Ares Of Darkness_3

4174 Words
Happy Reading^_^ Tubuh Marry menegang sedetik setelah mendengar pertanyaan Dale. Sendok yang ada ditangannya pun terlepas. Kedua tangannya bergerak gusar di sekitar leher sembari memalingkan wajah. Rasa takut serta cemas yang sejak tadi dirasakan semakin besar. Dale tidak pernah marah padanya. Satu hal yang mampu membuat Dale marah adalah tidak suka melihat Marry dengan pria lain. Marry tidak tahu kenapa Dale melarang keras dirinya dekat dengan pria lain. Dan sialnya dia memberikan bukti hal itu hingga membuat kemarahan nampak jelas dari raut wajah Dale. "Ka-Kakak... A... I... Itu..." "Kau sudah melanggar apa yang aku larang, Marry?" Dale mendesis sembari menatap Marry dengan penuh kilatan emosi. "Ti-tidak Kak. Itu... Itu tidak seperti yang Kakak pikirkan. A-aku..." Marry tidak melanjutkan ucapannya. Dirinya merasa sangat gugup dan takut, membuat lidahnya terasa kelu untuk semakin berbicara jauh. Marry terperangah ketika mendengar decit kursi terdorong ke belakang. Dia menatap Dale dan ikut berdiri saat Dale bangkit. Dale berjalan cepat menuju kamar membuat Marry mencekal lengannya untuk menghentikannya. "Kakak, tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku. Kakak!" Gendang telinga Dale seolah tuli. Dia tidak mau mendengar rengekan Marry yang meminta untuk memberi penjelasan. Dirinya justru menampik lengan Marry dengan kasar dan membanting pintu kamar tepat di depan wajah Marry. "Kakak! Buka pintunya!" Marry berusaha mendorong pintu kamar dan mengetuknya berharap Dale akan membukanya. "Kakak, aku mohon dengarkan penjelasanku. Kakak tahu kan kalau aku tidak suka melihatmu marah padaku? Kakak! Buka pintunya!" "Kau sudah melanggar apa yang aku larang. Jadi lakukan sesukamu! Kau tidak mendengar apa perkataanku jadi untuk apa aku mendengar penjelasanmu?!" Sahutan dari Dale membuat tubuh Marry menegang ketakutan. Airmata mulai bersarang di pelupuk matanya. Hingga perlahan suara Marry terdengar bergetar menahan isak tangis. "Kakak... Aku tidak melanggarnya. Aku... Tadi saat aku mengambil gaun, tidak sengaja gaunku tertukar dengan milik seseorang. Aku terpaksa pergi ke hotel untuk... menukar kembali gaunku. Lalu... di sana... di sana aku bertemu dengan pria asing. Tiba-tiba dia menarikku ke kamar dan-" "Dan apa?!" Marry terlonjak kaget saat mendengar suara gertakan tiba-tiba dari dalam kamar. Rasa kagetnya mendorong airmata itu menetes melewati pipinya. "Kau pasti melakukannya lebih jauh bukan?! Aku merasa jijik melihatmu! Melihat bekas itu..." Marry memejamkan matanya mendengar suara Dale yang mengatakannya dengan nada pilu bercampur emosi, "Kau tahu kan jika aku melarangmu untuk dekat dengan pria-pria tidak benar di luar sana!" "Aku tidak melakukan apapun, Kak. Aku berani bersumpah padamu. Aku tidak melakukan apapun. Orang itu mengatakan mengenalku sehingga... aku tidak menolaknya saat dia menarikku ke-" "Apa kau jalang, hah?!" "Kakak..." airmata Marry kembali lolos karena mendengar ucapan Dale. Dia tidak menyangka Dale akan menganggapnya seperti wanita jalang. Seumur hidupnya, Marry tidak pernah melihat Dale semarah itu padanya. Bahkan pria itu kini berkata kasar hingga membuat luka di hati Marry. "Apa Kakak melihatku seperti itu?" Marry memelankan suaranya yang kini sudah bercampur dengan isakan. "Aku tidak tahu kenapa Kakak sangat marah padaku hanya karena aku melakukan kesalahan kecil. Aku juga tidak tahu kenapa Kakak melarangku keras untuk dekat dengan pria lain padahal suatu saat nanti aku pun harus menikah. Aku sudah berusia 23 tahun tapi sampai sekarang aku tidak mempermasalahkan larangan Kakak. Itu hanya ciuman Kak. Apa nantinya Kakak juga akan melarangku menikah?!" Dale termenung mendengar keluh kesah yang ternyata sudah lama dirasakan Marry mengenai larangannya. Tidak tahu apa yang dirasakannya, namun emosi di otak dan hatinya tidak kunjung mereda. Kedua telapak tangannya mengepal dengan kepala menoleh ke arah samping, tepat lurus pada dinding pintu kamar yang menjadi pembatas antara dirinya dan Marry saat ini. Beberapa detik kemudian Dale mendengar deru langkah menjauh tanda kepergian Marry. Dirinya masih berdiri diam bak patung dengan seribu pikiran menggelayuti kepala. Mendengar penuturan bahwa Marry juga menginginkan sebuah pernikahan membuat pikiran Dale kalang kabut. Dirinya seolah ingin mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya bahwa dia merasakan perasaan yang lebih dari sekedar hubungan saudara. Dale menyukai Marry, itulah fakta yang membuat Dale melarang Marry untuk dekat dengan pria lain. Sejak kecil dirinya sudah menyukai wanita itu hingga semakin lama rasa di dalam hatinya semakin membesar. Sehingga dirinya langsung tidak bisa menahan emosi ketika melihat pria lain yang berani mencium Marry. Sejak kecil Marry memang tinggal dengannya, bahkan sampai sekarang Marry masih tidur satu ranjang dengannya. Kebiasaan sejak kecil membuat Marry dan Dale selalu tidur bersama hingga sekarang. Namun selama itu dirinya tidak pernah menjamah tubuh Marry ataupun melakukan lebih dari sebuah pelukan seorang kakak untuk adiknya. Dale berusaha keras untuk menahan diri untuk tidak menyentuh Marry sampai waktunya tiba, sampai Marry menyadari perasaannya. Tapi, apa yang dilihatnya sekarang? Marry justru sudah memberikan tubuhnya pada pria asing. Dan sialnya itu masih membekas di tubuh Marry membuat emosi Dale bak tersulut api. "Berjanji padaku Marry, kau jangan meninggalkanku apapun yang terjadi." Marry langsung menganggukkan kepalanya, "Iya Kak. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Kakak." Dale memejamkan kedua matanya mengingat janji yang dulu sempat diucapkan Marry padanya. Apakah Marry masih mengingat janji itu? Janji bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkannya? Jika Marry masih mengingat janji itu, kenapa dia berpikir untuk menikah dengan pria lain? ~ "Anda akan berangkat satu jam lagi, Sir," lapor George Hudson, pria yang menjadi Sekretaris serta orang kepercayaan Antonio. Antonio menatap ke depan. Tidak ada respon apapun darinya tentang laporan jadwal dari Goerge. Sekembalinya dari hotel, dirinya langsung menghadiri rapat bersama dewan direksi di pusat kantor perusahaan ritel miliknya, Ourano Corp. Sebelah lengannya berada di atas meja. Ibu jarinya bergerak mengelus bibir bagian bawah. Semenjak pertemuannya dengan Marry membuat Antonio tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Rasa haus akan dendamnya yang sudah bertahun-tahun itu membuat Antonio seketika ingin membunuh Marry. Namun tubuhnya justru melakukan hal lain, ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencium bibir Marry. Dan sialnya setelah merasakan bibir wanita itu membuat Antonio ingin merasakannya lagi dan lagi. "Cari tahu wanita yang mirip dengan Helga itu. Aku sangat berharap jika wanita itu adalah putrinya," perintah Antonio pada George. "Baik, Sir." Antonio bangkit berdiri ketika mendengar deru langkah kaki George yang meninggalkan ruangan. Dirinya berjalan menuju dinding kaca di depannya. Dinding kaca tebal itu membuat Antonio dapat melihat sekeliling gedung-gedung pencakar langit yang berusaha menandingi miliknya. Helga Corrick, nama wanita itu masih terpatri di dalam otak dan hatinya. Bahkan Antonio tidak bisa menghilangkan nama itu sedetik pun. Seolah nama itu begitu melekat di sana, mengikat otak dan hati hingga membuat hatinya membatu. Dendam yang ada di hati semakin besar ketika melihat wanita yang mempunyai wajah mirip Helga. Antonio sangat berharap jika wanita yang ditemuinya adalah keturunan dari wanita itu sehingga dirinya bisa menuntaskan pembalasan dendam atas masa lalu. Dendam untuk membunuh siapa pun keturunan wanita bernama Helga Corrick seolah menjadi napasnya hingga membuat jantung Antonio ikut berpacu dengan cepat saat melihat Marry untuk pertama kali. Helga Corrick, wanita itulah yang telah merebut ayahnya hingga menjadi penyebab kematian ibu serta kakak laki-lakinya. Wanita itu membuat masa kecil seorang Antonio menjadi kelam. Wanita itu membuat malam-malam Antonio terus berpetualang pada mimpi buruk. Wanita itu, tanpa mengatakan apapun ketika dirinya dan saudara-saudara serta ibunya datang untuk melihat sosoknya yang telah merebut kebahagiaan Antonio. Salah satu pintu di apartemen sederhana itu terbuka. Antonio dan ketiga kakaknya berdiri di belakang punggung ibunya. Dirinya dan yang lain menatap sosok wanita berambut pirang yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu ikut memandang dirinya dan yang lain. "Anak-anakku... Mereka... Mereka ingin melihat ayahnya untuk yang terakhir kalinya," ucap Danielle. Antonio mengikuti ibunya ketika tangannya digenggam dan melangkah memasuki apartemen tersebut. Sedangkan ketiga kakak perempuan dan laki-lakinya mengikuti di belakang. Kedua telapak tangan Antonio terkepal ketika otaknya memutar kembali pada kenangan masa lalu. Dia memejamkan mata untuk mengendalikan emosi yang tersulut oleh masa lalu. Kenangan ketika dirinya berusia lima tahun menjadi pemukul hidupnya. Hingga membuat Antonio dan Vicky merasakan putus asa berulang kali untuk tetap hidup ketika mengingat wajah penuh kepedihan yang terpancar dari Danielle, ibunya. "Aku akan langsung membunuhnya," tanpa sadar Antonio berdesis seorang diri. "Tidak," Antonio menyanggah ucapannya sendiri. Dia membuka kedua matanya. Kali ini tatapannya mengartikan hal lain hingga membuat sebelah ujung bibirnya terangkat ke atas membentuk seringaian, "Akan lebih menyenangkan jika aku memperlakukannya seperti wanita jalang. Benar... Bukankah dia melakukan hal itu dulu? Kali ini giliranku." Antonio tertawa pelan. Dia kembali mengelap bibir lalu menatap jarinya, "Aku akan memasaknya sebelum memakannya," gumamnya kembali. Tiga puluh menit Antonio berada di ruangan untuk menunggu hasil penyelidikan George. Dia duduk di sofa ketika Goerge sudah kembali. George pun menghampiri Antonio dan menundukkan kepalanya sejenak untuk memberi hormat sebelum melaporkan hasil penyelidikan. "Apa yang kau dapat?" "Lapor, Sir. Wanita muda yang Anda cari bernama Marjorie Fischer. Dia tinggal bersama kakak laki-lakinya di apartemen yang tidak jauh dari gedung kantor ini. Kakaknya bernama Dale Fischer, dia bekerja sebagai buruh di proyek bangunan. Ms. Marjorie-" Penjelasan George terhenti ketika mendengar seseorang mengetuk ruangan. Sedetik kemudian Antonio tertegun melihat seorang wanita yang memasuki ruangannya. Wanita itu berjalan ke arahnya dan duduk di sofa yang berseberangan. "Ada apa?" tanya Antonio melihat tatapan Wilma yang mengawasi dirinya. "Jangan berpikir untuk mencari tahu wanita itu, Antonio. Dia bukan modelku. Aku takut terjadi sesuatu karena ulahmu yang disebabkan olehku," ucap Wilma to the point seolah tahu apa yang sedang dilakukan Antonio. "Apa kau melihat aku sedang bersamanya?" "Tidak." "Lalu kenapa kau berpikir aku akan melakukan hal yang disebabkan olehmu?" "Aku tahu kau melakukan sesuatu padanya. Kau menciumnya bukan? Itu artinya kau tertarik padanya dan dia bukan modelku. Aku khawatir kau akan memperlakukannya seperti model-modelku yang terlalu memujamu." Antonio tersenyum tipis. "Aku tidak akan melakukannya," dengan niat yang sama seperti model-modelmu. Wilma menyipitkan tatapannya. Dia masih mengawasi Antonio. Bukti bahwa Antonio saat ini tidak sedang bersama wanita itu membuat Wilma sedikit yakin akan jawabannya. Namun dirinya pun mengenal sosok Antonio dengan baik. Meskipun bukan teman sejak kecil, namun Wilma sudah cukup dekat dengannya dan tahu seperti apa Antonio. Lelaki itu pasti akan langsung menghabiskan waktu satu jam bersama model-model yang menjadi korban pelepasan gairahnya. Namun Wilma justru mendengar Antonio langsung menghadiri sebuah pertemuan rapat dan baru selesai tiga puluh menit yang lalu. Itu artinya Antonio tidak sedang bersama wanita itu karena Wilma pun tidak melihatnya di ruangan ini. "Berjanji padaku kau tidak menjadikannya korban hasrat seksual sialanmu itu." "Ada apa denganmu, Wilma? Dia bukan modelmu bukan? Lalu kenapa kau memedulikannya? Lagipula apa kau yakin jika dia juga menghargai rasa pedulimu itu?" "Karena dia bukan modelku, aku mengkhawatirkannya. Dia terlihat seorang wanita baik-baik jadi aku tidak rela kau menjadikannya seperti model-modelku yang lain." "Apa bedanya jika dia pun akan menerimanya?" "Maksudmu?" Wilma mengernyit bingung mendengar pertanyaan Antonio. Dirinya tidak tahu ke mana arah pembicaraan temannya tersebut. "Sudahlah, kita bisa membahasnya lain waktu," Antonio bangkit berdiri dan menatap Wilma, "Aku harus ke San Fransisco sekarang." "Urusan bisnis?" "Kau tidak percaya padaku? Kau boleh mengawasiku jika tidak mempercayainya," tawar Antonio yang justru membuat Wilma mendesah pelan. "Baiklah," putus Wilma lalu menoleh ke arah George sekilas dan kembali menatap Antonio, "Nanti malam aku mengundangmu ke acara makan malam." "Aku harus berada selama empat hari di sana." "Oke," Wilma kembali mendesah mendengar jawaban Antonio. Lelaki itu selalu saja menolak undangan makan malamnya dengan banyak alasan. ~ Hari mulai petang waktunya Dale untuk pulang. Dia selalu pulang setiap pukul lima sore hari. Dale menyusuri trotoar jalan menuju apartemen sederhana yang sudah disewanya sejak lima tahun lalu. Saat itu Marry masih duduk di bangku sekolah menengah. Dale bekerja keras demi wanita itu supaya Marry dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik. Meskipun Marry bukan adik kandungnya, namun Dale ingin yang terbaik untuk Marry. Termasuk dirinya tidak ingin Marry dekat dengan lelaki lain. Dale sudah menyerahkan banyak waktu di sepanjang hidupnya untuk Marry. Dirinya bekerja siang malam untuk wanita itu. Demi membuat Marry tidak pergi darinya, Dale membiarkan dirinya tidak bersekolah dan lebih memilih menyekolahkan Marry. Masih sangat ingat ketika dirinya berhenti sekolah di bangku kelas empat sekolah dasar. Dirinya lebih memilih membantu ibu panti untuk merawat Marry yang saat itu berusia satu tahun. Awalnya Dale menyukai Marry karena wanita itu terlihat menggemaskan ketika masih bayi, namun lambat laun dirinya tertarik lebih dari hubungan persaudaraan. Dale menyadari hal itu ketika melihat Marry duduk di bangku tahun pertama sekolah menengah pertamanya. Saat itulah Dale membujuk Marry untuk lepas dari panti asuhan dan tinggal bersamanya. Hari-hari pertama yang mereka jalani cukup berat karena waktu itu untuk pertama kalinya Dale berusaha tidak bergantung pada orang lain. Dia mendapat pekerjaan untuk pertama kali sebagai buruh bangunan. Tak jarang Dale berpikir untuk berhenti karena tidak kuat dengan kerasnya kehidupan dunia luar. Namun setiap dirinya pulang dan melihat Marry menyambut dengan senyum manis, Dale justru tidak menemukan niat keputusasaannya. Marry adalah semangat hidupnya, wanita itu adalah hidupnya. Tapi, hari ini untuk pertama kalinya Marry terlihat seperti orang lain. Setelah mendengar semua keluh kesah Marry terhadap sikapnya membuat Dale tidak bisa berhenti memikirkannya. Bahkan dia tidak konsentrasi bekerja hingga sering mendapat teguran dari atasannya. Dale melambatkan langkahnya. Dia menatap penjual gula gula kapas yang berada tidak jauh dari tempatnya. Marry menyukai gula gula kapas, mungkin jika dirinya membelikan jajanan itu, hubungannya dengan Marry akan membaik. Dale pun mendekat ke arah penjual gula gula kapas. Dia membeli seplastik gula gula kapas seharga lima puluh sen. Meskipun mendapat seplastik kecil, setidaknya dirinya masih bisa membelikan jajan untuk adiknya. Dale melanjutkan langkahnya. Dia kembali memikirkan Marry. Dirinya berharap Marry akan senang mendapatkan gula gula kapas. Merasa ingin cepat pulang, Dale semakin mempercepat laju langkahnya. Sepuluh menit kemudian dirinya sudah memasuki gedung apartemen tersebut. Dia mulai menaiki anak tangga sampai di lorong tempat tinggal dirinya dan Marry. Dale segera membuka pintu dan langsung memanggil Marry di langkah pertamanya masuk ke dalam rumah. "Marry?" Kening Dale berkerut karena tidak mendapat sahutan dari adiknya. Pandangannya mengitari sekeliling apartemen yang nampak sepi menunjukkan tidak ada orang lain. Dale segera melepas tangannya dari knop pintu dan berjalan mengelilingi apartemen untuk mencari adiknya. Dia mulai membuka pintu kamar dan dua ruangan lainnya di dalam kamar sembari memanggil nama adiknya. "Marry!" Dale mendesah kasar karena tidak menemukan adiknya. Dirinya mulai khawatir Marry akan meninggalkannya karena pertengkaran yang terjadi siang tadi. Tidak. Marry tidak boleh meninggalkannya, begitu pikir Dale sembari mengusap kasar pada wajahnya menunjukkan kecemasannya. Dale membuka lemari pakaian. Dia masih melihat pakaian Marry di dalam lemari tersebut dan itu tandanya Marry tidak pergi jauh. Namun rasa cemasnya tidak kunjung mereda karena tidak seharusnya Marry pergi keluar sampai petang hari. Dirinya pun berniat untuk mencari Marry keluar sebelum terjadi hal buruk pada adiknya. Ketika tubuhnya bergerak untuk berbalik dan pergi dari apartemen, dia terkejut ketika sepasang lengan memeluk tubuhnya dari belakang membuatnya terdorong ke depan karena tubrukan kecil tersebut. "Kakak." Kelegaan mengguyur dirinya, menguapkan kecemasan yang dirasakan. Dia segera melepaskan pelukan Marry dan berbalik menghadap adiknya. "Kakak, maafkan aku. Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berbicara kasar padamu. Maafkan aku, Kak," ucap Marry dan kembali memeluk Dale. "Ini hari ulang tahunmu, tapi aku justru merusaknya dengan pertengkaran siang tadi. Aku tidak keberatan sama sekali dengan larangan Kakak karena aku tahu Kakak ingin yang terbaik untukku. Maafkan aku Kak karena berbicara buruk padamu dan merusak hari ini. Aku minta maaf." Dale tersenyum tipis. Dia membalas pelukan Marry. Sebelum Marry meminta maaf, dirinya sudah memaafkannya. Melihat Marry tiba-tiba memeluknya dan meminta maaf seperti itu membuat Dale merasa lega karena pikiran buruknya tidak mungkin akan terjadi. Benar, Marry tidak akan mungkin meninggalkan dirinya. "Aku juga minta maaf karena tidak mendengar penjelasanmu lebih dulu, Marry," balas Dale yang justru mendapat pelukan erat dari Marry. "Aku menyayangimu, Kak. Aku tidak ingin kehilangan dirimu." "Aku juga sangat menyayangimu. Kau adikku satu-satunya dan kau adalah seseorang yang paling berharga di dalam hidupku, Marry." "Terima kasih, Kak," Marry tersenyum. Dirinya merasa lega karena Dale tidak membencinya. "Aku sangat bahagia mempunyai kakak terhebat dan terbaik seperti dirimu, Kak." Kakak? Tiba-tiba senyum di bibir Dale memudar perlahan. Dia tidak menyadari jika maksud Marry mengucapkan menyayanginya hanyalah sebatas hubungan persaudaraan. Berbeda dengan Dale yang mengatakan perasaan dengan segenap hatinya. Marry melepas pelukannya. Dia tersenyum menatap Dale dan belum menyadari raut wajah Dale. "Aku melihat ada gula gula kapas di atas meja. Apa Kakak sengaja membelikannya untukku?" tanya Marry. Tidak ada respon dari Dale membuat kening Marry berkerut. Dia merasa bingung mendapat tatapan tak biasa dari Dale, "Kakak, kenapa? Apa terjadi sesuatu?" "Tidak," Dale menghela napas pelan dan memalingkan wajah. Jika tidak bisa menahan diri, mungkin sekarang Dale sudah mencium bibir Marry dan menyatakan perasaannya. "Ada sesuatu yang Kakak sembunyikan dariku?" Marry bertanya dengan ragu sembari tatapannya mengawasi raut wajah Dale. "Tidak." Dale berjalan keluar ruangan melewati kamar. Dirinya duduk di sofa di susul Marry. Dale memperhatikan Marry yang duduk tepat di sampingnya. Wanita itu mulai membuka bungkus plastik gula gula kapas dan mulai memakannya. "Jangan berada di luar jika sudah petang, Marry." "Iya Kak. Tadi aku cepat-cepat pulang." "Memangnya kau pergi ke mana?" "Ke taman. Seharian aku duduk di sana dan memikirkan Kakak," Marry menghentikan aktivitas tangannya yang memasukkan gula-gula kapas ke dalam mulut. Dia menundukkan wajahnya, "Aku takut saat Kakak marah padaku." "Aku sudah tidak marah padamu." "Iya, aku percaya Kak," Marry tersenyum dan kembali makan. Hingga suapan ketiga, dirinya kembali berhenti makan seolah sedang memikirkan sesuatu. "Ada apa? Tidak enak?" tanya Dale bingung melihat Marry berhenti makan gula gula kapasnya. Marry menggeleng, "Tidak Kak. Aku hanya berpikir tentang pekerjaan. Kakak masih mengijinkanku untuk melamar pekerjaan bukan?" "Aku tidak pernah mengatakan mengijinkanmu bekerja, Marry." "Tapi, Kak..." "Marry, kau memang bisa diterima di semua perusahaan. Aku percaya kau bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Tapi, apa kau tidak memikirkan keadaanmu? Kau tidak bisa melihat dengan jelas di tempat gelap dan di saat hari mulai petang. Lalu bagaimana saat kau akan pulang dari kantor?" Marry menundukkan wajahnya kembali. Nafsu makannya untuk menghabiskan seplastik gula-gula kapas menghilang seketika. Untuk pertama kali dirinya menyesal dengan keadaan. Jika saja dia bisa melihat dengan jelas di saat malam hari, Dale sudah pasti akan mengijinkannya bekerja. "Bekerja di kantor pasti akan sering lembur dan kau bisa sering pulang malam." Marry kembali diam mendengar nasehat dari Dale. Semua nasehat kakaknya memang tidak salah. Dia melupakan keadaan kesehatan matanya saat mendapat brosur dari Bibi Adore. "Aku akan membeli makan malam," Dale bangkit berdiri, "Kau di rumah saja. Aku akan segera pulang," pamitnya sebelum melenggang pergi dari ruang tamu. Marry menganggukkan kepala. Dia masih duduk sembari menatap punggung Dale. Setelah Dale menutup pintu, Marry mulai bangkit berdiri menuju kamar mandi. Dia akan mandi sembari menunggu Dale pulang membawa makan malam. Setelah menghabiskan waktu sepuluh menit. Marry mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Mengetahui kakaknya sudah pulang, dirinya segera memakai pakaian lengkap sebelum keluar kamar. Marry keluar dengan mengenakan kaos lengan pendek berwarna biru dan celana selututnya. Dia membiarkan rambut brunette bergelombangnya tergerai bebas di punggung. Marry berjalan menuju meja makan. Dia melihat Dale masih berdiri sembari mengeluarkan menu makan malamnya dari dalam plastik. "Kak, kenapa hanya membeli satu roti?" tanya Marry bingung. "Aku belum mendapat uang. Uang minggu kemarin sudah untuk membayar sewa apartemen," jawab Dale dan meremas plastik lalu menatap Marry, "Makanlah. Aku akan mandi dulu." Marry hanya diam melihat Dale masuk ke dalam kamar. Dia menatap sebungkus roti dengan selai kacang itu sekilas. Dirinya menarik kursi kayu yang ada di depannya dan duduk di sana. Jika saja Dale mengijinkan dirinya bekerja, Marry yakin dirinya dan Dale tidak akan hidup kekurangan seperti sekarang ini. Haruskah dia kembali membujuk kakaknya? Tanpa menunggu sedetik saja, Marry berlari masuk ke dalam kamar. Dia melihat Dale sedang melepas kaos kusutnya. Dale pun menatap Marry yang berlari masuk menyusulnya ke dalam kamar. "Kau sudah selesai makan?" tanya Dale lalu meletakkan kaos kotornya ke dalam ember yang digunakan untuk meletakkan kain kotor. Marry menggelengkan kepala, "Kak, ayolah. Ijinkan aku bekerja. Setidaknya biarkan aku pernah merasakan melamar pekerjaan. Jika aku diterima, kita bisa memikirkannya nanti. Lagipula Kak, perusahaan besar tempat aku akan melamar di sana, tidak mungkin jika mereka langsung menerima calon karyawan yang rabun senja jika tidak ada tunjangannya. Kakak juga kan pernah bertemu dengan Mr. McLaughlin, dan setahuku... dia memberi tunjangan pada karyawan yang berprestasi. "Coba bayangkan jika aku diterima di perusahaan tersebut. Aku yakin mereka pasti akan menerima pengajuan waktu kerjaku. Nanti aku akan mengatakan pada mereka jika aku tidak bisa bekerja overtime. Mereka juga pasti membaca riwayat hidupku Kak. Jadi, mereka sudah pasti tahu tanpa aku memberitahunya. Jadi bagaimana? Apa Kakak mengijinkan aku bekerja di sana?" "Perusahaan besar seperti itu tidak akan mungkin menerima calon karyawan yang mempunyai kekurangan, Marry." Marry mendesah pelan. Dia berjalan ke arah ranjang dan duduk di sana. Tatapannya masih mengawasi Dale yang berdiri di depan pintu kamar mandi. "Setidaknya biarkan aku mencobanya sekali saja, Kak. Aku juga ingin merasakan mempunyai pekerjaan, mendapat uang, menabung, dan..." Marry menggantungkan ucapannya mengingat perdebatan dengan Dale siang tadi. "Aku tidak mengeluh Kak. Sama sekali tidak," Marry menggelengkan kepala sembari menarik ujung-ujung bibirnya, "Ayolah Kak. Sekali.... saja. Bagaimana? Oh yah, begini saja. Kalau nanti Kakak mengijinkan aku pergi ke sana, di hari gaji pertamaku, aku akan membuatkan sop labu yang sangat banyak untuk Kakak. Aku juga yang akan membayar sewa apartemen ini. Dan uang Kakak, Kakak bisa menabungnya untuk masa depan Kakak nanti waktu Kakak menikah. Bagaimana? Hmmm?" Menikah? Kata itu seperti momok di dalam kepala Dale. Apakah Marry bersedia menikah dengannya? Dale menghela napas pelan untuk kembali menghilangkan pikiran-pikiran yang mulai berkumpul di dalam otaknya. Kepalanya mengangguk samar membuat senyum di wajah Marry mengembang sempurna. "Baiklah. Sekali ini saja. Jika nanti kenyataannya mereka tidak menerimamu sebagai calon karyawan mereka, kau tidak boleh mencari pekerjaan lagi." "Oke," Marry membulatkan ibu jari dengan jari telunjuknya. Dia tersenyum senang dan menghampiri Dale. Dirinya memeluk Dale lalu mengecup pipi kanannya, "Terima kasih Kak. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan ijin dari Kakak. Aku akan buktikan jika aku pasti bisa diterima bekerja di sana," ucap Marry diiringi tawa senangnya. Dia menoleh ke arah kamar mandi, "Kakak ingin aku siapkan air hangat?" "Tidak perlu," Dale melepas pelukan Marry, "Kau lanjutkan saja makannya. Aku akan mandi dulu." "Aku akan menunggumu di luar Kak. Kita makan bersama saja," jawab Marry dan segera keluar kamar. Tak lupa dia menutup pintu kamarnya. ~ Setelah melakukan penerbangan selama hampir enam jam, Antonio menyuruh George untuk melajukan mobilnya menuju apartemen. Letak apartemennya tidak jauh dari White House namun membutuhkan waktu hingga tiga puluh menit dari bandara. Antonio melirik Rolex yang ada di lengan. Waktu menunjukkan pukul empat dinihari. Karena tidak ingin tinggal di San Fransisco, setelah menyelesaikan pertemuannya di salah satu kantor cabang, Antonio memutuskan untuk segera pulang. Dan seperti biasanya, dirinya menolak untuk ikut dalam acara makan malam yang dilaksanakan setelah rapat selesai. Singgah selama dua jam di San Fransisco dan melakukan penerbangan hingga 12 jam cukup membuat Antonio merasa lelah. Dia ingin menyegarkan badan dengan istirahat beberapa jam di apartemen sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya di kantor pusat Ourano. "Sampaikan pada Albert untuk menemuiku besok pagi pukul sembilan di ruanganku," Antonio memberikan instruksi perintah pada George. "Baik, Sir." Antonio bersandar di jok mobil sembari menunggu George menepikan mobilnya tepat di apartemen miliknya. Dia memejamkan kedua mata sejenak. Dirinya mencoba mengatur napas untuk merenggangkan otot-otot leher yang sempat kaku akibat pernerbangan pulang-pergi. Kening Antonio mengernyit ketika sosok wanita itu kembali mengganggu pikiran. Dia membuka matanya perlahan untuk menghilangkan sosok wanita yang dikenal bernama Marjorie Fischer. Tidak tahu apa yang menghipnotis dirinya, rasa haus akan bibir wanita itu membuat pikiran Antonio tidak tenang. Mungkinkah karena dirinya sudah menemukan musuhnya dan segera ingin menghabisinya? "Sir." Panggilan interupsi dari arah George membuat Antonio sedikit tertegun. Dirinya sempat melamun sosok Marry beberapa detik yang lalu. "Don memberi pesan untuk Anda." "Siapa?" tanya Antonio enggan. Untuk sejenak Antonio tidak ingin memikirkan masalah pekerjaannya tersebut. "Mr. Horton, dia memberi pesan bahwa dia menunggu Anda sejak pukul sembilan malam di apartemen." "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?" tanya Antonio sedikit merasa kesal. Seharusnya Goerge mengatakannya lebih awal sehingga dirinya bisa lebih cepat mengusir Marco Horton, salah satu Don yang bekerja padanya. "Katakan padanya untuk menemuiku besok pagi saja. Aku tidak ingin dia menggangguku." "Baik, Sir." Marco Horton merupakan salah satu Don yang bekerja di bawah Antonio. Don adalah sebutan ketua mafia yang memimpin suatu keluarga mafia. Sedangkan Antonio sudah menjadi Godfather selama tiga tahun terakhir ini setelah sebelumnya menjadi seorang Don. Tidak ada yang tahu jika Antonio menjadi seorang Godfather dan memiliki beberapa Don di wilayah Amerika Serikat. Keluarga mafia yang dinaungi Antonio dijaga serapat mungkin olehnya supaya tidak tercium oleh orang lain yang bukan menjadi anggota mafia. Kehidupan sebagai Godfather selama tiga tahun itupun yang membantu Antonio mengembangkan bisnisnya hingga menguasai bisnis perhotelan dan Otomotif. Selain memiliki perusahaan di bidang ritel yang sudah menguasai sebagian besar Amerika Serikat, Antonio juga mengembangkan bisnis perusahaan otomotifnya yang berkembang di Amerika Selatan. Keluarga mafia yang memiliki banyak jaringan untuk mengakses kesuksesan Antonio, dirinya pun tidak tanggung-tanggung menyingkirkan segelintir orang-orang yang menghadang jalan kesuksesannya tanpa diketahui oleh orang luar. Biasanya Antonio akan menyuruh anak buahnya untuk menenggelamkan musuh-musuhnya ke dalam minyak panas atau membakarnya hidup-hidup. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Antonio masuk ke dalam dunia yang begitu gelap. Bahkan kejahatannya pun tidak diketahui oleh kakak perempuannya yang masih hidup. Selama sepuluh tahun ketika dirinya menginjak usia dua puluh tiga tahun, Antonio pertama kali bergabung sebagai anggota sebuah perkumpulan mafia. Ketika dirinya berhasil menjadi seorang Letnan mafia, Antonio mulai memilih keluar dari dunia tersebut dan membagi waktunya sebaik mungkin. Bahkan tak jarang dirinya tidak tidur selama dua puluh empat jam demi dua pekerjaannya yang mempunyai latar belakang yang bertabrakan tersebut. "Bagaimana dengan wanita itu? Apa dia akan mendaftar besok pagi?" tanya Antonio untuk memulai topik pembicaraan yang baru. Dirinya sudah benar-benar ingin tahu keputusan wanita itu untuk mendaftar pekerjaan di perusahaannya. "Benar, Sir. Sesuai informasi jika Ms. Fischer akan melamar di perusahaan tersebut." "Siapkan semuanya." "Baik, Sir," jawab George yang menjadi akhir dari topik pembicaraan keduanya karena mobil yang dikendarainya sudah menepi di basement apartemen. ~ Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD