bergerak menuju kerumunan orang di depan halaman gedung hingga memasuki lobi depan. Marry pun berjalan ke arah meja resepsionis untuk menanyakan perihal pendaftaran lowongan pekerjaan tersebut. "Permisi," sapa Marry ketika dirinya sudah berada di depan meja resepsionis. "Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu, Miss?" "Saya ingin mendaftar lowongan pekerjaan di sini. Di brosur mengatakan jika hari ini hari terakhir," jawab Marry sembari memberikan berkas lengkap mengenai data dirinya pada resepsionis yang memakai seragam biru gelap dengan tatanan rambut yang sangat rapi hingga membuat siapa saja akan merasa tertarik padanya. "Anda bisa menunggu, Miss. Silakan tulis nama Anda di sini," ucap resepsionis tersebut sembari memberikan buku daftar yang Marry tidak tahu di dalam ya berisi apa saja. Marry hanya mengikuti. Dirinya mulai menuliskan nama lengkapnya. "Anda bisa menunggu lebih dulu karena hari ini sekaligus akan di adakan tesnya, Miss." "Apa?!" reflek Casey meninggikan nada suaranya membuat beberapa orang memusatkan perhatian padanya. "Karena Mr. McLaughlin yang akan mengawasi proses interview akan melakukan perjalanan bisnis satu minggu ke depan, beliau mengubah jadwal tes interviewnya hari ini. Tes akan dilaksanakan dua jam lagi, jadi Anda bisa menunggu bersama lainnya," resepsionis itu masih berbicara ramah meskipun melihat keterkejutan di wajah Marry. "Tapi... Aku belum menyiapkan apapun. Aku hanya membawa berkas ini. Apa ada sesuatu yang lain yang dibutuhkan saat tes interview nanti?" "Tidak ada, Miss. Anda hanya perlu menyerahkan berkas yang Anda bawa pada manager personalia saat di ruangan nanti." "Begitu," gumam Marry sembari menganggukkan kepalanya. Dirinya menoleh ke arah kanan kiri dan samar-samar mendengar keluh kesah para calon karyawan yang akan melamar di perusahaan tersebut. Sebagian dari mereka nampak mengeluh dan mengatakan belum siap karena tes interview dilakukan mendadak dan sebagian lainnya mengeluh karena takut tidak bisa diterima di perusahaan besar. "Terima kasih, kalau begitu aku akan menunggu," balas Marry pada resepsionis itu. Marry masih berdiri di depan meja resepsionis. Namun tatapannya mengabsen setiap sudut ruangan lobi yang terkesan begitu mewah dan maskulin. Marry tersenyum samar memperhatikan interior di dalam lobi tersebut. Tiba-tiba saja dirinya merasa yakin jika pemilik perusahaan tersebut adalah lelaki yang berusia tidak jauh dari kakaknya. Sepuluh menit Marry berdiri di depan meja resepsionis, dirinya dikagetkan oleh desahan penuh kagum dari beberapa wanita yang mengisi lobi tersebut. Merasa penasaran dengan objek yang menyita perhatian seluruh penghuni lobi hingga membuat dua resepsionis di depannya menundukkan kepalanya, Marry menoleh ke belakang. Di sana dirinya melihat segerombolan pria memakai setelan jas rapi sedang berjalan menuju lift. "Apa dia Mr. McLaughlin?" gumam Marry ketika melihat punggung segerombolan pria berjas. Marry tersenyum. Dirinya sangat ingin melihat sosok Mr. McLaughlin yang dikenal memprioritaskan karyawan berprestasi. Marry yakin jika dirinya bisa diterima di perusahaan tersebut, dirinya pasti akan mendapatkan gelar karyawan berprestasi dan mendapat tunjangan perihal jam kerjanya. ~ Marry duduk di kursi tunggu dengan perasaan cemas. Dirinya sudah menunggu selama enam jam dari saat sampai di gedung tersebut. Masih ada dua calon karyawan lagi sebelum giliran dirinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Berulang kali Marry menarik napas panjang untuk mengatasi kecemasannya yang sekarang bercampur dengan rasa gugup. Tatapan Marry tertuju pada seseorang yang baru keluar dari ruangan dan mendengar nama lainnya di panggil. Ratusan kali Marry memperhatikan pemandangan tersebut di depannya namun tidak mengurangi kecemasannya. Terlebih rata-rata dari mereka tidak sampai satu menit berada di dalam ruangan tersebut. Lalu bagaimana dengan dirinya? Akankah perusahaan besar seperti Ourano Corp. tersebut menerima dirinya? Marry menggigit bibirnya cemas. Keringat dingin mulai membasahi kening hingga telapak tangannya ketika pandangannya menangkap pintu di depannya kembali terbuka. Dan kali ini dirinya hanya menunggu tidak sampai satu menit. "Ya Tuhan... Semoga semuanya lancar. Aku tidak ingin membuat Dale kecewa," Marry bergumam cemas. Kegugupannya semakin besar ketika melihat pintu yang terlihat begitu sangat menyeramkan itu terbuka. Marry reflek bangkit berdiri ketika mendengar namanya di panggil. "Ya Tuhan... Ku mohon beri aku kesempatan sekali saja," Marry kembali berbisik sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan. Kakinya perlahan memasuki ruangan yang terasa mencekam. Dirinya menundukkan tatapannya ketika menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Beberapa detik kemudian Marry mendongakkan tatapannya. Dirinya mencoba tersenyum semanis mungkin pada sederat orang yang mengenakan pakaian rapi yang Marry yakin merekalah yang akan memberikan keputusan. "Perkenalkan diri Anda," pinta salah satu dari lima orang yang berada di ruangan tersebut. "Nama sa—" Marry menggantungkan ucapannya saat tatapannya semakin terdongak ke atas dan melihat sosok pria asing yang menciumnya duduk dengan angkuh sembari menatap dirinya. Tubuh Marry menegang seketika melihat bayangan pria itu. Dia masih menatapnya tajam dengan seringai licik yang sangat ketara di wajahnya. "Perkenalkan diri Anda, Miss," Seorang manajer mengulang ucapannya membuat Marry tertegun dan mencoba memusatkan perhatian serta konsentrasinya yang sempat menghilang beberapa detik yang lalu. "Nama saya... Nama saya Marjorie... Fischer," jawab Marry gugup. Dirinya melirik ke atas, tepat ke arah pria asing yang duduk di lantai dua dalam ruangan auditorium tersebut. "Nama saya Marjorie Fischer," Marry menegaskan ucapannya sembari membalas tatapan pria itu. Dirinya menatap pria itu dengan tatapan 'itu namaku. Dan aku bukan p*****r murahan seperti yang kau panggil'. ~ Wanita itu berlari ke arah kamar mandi. Napasnya tersengal-sengal dengan kening yang basah akibat keringat dinginnya. Marry menggigil di dalam kamar mandi. Tubuhnya terasa panas dingin seolah merasa mati rasa karena selama lima menit pria itu terus memberikan tatapan tajam yang penuh ancaman menakutkan. Entahlah, Marry sudah mampu merasakan sebuah ancaman meskipun hanya lewat tatapan pria itu. Tidak tahu apakah mereka sengaja memberikan banyak pertanyaan untuk menahannya lebih lama di dalam ruangan tersebut atau mereka memang tertarik untuk menerima dirinya sebagai karyawan di perusahaan tersebut. Marry tertegun mengingat satu hal. Mungkinkah pria asing itu yang bernama Mr. McLaughlin? Pertanyaan itu membuat tubuh Marry lemas seketika. Dirinya hampir terperosot jika tidak menyanggah tubuhnya pada stand wastafel di depannya. Marry mengulurkan tangannya di bawah kran air otomatis. Dia membasuh kedua tangan lalu wajahnya. Marry kembali menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Sebelah tangannya menyentuh dadanya yang tidak bisa berdetak normal sejak lima menit yang lalu. Merasa sedikit lebah tenang, dirinya pun berniat untuk keluar dari toilet dan langsung pulang ke rumah karena hari mulai petang. Marry terkejut ketika merasakan sebuah lengan yang mencekal lengannya. Menahannya untuk meninggalkan tempat tersebut. Belum sempat dia menoleh ke arah pria itu, Marry merasakan tubuhnya dihempaskan pada dinding kamar mandi. Dia meringis merasakan nyeri di sekitar punggung. Kedua mata Marry terpejam ketika kedua lengan itu sedikit memukul dinding saat mengungkungi tubuhnya. Dia segera memalingkan wajahnya ketika merasakan pergerakan pria tersebut yang hendak mendekatkan wajah ke arahnya. Kedua tangan Marry hanya meremas rok pendek selututnya untuk menyalurkan rasa cemas serta takut yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. "Aku mendapatkanmu. Kau milikku," bisik Antonio tepat di depan wajah Marry. Jantung Marry berdegup cepat ketika Antonio semakin mendekatkan wajahnya. Namun, niat Antonio untuk merasakan bibir Marry tertunda ketika wanita itu memberanikan diri untuk mendorong tubuh Antonio menjauh darinya. "Saya bukan milik Anda dan Anda tidak akan pernah mendapatkan saya! Saya lebih memilih untuk membatalkan niat saya bekerja di sini!" teriak Marry dengan napas tersengal-sengal. Meskipun dirinya sangat takut berada di dekat pria itu, namun dia harus melawan pria tersebut. Untuk sesaat Marry tidak peduli jika setelah melangkahkan kakinya keluar dari gedung perusahaan terbesar di kotanya dirinya tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan lain. Dia lebih memilih menghindar dari pria aneh yang menghadang langkahnya untuk keluar dari kamar mandi tersebut. Lihat! Bahkan pria yang memiliki jabatan tertinggi di dalam gedung perusahaan tersebut berani masuk ke dalam kamar mandi wanita. Suara detak jantung Marry bak genderang perang yang ditabuh berkali-kali tanpa henti ketika melihat kedua tangan pria di depannya terkepal sempurna. Wajahnya nampak menahan emosi. Terlihat jelas ketika pria itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mengeraskan rahangnya. Bahkan guratan otot di sepanjang leher lelaki itu tercetak jelas. "Kau melawan orang yang salah," desis Antonio, kedua kakinya melangkah pelan mendekat ke arah Marry membuat wanita itu semakin ketakutan. "Ja-jangan mendekat! Jangan mendekat! Saya akan berteriak agar semua orang mendengar!" Marry berteriak dengan suara menggigil akibat rasa takutnya. Kakinya mengikuti langkah Antonio. Dia berjalan ke arah samping untuk menjauh dari pria itu. Dengan gerakan cepat yang tidak di duga Marry, Antonio mendorong Marry masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi yang berada tepat di samping Marry. Tubuh Marry kembali menghantam dinding kamar mandi, bahkan kali ini lebih keras hingga membuatnya meringis kesakitan saat kakinya hampir terpeleset. "Apa yang Anda lakukan?!" teriak Marry sembari menatap tajam pada sosok Antonio di depannya. "Apa yang kau pikirkan ketika dua orang berada di dalam kamar mandi?" tanya Antonio sembari menunjukkan seringai jahatnya pada wanita di depannya. Kedua tangannya bergerak melepaskan jas hitam lalu menjatuhkannya di atas lantai. Langkah Antonio mendekati Marry yang semakin terpojok di depannya. Rasa takut tertumpah ruah dari arah Marry hingga membuat tubuh wanita itu kembali menggigil membayangkan pikiran-pikiran buruk yang akan terjadi. "Anda tidak bisa melakukan ini! Aku akan—" ucapan Marry meredam di telapak tangan Antonio yang menutup mulutnya. Marry pun bertindak berontak dan mencoba melepas tangan Antonio yang membungkam mulutnya. Antonio berhasil menghimpit tubuh Marry. Tangannya yang lain mulai menjamah tubuh Marry hingga membuat wanita itu menangis. Sedangkan Antonio nampak tersenyum senang melihat kedua mata Marry sudah penuh dengan airmata. Tak lama kemudian Antonio melepaskan tangannya dari mulut Marry dan mulai mencium wanita itu. Kedua tangan Antonio berganti tugas mencengkeram kedua pergelangan tangan Maret erat-erat untuk menahan dorongan wanita tersebut. Marry mencoba melepaskan diri dari Antonio, terlihat dari pergerakan kaki dan tangannya yang mencoba melawan perlakuan pria tersebut. Kini kedua tangan Marry berada di dalam cengkeraman salah satu lengan Antonio sedang lengannya yang lain mulai melepaskan celanya. Marry tidak bisa berbuat banyak ketika dirasa pergelangan tangannya kesakitan dan kakinya menjadi lemas. Hingga beberapa saat kemudian jeritan penuh rasa sakit serta kepedihan lolos dengan mudah dari bibir Marry ketika kakinya tidak lagi mampu menahan bobot tubuhnya. "Kau pelacurku, sama seperti ibumu yang menjadi p*****r ayahku. Kau juga akan menjadi pelacurku," geram Antonio tepat di telinga Marry ketika dirinya berhasil menerobos masuk ke dalam tubuh Marry. Berbeda dengan Marry. Dirinya justru kehilangan kesadarannya karena tidak kuat menahan rasa sakit yang mulai menjalar di sekujur selangkangannya hingga membuat kakinya mati rasa. Tubuh Marry terperosot di atas lantai ketika Antonio melepaskan diri darinya. Antonio berdiri dengan tatapan memperhatikan Marry yang tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu terkulai lemah dengan darah keperawanannya di sekitar kakinya. Antonio juga melihat darah itu menetes di atas lantai ketika dirinya pertama kali berhasil menerobos paksa ke dalam tubuh Marry. Sebelah tangannya meraih tisu untuk membersihkan miliknya dan membasuhnya sebelum keluar dari bilik kamar mandi tersebut. Dirinya melangkah pergi meninggalkan wanita itu seorang diri di dalam kamar mandi. ~Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD